Thursday, September 20, 2012

Tentang Cinta

Malam itu saya dan atasan saya, seorang perempuan muda yang hanya dua tahun lebih tua dari saya, bersama berjibaku di ruangan pojok, berusaha menyelesaikan salah satu tuntutan tak tertahankan dari atasan kami. Sambil bekerja, kami ngobrol ke kanan ke kiri, ke barat ke timur, sampai akhirnya kami bicara tentang cinta dan pengkhianatan, tentang ketabahan dan pengampunan, dan tentang air mata orang tua. Perbincangan kami lanjutkan di mobilnya, karena tujuan saya selanjutnya, makan malam dan 'brainstorming' dengan seorang teman lain ternyata berada sangat dekat dengan tempat tinggalnya.

Dari begitu banyak topik perbincangan kami, satu kalimat menempel erat di kepala saya: "Sampai sekarang, tidak sekali pun aku menyesal menikah dengan suamiku!" Entahlah, rasanya di masa sekarang, ketika mengganti pasangan sepertinya lebih mudah daripada mengganti pakaian, ketika pengkhianatan sepertinya telah menjadi hal yang terlalu wajar, ketika komitmen sepertinya hanya omongan sambil lalu di kedai kopi, masih bisa bicara seperti itu di usia pernikahannya yang sudah 7 tahun seperti memberi angin segar buat saya.

Masih di malam itu juga, duduk berhadapan dengan saya seorang perempuan lain, dan kami bicara tentang visi yang nyaris terlupakan. Mungkin lebih tepat kalau saya bilang bahwa kami bicara tentang visi saya yang nyaris saya lupakan karena dia dan suaminya punya visi yang sepertinya sama dan mereka berjalan bersama menuju visi itu. Cintakah yang menyatukan mereka berjalan menuju visi yang sama? Ataukah visi yang sama yang menyegarkan cinta mereka? Atau, ini konsep dasar yang terlalu sering saya dengar, kasih karunia Allah yang menyatukan mereka, cinta mereka, dan visi mereka?

***
Siang itu saya berhadapan dengan seorang lelaki senior saya di kantor, yang terbaring lemah namun masih dengan senyum manisnya yang menyegarkan. Istrinya berdiri di sampingnya dengan tatapan pilu, tampak air menggenang di pelupuk matanya, siap mengalir seandainya tangan sang suami tidak erat menggenggam tangannya. Sang istri bercerita panjang lebar tentang hasil diagnosa, tentang hasil pemeriksaan lab, tentang kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dia memandang sendu pada suaminya dan menyatakan bahwa, "menikah dengannya membuat saya belajar menyelami jiwa orang lain." 

Dia menceritakan betapa akan suramnya hari-hari mendatang tapi bahwa, "Kami percaya doa bisa mengubah segalanya." Dia bilang 'kami', bukan 'saya', bukan 'suami saya'.

***
Suatu malam, bertahun-tahun lalu, di hadapan tubuh kaku ayah saya, saya mengucapkan janji untuk mencintai Tuhan yang ayah saya cintai sepenuh hati, untuk melayani Tuhan yang ayah saya layani segenap jiwa, untuk tidak mengkhianati kepercayaan ayah saya bahwa saya akan selalu membuat pilihan yang berkenan kepada Allah. Janji-janji itu, tentu saja, saya ingkari berkali-kali. Janji-janji yang terlalu manis untuk saya ucapkan, semanis janji para pria yang bersedia mengucapkan apapun demi mendapatkan apa yang diinginkannya.

Berulang kali pula saya diingatkan pada janji saya belasan tahun lalu, ketika saya memutuskan untuk menjadi pengikut Kristus, ketika saya memutuskan untuk menyerahkan hidup saya pada Kristus. Berapa juta kali saya "ambil" kembali hidup saya dan saya jalani sesuka jidat dan dengkul saya? Berapa juta kali saya "menyesal" menjadi pengikut-Nya ketika pilihan-pilihan yang boleh saya ambil amat sangat tidak menyengangkan? Pasti lebih sering dari pengkhianatan manusia mana pun pada pasangan hidupnya.

***
Saya pertama kali membaca buku "What's So Amazing about Grace" kira-kira 10 tahun yang lalu. Dan kemudian sudah mengulang membacanya beberapa kali. Ulasan pendeknya juga pernah saya tulis di salah satu blog saya (kalau nggak bisa dibuka, klik di tab "BUKA BUKU", ini salah satu cacat yang ada di list to do saya sejak bertahun-tahun lalu tapi belum juga diperbaiki). Tema sentralnya adalah tentang apalagi kalau bukan kasih karunia (grace), kasih yang memberi segalanya tanpa mengharap balasan.

Saya agak "lupa" pada konsep 'kasih yang memberi segalanya tanpa mengharap balasan' ini sampai pada suatu saat, berminggu-minggu yang lalu, saya "tiba-tiba" dihadapkan pada tembok besar gagah perkasa yang tidak memberi saya pilihan selain kembali ke dalam genggaman kasih karunia setelah berbulan-bulan hidup begajulan seperti orang yang tidak pernah mengalami kemurahan Tuhan. Saya agak "lupa" pada konsep ini sampai pada suatu minggu saya kembali ke rumah Tuhan dan berkata, "Bapa, aku pulang," persis seperti anak durhaka pada perumpamaan Anak yang Hilang. Dan seperti pada perumpamaan itu, saya percaya ada pesta besar di surga menyambut kepulangan saya.

Siapa yang paling mengerti betapa panjang dan lebarnya, betapa tinggi dan dalamnya kasih karunia selain orang yang pernah menyampakkannya dan mengerti bahwa hidup adalah mustahil tanpanya? A sinner saved by grace, itu saya dulu, itu saya sekarang, dan saya berdoa Tuhan menolong saya agar itulah saya sampai selamanya.

Hidup terlalu mudah untuk saya, begitu kata seseorang pada saya, begitu mudahnya sampai saya tidak mengerti apa artinya ditinggalkan oleh semua orang. Tapi sekarang, sekarang saya sudah kehilangan kenaifan itu. Saya mengerti apa artinya meninggalkan kasih Tuhan dan saya tidak mau lagi merasakan kesendirian itu.

"Jesus loves me, this I know, for the Bible tells me so" begitu kata salah satu lagu sekolah minggu saya dulu. Sekarang, saya bisa menambahkan, Jesus loves me, this I know, for I have seen and experienced it.

No comments: