Thursday, November 30, 2006

belajar

dulu sekali, nyokap gue bilang gue doyan belajar. padahal, kalo mau jujur, bukannya doyan belajar tapi doyan baca. dan karena bokap-nyokap ogah beliin novel or komik, no choice gank, gue doyan baca buku IPA jaman kelas satu es de yg isinya: ini batu, batu benda padat; ini air, air benda cair. gue ulang2 sampe muak, hehehe... ato baca buku pe em pe yg isinya ani beribadah di mesjid, iwan beribadah di gereja, ani dan iwan hidup rukun. pilihan lain, baca koran pikiran rakyat yg dibawa pulang bokap gue tiap dia pulang buat makan siang. lumayan, gue jadi rada cerdas :)

 

setelah segede sekarang, ternyata esensi belajar jadi beda, ya? gue kasi definisi baru untuk kata ini. belajar adalah memandang rumput hijau berembun dan mengerti bahwa alam semesta dipelihara oleh Allah. belajar adalah menatap mata sahabat-sahabatmu dan mengerti bahwa hidupmu berharga di mata Allah. belajar adalah menikmati tidur dan makan dan mengerti bahwa Allah tahu caranya memberikan hidup yang indah. belajar adalah tertawa bersama orang yg baru saja kau kenal dan mengerti bahwa Allah menciptakan waktu yg sesaat dan menjadikannya berarti. belajar adalah menerima hidup sebagai keindahan dan mengerti bahwa semuanya diberikan dengan cuma-cuma. belajar adalah menghirup kesulitan dan merasakan decap sedapnya serta mengerti bahwa manis dan asam Allah ciptakan untuk membuat kelezatan. dan akhirnya, belajar adalah tetap menulis walaupun gue lebih suka tidur lelap siang ini...:D.
 
ditulis 18 maret 2003

Thursday, November 16, 2006

ADIL

Seorang tuna netra duduk dalam gelisah. Tangannya meremas kartu peserta SPMB dengan resah. Bagaimana pula caranya menghitung dalam bayangan? Reader-nya membacakan soal integral yang luar biasa rumit bahkan untuk seorang muda dengan penglihatan normal, apalagi untuk dia yg harus mendengarkan dengan teliti dan membayangkan perhitungannya. Belum lagi soal-soal bahasa Inggris yang kadang dibacakan dengan pronounciation salah. Dia harus bekerja seratus kali lebih keras supaya bisa bersekolah di SMU bersama orang-orang berpenglihatan normal. Dia harus berusaha seratus kali lebih keras   dari  orang-orang berpenglihatan normal untuk bisa menjawab satu soal yang dibacakan. Dia harus menjadikan dirinya seratus kali lebih cerdas dari orang-orang berpenglihatan normal supaya bisa lolos dari ujian ini. Dia harus selalu seratus kali lebih dari orang-orang berpenglihatan normal dalam segala sesuatu. Adilkah hidup?

 

Aku bisa berikan seratus kisah lagi semacam ini. Seorang ayah yang bekerja luar biasa keras untuk gaji yang tak seberapa jadi korban "restrukturisasi" di kantornya, kehilangan satu-satunya gantungan hidup anak-anak dan istrinya. Seorang perempuan kehilangan masa depan karena entah berapa belas serdadu yang memperlakukan tubuhnya seperti mainan yang dilemparkan dari kahyangan. Para janda muda yang sekali-kali melacurkan tubuhnya supaya anaknya bisa terus bersekolah. Ratusan anak yang tak pernah mengecap sedapnya memperoleh pendidikan, bukan karena mereka tak mau tapi karena tak satu pun guru mau menjadi pengajar mereka. Adilkah hidup?

 

Aku menghitung-hitung masa dalam hidupku. Hal-hal yang sudah aku peroleh; hal-hal yang selalu aku inginkan tapi belum aku dapatkan; hal-hal yang akan selalu aku inginkan tapi yang aku tahu tak akan pernah aku dapatkan; hal-hal yang tak pernah aku inginkan terjadi tapi tetap saja aku harus jalani; hal-hal yang tak berani aku bayangkan namun terjadi begitu saja seperti hujan mengguyur padang pasir. Adilkah hidup?

 

Tidak. Hidup tidak adil. Hidup tidak pernah adil. Tengoklah sejarah dan akan kau temukan bahwa hidup tidak adil. Hanya satu yang adil. Hanya Tuhan yang adil.

 

 

Ditulis 16 Juli 2004

Wednesday, November 15, 2006

Arai

aku jatuh hati pada arai. arai yang orang kebanyakan. arai yang wajahnya laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-baru-seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. arai yang wajahnya seperti hasil suntikan silikon dan mulai meleleh. arai yang gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah.

 

aku berbagi ngilu dengan ikal ketika menjemput arai kecil yang sebatang kara. arai yang menunggu ikal dan ayahnya di depan tangga gubuknya. arai kecil yang mengapit karung kecampang berisi beberapa potong harta rombengan.

 

aku terpesona oleh semangat arai. arai yang bilang bahwa orang-orang miskin seperti dia dan ikal tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. arai yang bilang bahwa dia dan ikal harus bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi mereka. arai yang tak mau mendahului nasib. arai yang mati tanpa mimpi….

 

aku mengagumi kelembutan hati arai. aku mengagumi pengorbanannya untuk sepupunya ikal. sesaat seperti melihat adegan-adegan kecil dalam kite runner. aku mengagumi ayunannya memecah celengan hasil kerja kerasnya mencari akar agar mak cik punya modal membuat kue tak perlu meminta-minta beras lagi. aku mengagumi kerja-keras-banting-tulangnya agar jimbron, sahabatnya yang invalid, gagap, dan terobsesi pada kuda bisa berdekatan sesaat, cukup sesaat, dengan kuda hebat milik capo.

 

aku mau jadi arai.

 

--abis baca sang pemimpi, andrea hirata--