Wednesday, December 12, 2007

Episode Kesekian

Pernahkah merasa, kadang-kadang matahari terlalu terik bersinar ketika yang kau perlukan hanya sedikit keteduhan? Pernahkah meradang karena kadang-kadang langit dengan kejamnya selalu mendung sepanjang hari ketika yang kau inginkan hanya beberapa jenak kehangatan? Pernahkah menyesak dada ketika terik dan mendung adalah salah dan kau tak tahu lagi apakah perlu mempedulikan langit dan matahari dan hari-hari dengan langit dan mataharinya?

Rasanya seperti berjinjit di ujung bambu yang panjangnya puluhan meter yang dipancang di atas tanah, lalu harus menatap ke tanah tempat bambu itu dipancang, lalu harus memilih apakah harus melompat dengan sukarela atau tetap berjinjit. Rasanya seperti terbang melayang seringan kapas lalu tiba-tiba kehilangan semua sayap yang dipunya dan tak tahu apakah harus tetap melayang seperti kapas yang tak punya sayap sehingga tak bisa memilih kapan akan terbang, kapan akan hinggap, kapan akan berbelok, atau kapan akan menukik ataukah berhenti melayang selamanya dan melepaskan kenikmatan terbang bebas bagai penguasa jagad raya.

Rasanya seperti ingin melepaskan kepala dari leher dan berhenti berpikir dan berhenti bermimpi dan membiarkan kepala dengan mimpinya sendiri dan sisanya dengan maunya sendiri.

Friday, December 07, 2007

Can't think without...

  • A cup of good coffee
  • My earphone (the only way to concentrate amidst all voices around me)
  • A pack of good time arnott's
  • My gtalk on
  • A notebook opened beside me
  • Some pieces of peace in my heart…

Thursday, December 06, 2007

Gue dan Tulis Menulis

Dulu, belasan taun lalu, gue selalu nulis buat bikin hidup gue lebih hidup. Gue inget, ketika itu gue masih sekolah di daerah sentul. Sekolah berasrama, gue jauh dari rumah, jauh dari keluarga gue, dan jauh dari kenyamanan gue. Gue bener-bener gagap waktu itu. Gagap karena itulah pertama kalinya gue tinggal jauh dari rumah. Gagap karena itulah pertama kalinya gue tinggal satu kamar dengan sepuluh gadis lain. Gagap karena itulah pertama kalinya gue dikelilingi orang-orang dengan latar belakang budaya, sosial, bahkan ekonomi yang beda banget sama gue. Gagap karena tiba-tiba gue bukan siapa-siapa, just another girl (or perhaps better named another weird girl?).

Gue yang pada dasarnya ngga doyan ngomong, ngga doyan beramah tamah, ngga doyan berbasa basi, jadi tambah basi dengan segala kegagapan gue. Gue ngga excited sama temen-temen gue, ngga excited sama pelajarannya (yang menurut gue waktu itu ngga ada keren-kerennya sama sekali), ngga excited sama ekskulnya (musik, olahraga, newspaper, teater: gue benci semua kecuali berkuda yang gue ikutin dengan penuh semangat), ngga excited sama perpustakaannya (yang isinya buku pelajaran semua, walopun impor, dan fiksinya cuma beberapa dengan isi yang asli jadul banget). Gue inget banget, betapa seringnya gue tidur di kelas, pas pelajaran, karena gue bosan setengah idup.

Itulah awalnya gue melarikan diri ke tulisan. Sebelumnya, gue benciiiiiiiiiiiii kalo disuruh nulis. Rasanya seperti mau pingsan, mau muntah, mau nonjok. Tapi di tengah kebosanan gue dengan sekolah baru gue, ternyata gue jadi cinta loh sama kegiatan tulis menulis. Karena pada dasarnya gue bukan orang yang suka cerita, ngga suka terlalu dimengerti, jadilah gue sering banget nulis puisi. Gue marah, gue nulis puisi. Gue sebel sama orang, gue nulis puisi. Gue happy, gue nulis puisi. Lama-lama gue mulai juga menulis prosa lirik: tentang hidup, tentang mati, tentang cinta, tentang mimpi, tentang manusia, tentang Tuhan, tentang sahabat, tentang ketakutan, tentang kemarahan, tentang kekecewaan… tentang segala sesuatu. Dari situ berlanjut ke cerita pendek, artikel, dan novel… (yang belum kelar juga setelah bertaon-taon, hiks).

Selanjutnya, nulis jadi terapi buat gue. Banyak yang bilang kalo mereka ngga bisa ngerti maksud tulisan gue. Begitu sering, gue nulis bukan buat dimengerti, tapi untuk menumpahkan isi kepala (dan isi hati) yang bertumpuk-tumpuk ngga jelas juntrungannya. Dengan begitu, biasanya, kalo hidup gue baik-baik saja, hari-hari mengalir begitu lancar, segala sesuatu terjadi dengan mudah, gue ngga bakal menulis apapun. Buat gue, menulis adalah bertemu sahabat dekat, membuang sampah hidup, mencari pencerahan, menghibur diri sendiri, membangkitkan semangat yang kembang kempis, menenangkan kegembiraan yang terlalu menggempita, dan memberitakan kasih karunia.

Walopun gue sekarang sudah lebih pandai bicara daripada belasan taun yang lalu, gue masih saja lebih suka mengekspresikan diri gue lewat tulisan. Gue lebih memilih bicara dengan tuts laptop gue daripada dengan lidah gue. Dan gue ngga bakal pernah lupa kalimat yang ditulis oleh Solomon Yo (guru agama gue di Sentul) di halaman belakang buku tahunan gue: "God has given you a talent, use it for His glory."

Semoga dia benar, menulis yang adalah terapi dalam hidup gue memang talenta yang dikasi buat gue. Dan semoga gue juga bisa pakai itu buat kemuliaan Tuhan.

Ps: kisah sekolah gue yang di sentul itu happy ending kok, itu jadi pengalaman hidup gue yang paling mendewasakan dan memperkaya diri gue. Memang bukan pengalaman yang paling membahagiakan, tapi di situ gue belajar tentang persahabatan, pengorbanan, kerja keras, dan… kasih karunia. Kalo gue harus mengulang hidup gue, masa-masa pahit di sentul itu adalah masa yang ngga bakal gue hapus karena tanpa itu mungkin gue ngga bakal bisa melewati semua hal yang harus gue jalani setelahnya… (my gosh, dan gue harus melewati sepuluh taon untuk bisa ngomong dua kalimat terakhir itu; well, who says I'm a fast learner anyway?:D)

Wednesday, November 14, 2007

H-3

Everything I need is You
My beginning, my forever
Everything I need is You

-All for Love, Hillsongs United-

Sudah lelah, sudah bosan, sudah hampir menyerah.
Semangat semakin tipis, tenaga nyaris habis terkuras.
Sudah menyeruput kopi puluhan cangkir, bahkan menenggak krating daeng berbotol-botol.
Sudah juga menelan vitamin puluhan butir.

Masih ratusan halaman tak terbaca, masih ratusan soal tak terjawab.
Masih selalu tak ingat pada banyak hal, masih terbingung-bingung pada hal sederhana.
Masihkah akan maju?

Andai tak ingat betapa banyak pengorbanan berbulan-bulan terakhir:
uang, akhir pekan, liburan setengah hati, waktu tidur, perjalanan dinas ke denpasar...
Andai bisa tak peduli...

Akhirnya, hanya bisa bersenandung bersama Hillsongs United:
Everything I need is You
My beginning, my forever
Everything I need is You
Let me sing all for love
I will join the angel song
Ever holy is the Lord
King of Glory
King of all


Monday, October 29, 2007

My Travel Wish List

Pada dasarnya, gue bukan orang yang suka bepergian. Gue lebih suka duduk diam di meja gue dan mengurusi buku-buku gue; it's my greatest enjoyment in life. Dulu-dulu, kalau temen-temen gue ngajak jalan-jalan ke mana pun, selalu gue tolak dengan enteng dengan alasan yang nggak masuk akal: cape. Ya iyalah, mana ada orang jalan-jalan yang ngga cape. Masalahnya, dulu-dulu itu, jalan-jalan buat gue adalah kecapean yang ngga membawa kesenangan.

Tapi belakangan ini gue mulai menggila dan melupakan buku-buku gue. Entah apa yang mulanya bikin gue menggila: pekerjaan yang semakin lama semakin ngga jelas juntrungannya, teman-teman yang lebih gila jalan-jalan dari gue, kelebihan likuiditas, atau sebenarnya kesenangan yang terpendam. Maklum, belakangan buku sudah semakin tidak menarik karena sepertinya topik apa pun yang diangkat, gue sudah pernah baca sebelumnya.

Dan jalan-jalan gue adalah jalan-jalan antik ke tempat-tempat yang kurang umum buat banyak orang. Jadilah susyaaaaah minta ampun cari teman jalan. Kenapa harus pakai teman? Yaaa karena pada dasarnya kan gue penakut.. hehe.. Gaya boleh preman, tapi kalau malam-malam jalan sendiri di kota kecil atau kampung-kampung yang gue ngga kenal... yaaa gue takut juga. Bukan, bukan takut juga, tapi takut bangeeeeet. Jadi, sekalian deh, gue posting aja di sini tempat-tempat yang masih pengen gue datengin sampe hari ini. Kalau abang, mpok, encang, encing ade nyang sudi nemenin aye, aye bakalan seneng banget....

1. toraja
2. danau matano dan sorowako (ini bisa sekalian ama toraja, mudah-mudahan kesampean desember nanti; amin amin amiiiin)
3. belitung (www.belitungisland.com ); pantai yang cantik-cantik banget, ga kalah deh ama cantiknya gue
4. ujung kulon (asli, ini kan cuma di ujung jawa doang, tapi gue blon pernah loh ke sana...)
5. krakatau (skalian ke ujung kulon kali yah)
6. bintan (ade gue bilang, pantai dan pasirnya ruuuuaaaaar biasa; gue cuma agak terganggu sama tarif resortnya yang SGD)
7. dieng (mau liat silver n golden sunrise-nya...)
8. cheto dan sekitarnya (kata mbak2 yang di karimunjawa, cheto ini lebih keren dari dieng)
9. mahakam (serem ga yah, nyusurin sungai segede itu... tapi pasti bikin jantung kaya mau terbaaaang)
10. raja ampat (ck ck ck... kalo ke sini keknya musti bisa diving dulu tapi yah)

Sepuluh dulu deh. Ini aja belum tentu kesampean dalam dua taon ke depan, sehubungan dengan cuti massal yang bikin hak cuti gue yang cuma dua belas hari itu terkuras abis bis bis. Trus, kenapa semuanya di Indonesia? Pertama, karena gue cinta Indonesia. Emang kacrut sih nih negara, kacrut juga orang-orangnya (mostly, ga semua tapi mostly), tapi mau gimana lagi... Gue kan teuteup orang Indonesia, jadi guelah yang musti mencintai Indonesia. Kedua, karena lebih murah (kekekekek). Ketiga, karena perlu waktu lebih pendek, mengingat cuti tadi itu. Keempat, karena lebih gampang cari teman kalo di Indonesia. Kelima, karena yang luar Indonesia gue list di bawah ini... (hehehe.... garing mode:on).

1. Paris (hueee... je reve d'une nuit romantique a paris)
2. Nepal (mantaaabs.. mari kita menggila di Himalaya)
3. Jerusalem (mao umroh gw:D)
4. St. Petersburg (duluuuu banget, abis baca the Russians, gw udah kebayang kaya apa kota ini.. pokonya gue kudu blajar bahasa rusia dulu seblon ke sini)

Yang pengen banget baru itu doang. Adakah yang sudi pergi bersamaku?:)

Wednesday, October 24, 2007

KAYA

"Enak ya jadi orang kaya, bisa jalan-jalan. Gue beli baju aja ngga sanggup."

Nusuk banget rasanya pas temennya temen gue (ato pacarnya, gue juga ngga tau) tiba-tiba ngomong gitu sama gue. Konteksnya adalah gue dan temen gue baru beberapa hari sebelumnya berlibur dengan biaya yang lumayan besar, apalagi pas peak season libur lebaran yang bikin kantong gw juga ikut libur dari duit. Mungkin karena gesture-nya  bukan berkonotosi pujian, tapi ledekan, maka gue agak tersinggung dengan kalimat itu. Hiyaaa gue kan jarang-jarang beli baju, jadi udah beda konteks. Paling-paling gue borong buku, ngupi-ngupi, bayar les frm dan ujiannya yang bikin gue bangkrut, ato nyoba tempat-tempat makan baru. Beda konteks maaaaan, beda konteeeeeeeks!!!

Tapi semakin lama gue semakin berpikir tentang kalimat tadi. Dia menganggap gue kaya karena gue jalan-jalan (mahal, menurut teman gue yang lain). Gue nggak pernah memikirkan apakah gue kaya ato miskin. Gue ngga peduli apakah gue kaya ato tidak kaya. Gue hidup sesuai kemampuan gue, ngga pake ngeluh, ngga pake ngiri, ngga pake sombong (menurut gue sih). Kalo gue ngga punya duit dan cuma sanggup makan mie instan, ya gue makanlah mie instan tanpa perlu gue ngeluh kok gue ngga makan kaya orang lain di sushi tei atau penang bistro atau buffet di shangri-la. Kalo gue lagi punya duit dan pas liburan di Yogya pengen nginep di Grand Mercure yang bintang 4 ya ngineplah gue di sana tanpa perlu merendahkan orang yang nginep di Kumbokarno yang hotel melati atau merasa hebat karena nginep di tempat mahal dan bayar sendiri. Yang paling penting kan gue ngga pernah kekurangan: cukup makan, punya tempat berteduh, punya pekerjaan, punya keluarga, punya teman-teman. I'm blessed, period.

Mungkin gue tersinggung karena itu tadi, gue ngga pernah berpikir apakah gue kaya atau tidak. Mungkin juga karena gue selalu berpikir bahwa gue kaya, terlalu kaya, selalu kaya. Apa bukan orang kaya namanya kalau pas keluarga gue bangkrut sebangkrut-bangkrutnya gue malah bisa sekolah ke sekolah muahal sekelas pelita harapan? Memang gratis, tapi di mana sih ada orang bangkrut bisa terpikir buat sekolah di situ? Apa bukan orang kaya namanya kalau tanpa uang satu sen pun gue bisa sekolah di salah satu institut teknologi terbaik di negeri ini? Apa bukan orang kaya namanya kalau apa pun, sekali lagi: apa pun, yang gue perlu (perlu, bukan mau) selalu bisa gue dapetin one way or another? Apa bukan orang kaya namanya kalau ke mana pun gue pergi gue selalu menemukan sahabat yang sayang sama gue, peduli sama gue, dan mau berbagi hidupnya sama gue? Apa bukan orang kaya namanya kalau gue punya Bapa yang punya langit dan bumi dan bilang kalo gue adalah anaknya dan sangat berharga di matanya? Setuju sama gue?

Yap, gue memang kaya. Jadi, temannya teman gue itu boleh terus bilang gue kaya karena gue memang akan selalu kaya. Kalau pun suatu hari nanti gue ngga bisa jalan-jalan lagi (apalagi jalan-jalan mahal), ngga bisa nginep di Grand Mercure, ngga cukup makan, ngga punya tempat berteduh, ngga punya pekerjaan, ngga punya keluarga, ngga punya  teman-teman, gue tetap kaya. Gue bakal selalu kaya karena gue tau yang punya segala kekayaan sayang sama gue. Gue ngga berani bilang gue akan selalu kaya dengan kebaikan karena gue ngga merasa gue ini orang baik, gue jauuuuuuh dari baik.
Tapi gue bakal selalu kaya dengan iman, dengan pengharapan, dengan kasih.

Terima kasih, Tuhan, udah bikin gue sekaya ini. Terima kasih, teman-teman, udah bikin gue selalu inget bahwa gue kaya.


Monday, October 22, 2007

CINTA TAK HARUS MEMILIKI?

Aku masih sering mempertanyakan kebenaran kalimat itu: "Cinta tak harus memiliki". Cinta macam apa yang tak harus memiliki? Pernah suatu masa, aku begitu meyakini bahwa cinta sejati seharusnya memang tak harus memiliki karena esensi mencinta adalah memberi, bukan meminta, menuntut, ataupun memiliki. Tapi, aku yakin masa itu sudah berlalu bagiku, tamat dan tak pernah akan ada sekuelnya. Dalam hidupku, cinta harus memiliki.

 Aku tak mau berteori panjang lebar, karena aku tahu aku tak punya teori yang cukup untuk meyakinkan seisi dunia bahwa cinta sejati seharusnya memiliki. Tapi dari ingatanku yang sudah berkarat ini, aku masih ingat materi pelajaran agama dari Solomon Yo, guruku semasa SMU, yang bilang bahwa eros adalah cinta yang egois, cinta yang tak bisa menerima penolakan, cinta yang ingin dibalas. Ah, tapi cinta macam apa pula yang tak ingin dibalas? Bahkan Tuhan pun ingin ciptaan-Nya balas mencintai-Nya!

Lalu apa jadinya kalau cinta tak bisa memiliki? Kalau tentang ini, aku punya teori. Pertama, mungkin cinta yang disebut-sebut itu tidak pernah benar-benar hadir. Ini kemungkinan paling masuk akal, ketika yang hadir hanya rasa tertarik, atau kagum, atau lust, atau keinginan memiliki, dan bukan cinta. Kedua, waktunya belum tepat. Belum tepat bukan karena si objek cinta sedang berada dalam pernikahan, tentunya karena aku masuk dalam golongan orang yang terlalu percaya bahwa pernikahan adalah satu kali dan untuk seumur hidup. Ketiga, cinta tadi diekspresikan dengan cara yang salah, tidak membangun, dan tidak mendewasakan

Pada akhirnya, seperti segala sesuatu, cinta sejati membawa sifat ilahi. Pada waktu yang tepat, bersama orang yang tepat, untuk alasan yang tepat, aku percaya cinta harus memiliki.

*tiba-tiba teringat suatu masa bertahun-tahun lalu; dan beberapa hari yang lalu*

Tuesday, September 25, 2007

Tentang Mati

Death be not proud, though some have called thee Mighty and dreadfull, for, thou art not soe, For, those, whom thou think'st, thou dost overthrow, Die not, poore death, nor yet canst thou kill mee. From rest and sleepe, which but thy pictures bee, Much pleasure, then from thee, much more must flow, And soonest our best men with thee doe goe, Rest of their bones, and soules deliverie. Thou art slave to Fate, Chance, kings, and desperate men, And dost with poyson, warre, and sicknesse dwell, And poppie, or charmes can make us sleepe as well, And better then thy stroake; why swell'st thou then? One short sleepe past, wee wake eternally, And death shall be no more; death, thou shalt die.

Death Be Not Proud by John Donne

Mati. Empat huruf yang bisa bikin manusia mengharu biru. Atau bikin manusia yang masih hidup jadi hancur? Aku tidak tahu pasti. Perkenalan pertamaku dengan kematian yang mengharu biru adalah saat kematiaan nenekku. Aku masih bisa mengingat ambiance saat itu. Tapi jujur, aku tidak merasakan kesedihan yang menyesakkan dada saat itu. Apa karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti kematian dan kesedihan dan perasaan kosong karena ditinggalkan oleh orang terkasih? Atau karena aku memang tidak sanggup merengkuh rasa yang begitu mendalam itu? Aku juga tidak tahu pasti.

Kematian kedua yang aku kenal adalah kematian anjing pertamaku. Anjing hitam kecil yang aku tidak pernah tau rasnya apa. Salah satu kenalan keluargaku mengantarkannya di suatu sore dan aku ketakutan setengah mati karena tidak ada siapapun di rumah selain aku sore itu. Anjing itu kumasukkan ke dalam kamar adikku supaya dia tidak terus menerus mengendus kakiku dan betisku dan tanganku dan seluruh tubuhku. Tapi anjing itu tak henti-hentinya berkaing-kaing dari dalam kamar yang tertutup sampai akhirnya kubiarkan dia bebas mengendus-endus segala sesuatu. Intinya, aku punya kenangan yang kusimpan sampai sekarang, lebih dari 15 tahun kemudian. Pada saat matinya, aku yang menggendong mayatnya yang berlumuran darah dari jalan besar di belakang rumahku. Aku pula yang meletakkannya di lubang yang digali ayahku bersama kausku yang merah oleh darahnya.

Kematian selanjutnya terasa begitu jauh dari hatiku. Kematian kerabat yang tak kuingat wajahnya, atau teman-teman yang hanya kutahu nama dan wajahnya (dan mungkin tidak pernah tahu nama apalagi wajahku). Aku ikut melayat ke sana, melayat ke sini; memeluk anggota keluarga yang ditinggalkan dan membiarkan air mata menggenangi mataku. Bukan, bukan sedih karena kematian, tapi sedih karena melihat orang yang kukenal begitu bersedih karena ditinggalkan. Begitu perkasakah kematian?

Bukan, bukan kematian yang begitu perkasa. Penyesalan dan kesepian lebih perkasa dari kematian. Ya, menyesal karena ada hal-hal yang belum dilakukan bersama yang telah wafat atau untuk yang telah wafat; menyesal karena ada kata-kata yang belum disampaikan atau karena ada kata-kata yang telanjur diucapkan; menyesal karena belum cukup banyak pelukan, ciuman, dan peluh yang ditumpahkan untuk yang telah wafat; menyesal karena harapan dan mimpi tak bisa lagi diwujudkan untuk orang yang telah mati. Dan kesepian... Kesepian yang bisa membunuh lebih cepat dari penyakit, lebih cepat dari bencana. Mungkin kematian memang perkasa.

Buatku, kehidupan setelah kematian lebih perkasa. Seperti yang John Donne dengan gagah bilang: One short sleepe past, wee wake eternally, And death shall be no more.

Mengenang yang terkasih Christofer Landro Manullang

Wednesday, August 29, 2007

Selusin Kesenangan Kecil

Gue punya kesenangan-kesenangan kecil yang kalau diganggu bisa bikin gue merengut kaya tikus monyong. Sejujurnya, kayanya yang bikin gue seneng memang kesenangan-kesenangan kecil (menghibur diri neh, berhubung jarang-jarang gue ketemu sama hal-hal besar, apalagi kesenangan besar:p). Ini dia:
1. mojok sendirian di cubicle gue, ga diajak ngomong, ga ditelpon-telpon, ga diganggu gugat
2. maen spider solitaire seharian, sampe siku kiri gue pegel dan memar karena nahan dagu gue
3. ngupi sampe mabok
4. belanja buku sampe bangkrut
5. telpon temen-temen sampe kuping panas
6. muter-muter di toko-toko buku di plaza indonesia, banding-bandingin harga tapi ga beli satu pun
7. jepret-jepret objek-objek ga penting sampe batre kamera sekarat dan memory card abis bis bis
8. donlod komik sesuka hati walopun blon ada yang pernah gue baca
9. nongkrong ama temen-temen gue, ngomongin hal-hal ga penting, dan melupakan hal-hal penting
10. cha cha, pake sepatu hak tinggi, trus ditutup sama jive
11. nyanyi nyanyi sendiri, direkam pake  kamera gue, trus gue tonton sendiri
12. tidur berbelas-belas jam...

Thursday, August 23, 2007

Teman

Gue dapet kiriman imel yang isinya seperti di bawah ini dari salah satu teman lama gue. Serasa digampar gitu, karena gue merasa banget jadi salah satu temannya yang paling ngga pernah ada buat dia. Lalu gue inget temen-temen gue yang lain, yang juga gue perlakukan sama... Hiks.

Dengan penuh perasaan bersalah, gue bermaksud mem-forward imel tadi ke temen-temen lama gue yang udah sering gue lupakan itu. Dan oh la la... betapa bersalahnya gue, karena saking lupanya gue pada mereka, bahkan alamat imel mereka pun gue lupa. Hiks. Tak ada catatan back up, tak ada daftar apapun baik di laptop gue, di pc gue, di catetan gue, di henpon gue (apalagi di henpon, setelah sukses kecopetan tempo hari, gue kan ngga berusaha recover data-data yang ikut ilang), di mana pun...

People change, iya sih, tapi masa gue udah segitunya berubah ya..? Pelupa abis, unorganized, ngga pedulian, dan sebentar lagi mungkin bakal keilangan sobat-sobat gue yang udah dengan entengnya gue lupain dengan alasan klise:sibuk. Hiks, maapken ya, teman-teman...

==========================================

Aku sudah capek berteman dengan kamu. Kamu aneh, gak bisa dimengerti. Gak pernah ada klo dibutuhkan. Capek… Kamu beresin dulu masalahmu ya? Ntar setelah kamu sudah hilang penatnya dan tidak aneh lagi, baru kita berteman lagi."

Aku mengatakan hal di atas ke salah seorang teman dekatku di suatu malam. Sering sekali aku mencoba menghubungi dia, selalu gagal. Mencoba berbicara, gagal. Dia selalu sedang melakukan sesuatu yang lain, bersama yang lain atau sedang pergi ke luar kota. Ya ampun, kenapa dia gak pernah bisa ada? Sesibuk itukah? Menyebalkan!

Akhirnya, aku merasa ingin berhenti. Aku akan cari teman lain. Sebelll… Aku puas setelah berkata itu dan aku tidur dengan tenang.

Di pagi hari, saat aku ingin bertemu dengan Sahabatku, Dia mengingatkanku dengan lembut. "Kalau aku berkata Aku sudah capek bersahabat dengan kamu, gimana? Kamu tuh gak bisa dimengerti, kamu lemah, sering jatuh dan berbuat dosa. Kamu sering menyakiti hatiKu. Kamu sering gak mau mendengarkan aku. Kamu menghubungi Aku kalau lagi butuh aja, kalau kamu lagi gembira, kamu gak ingat Aku sama sekali. Perbaiki dulu dirimu, kalau sudah, baru datang lagi dan kita bersahabat lagi"

Wuaduh Tuhan, jangan pernah menyuruhku pergi dan tidak jadi sahabatMu lagi.

Gimana bisa, aku bangun kalau Kau tidak menolongku dari kejatuhan?

Gimana bisa, aku terhindar dari dosa, kalau Kau tidak mengingatkanku?

Gimana bisa aku kuat, kalau kau tidak bersamaku?

Gimana bisa aku menjalani hidup, kalau Kau tidak berjalan di depanku?

Gak Tuhan, aku gak bisa hidup kalau Kau tidak mau jadi Temanku.

"Kalau begitu, tetaplah jadi temannya. Banyak hal dan keadaan, yang membuat sesuatu terjadi.Jangan menghakimi. Bagianmu hanyalah tetap mengasihi, seperti Aku mengasihimu, tetap menjadi sahabat, seperti Aku jadi Sahabatmu. Jangan pernah mengharapkan kembali apa yang sudah kamu berikan seperti Aku tidak pernah menuntut kamu mengembalikan apa yang sudah Kuberi padamu.

Tetap baik, tetap setia, tetap berikan dirimu kepada orang lain. Kamu mungkin menderita, kamu mungkin di dalam bahaya, tapi Aku, tetap bersamamu, selalu".

Untuk sahabatku, maafkan aku ya.

Aku mungkin akan tetap seperti ini. Tuhan jagai aku kok..

"Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu."

"Kalau kamu baik kepada orang yang baik kepada kamu, apa bedamu dengan dunia?"

"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri."

"Kamu adalah murid-muridKU, jika kamu saling mengasihi"

Wednesday, August 22, 2007

Terima Kasih, Cinta...

Cinta dan kasihmu di dalam hati ini

Sertai hidupku, sertai setiap langkahku

Terima kasih cinta, tanpamu tak berarti

Karena kasihmu aku ada

Cinta dan kasihmu besarkan jiwa ini

Mampukan langkahku walau terkadang penat

Kau bangkitkan asa, yakinkan cinta itu ada

Terima kasih cinta, terima kasih

Karena engkau cinta, aku ada

-------------------------------------------------------

Lagi mellow, kaya orang gila bolak balik dengerin lagu ini.

Funny thing is, gue bisa tiba-tiba bengong kalo lagi dengerin lagu ini:

di antara segala perkakas di meja gue, dgn segala perlengkapan belajar gue...

Terima kasih, cinta...

Wednesday, August 15, 2007

PREJUDICE

Yap. Prejudice. Or shall we say prasangka? Gue merasa agak kurang nyaman dengan kata prasangka, karena menurut gue, konotasinya adalah menuduh seseorang melakukan sesuatu, yang buruk pula. Padahal yang mau gue bicarakan di sini bukan itu, tapi lebih mengenai cap yang manusia berikan kepada sesamanya atas dasar yang belum dapat dibuktikan. Mari kita lihat contoh kasusnya.

Kasus pertama. Gue agak muak dengan salah satu kenalan gue yang sering nyolot dan tajam dalam berkomentar tapi terlalu mudah sakit hati kalau komentar tajam ditujukan padanya. Gue dengan enteng menceritakan itu pada salah satu teman nongkrong gue yang juga mengenal kenalan gue yang gue sebut pertama tadi (buset, ribet bener yah). Gue ceritakan bagaimana si kenalan gue itu dengan tenang berkata: "Iiiiih rokmu jelek sekali." Atau "Iya, temenku itu beli dompet seharga delapan ratus ribu padahal dompetnya itu nggak ada bagus-bagusnya, biasa banget kaya dompet si X." Dan si X itu adalah gue. Dan gue ada di tempat yang sama. Gubrag. Sedangkan komentar atasnya semisal "kamu kok pakaiannya kaya seragam sih" akan membuat dia sangat sakit hati sampai bermuram durja dan menunjukkan wajah luar biasa terluka. Well, my point is, dia bisa menghina orang lain dengan tajam tapi terlalu mudah merasa disakiti. Sounds familiar? Nah, itu yang gue ceritakan pada teman nongkrong gue.

And know what? Si teman nongkrong gue itu menerjemahkan opini gue tentang kenalan tadi menjadi opininya juga. Wajar? Well... jujur, gue nggak tau.

Kasus kedua. Gue mengenal dua nyonya yang berpotensi menjadi rekan kerja gue tapi selama berbulan-bulan belum pernah punya encounter langsung dengan gue. Sebut saja Nyonya X dan Nyonya Y. Gue sudah punya opini khusus tentang Nyonya X karena:
1. gue sering ketemu di lift, tapi mukanya selalu sedingin es
2. gue pernah training bareng, tapi dia selalu bersikap seakan-akan gue nggak exist di muka bumi; jadi kayanya gue invisible gitu, kalau liat ke arah gue maka pandangannya bakal tembus bus bus dari tubuh fisik gue
Sedangkan tentang Nyonya Y, gue juga punya opini khusus lain karena:
1. dia galak setengah mampus
2. kalo ketawa bikin bumi bergetar (dan getaran itu accelerated exponentially seiring dengan bertambahnya waktu) sampe gue musti beli earphone baru buat ganti earphone lama gue yang kabelnya harus digeser-geser dulu baru bisa dipakai untuk mendengar suara apapun selain suara tawa yang bikin bumi bergetar itu
3. dia kelihatannya (ingat, kelihatannya) super bossy boss
4. dia pernah murka sama temen-temen gue dan sampai bikin salah satu temen nongkrong gue berurai air mata (padahal temen gue itu preman abis).

Singkat cerita, gw terperangkap dalam tim yang dipimpin oleh Nyonya X dan Nyonya Y. Hati gue sudah resah gelisah tak tentu arah membayangkan bekerja bersama gunung es dan harimau hutan. Perut gue bergejolak tak keruan dan gue menetapkan diri gue untuk tambah tak suka dan tambah tak suka setiap hari pada kedua nyonya tadi.

Dan ternyata oh ternyata.... Nyonya X begitu baik hati dan dengan senang hati mengajariku mengenai begitu banyak hal. Dia sama sekali bukan gunung es dan hatinya sehangat jakarta di pagi hari sekitar jam sembilan (kalau sebelum jam 9, masih agak dingin; lewat jam 9, terlalu panas). Nyonya X tidak pernah menganggap sepi pendapat gue, tak pernah tak mengindahkan kata-kata gue... Such a kindhearted woman. Dan Nyonya Y? Yah, dia memang agak galak (mirip gue kali yah) dan memang cukup bossy boss dan tawanya memang tetap bikin bumi bergetar. But she's one of the best mentor I've ever encountered with. Knowing her is such a blessing that makes me know that somehow I'll survive this nasty fate. Dan sekarang, gue akan selalu bilang bahwa Nyonya X dan Nyonya Y saaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaangat baik hati.

Gue bersyukur bahwa selama ini gue hanya bercerita pada beberapa teman tentang kemuakan gue pada mereka. See how I change my opinion in the second case? Or how I influence my friend's opinion in the first case? Dan gue jadi teringat pada kesebalan-kesebalan gue yang lain pada orang-orang lain. Memang, belum tentu mereka menganggap pendapat gue bisa dipercaya, tapi setidaknya itu bisa mempengaruhi pendapat mereka tentang orang lain. Padahal, mungkin hanya dalam waktu sepelemparan batu (ada nggak sih?:D) gue sudah berubah pikiran.

People change... and everybody deserve a second chance. And even a thousandth chance. May God help me to help others to be the best they can be.

Tuesday, July 24, 2007

Aku Sayang Adik-adikku...

Aku baca cerita ini pertama kali bertahun-tahun yang lalu. There were tears on my eyes. There were, too, when I read it again a couple of minutes ago... Remembering how much my brothers and sister love me all this time... And how much I love them but still so many times hurt them on purpose...

====================================

I Cried For My Brother Six Times

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan diriku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya merengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.

"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan, saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"

Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..." Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berkali-kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.

Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan menjadi buah bibir orang?"

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"

"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?"

Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.

"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih kepadanya adalah adikku."

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Monday, July 23, 2007

BENGONG IS MY MIDDLE NAME

Yap. Bengong is my middle name. Sepertinya hidup belum lengkap tanpa episode bengong. Kapan pun, episode bengong musti ikut serta. Makan, tidur, ngobrol, baca buku, browsing, sebut saja aktivitas lain, pasti gue selingi dengan bengong. Bukan cuma pada aktivitas apa pun, tapi juga di tempat mana pun. Gue kadang-kadang bengong juga di tempat les frm; setelah bayar berjuta-juta, membuang waktu gila setiap sabtu, mencoba menyerap semua yang bisa diserap, tapi tetap saja dari durasi berjam-jam pagi sampai sore itu nggak mungkin dilalui tanpa bengong. Atau pas lagi pulang kantor jalan kaki sendirian, atau di tengah keramaian orang-orang yang sedang meramaikan entah apa. Lalu, di meja kerja gue di kantor... fuih... mungkin sebaiknya namanya diganti saja jadi meja bengong, ngong ngong ngong... Bengong is really my middle name.

Dulu, bengong seperti terapi buat gue. Kalau hidup jadi unbearable, kalau orang-orang jadi insufferable, kalau hari besok jadi tambah unpredictable, bengong is definitely my haven. Seriously, bengong bikin kepala gw enteng walaupun nggak bakal berpengaruh banyak sama carut marut di hidup gue, sama puting beliung di sekeliling gue.

Sekarang, bengong lebih jadi pengisi waktu luang gue. Hehehe. Jadi luang bukan karena nggak ada yang perlu dikerjakan, tapi jadi luang karena gue bingung bagaimana mengerjakan yang sepertinya harus dikerjakan, atau gue benci dengan apa yang harus gue kerjakan, atau gue sudah terlanjur lelah untuk mengerjakan hal-hal yang gue ingin kerjakan, atau gue bosan berusaha mengerjakan pekerjaan yang gue nggak tau buat apa dikerjakan.

Tapi, buat tujuan apa pun, gue tetep cintaaaaaaaa sama aktivitas bengong ini. Hidup BENGONG!!!


Monday, July 16, 2007

Kekuatan (2)

Seekor semut tetap seekor semut. Walaupun orang bijak menjadikannya teladan atas kerja keras dan keteguhan hati, seekor semut tetaplah hanya seekor semut. Semut memang pekerja keras, tak pernah ditinggalkannya jalur yang ditetapkan untuknya. Dengan tekun, bila tersesat, dia akan mencari kembali jalurnya, lalu menekuninya lagi sampai masanya usai.

Tapi seekor semut tetap seekor semut. Banyak kekuatan besar di luar dirinya, dan benar-benar banyak, yang bisa menghentikan ayun langkahnya setiap saat. Dan dalam sekejap dia hanya seekor mantan semut.

Malangkah hidup seekor semut? Kecil, tak punya banyak daya, bekerja sepanjang hidup, tak mendapat belas kasih dari yang empunya kekuatan yang lebih besar. Pahitkah hati semut? Hidup yang pendek yang senantiasa dibayangi akhir dari segalanya. Pernahkah seekor semut mencari kekuatan yang lebih besar? Mungkinkah seekor semut mendapat kekuatan yang lebih besar?

Monday, June 18, 2007

...

We are standing at the crossroads and now it's time for you to go your way and me to go mine. I will pray the Lord will keep you safe until the day I see your face again.

My friend, we have been through so much and you have been my Godsend with your sure and steady love. My friend, you know I will be there if you ever need 'cause you've always been a friend to me.

I may travel the world over but one thing I know for sure: one day this road will lead me back 'round to your door. I will pray the Lord will keep you safe, some bonds are just too strong to break in the end.

Nothing will change the way I feel about you, not the miles or the years or the place this life takes me to.

-My Friend by Plus One-

to a long lost friend I miss terribly...

Friday, June 08, 2007

MENARI

aku terbang rendah mengitari pucuk muda yang baru menggeliat tumbuh. daun-daun ranumnya menyebarkan aroma buta dan bodohnya suatu bakal kehidupan. aku mengibaskan kecantikanku dan terpesona pada penglihatanku. indahnya, menjadi dungu dan tidak mengerti (*), hanya merekat erat pada tempatnya mendekap nyawa.

bertahun-tahun yang lalu aku masih menari bersama seribu bintang, terbang di antara seribu bintang. bertahun-tahun kemudian, sekarang, aku hanya mampu berharap bahwa seribu bintang masih 'kan mau turut menari bersamaku..

diadaptasi dari  http://bools.blogspot.com/2004_10_01_archive.html

Wednesday, June 06, 2007

KEKUATAN

Aku sedang mencari kekuatan. Adakah yang tahu di mana aku bisa menemukannya? Aku mencari kekuatan yang membuat aku kuat, tentu. Kuat bertahan dalam angin ribut: tak perlu membuatku kuat menghadang badai, cukup membuatku kuat bertahan dalam angin ribut. Bertahan, tak perlu tetap tegak berdiri, sekadar bertahan walau sambil tertunduk, walau sambil berlutut, walau sampai terkapar...

Aku sedang mencari kekuatan. Adakah yang bisa meminjamiku barang sejenak? Aku mencari kekuatan yang membuatku tetap lembut dan manis, kekuatan yang tidak membuatku keras dan pahit. Mungkinkah akan pernah kutemukan?

Aku sedang mencari kekuatan. Aku mencari kekuatan yang membuatku tak membenci kelemahan, tak menjauhi yang lemah.

Aku sedang mencari kekuatan...

Thursday, April 26, 2007

Gila (nggak penting banget)

Dalam setiap masa dalam hidup gue, gue selalu menderita kegilaan pada sesuatu. Dan kalo gue lagi tergila-gila dgn sesuatu, gue bakal melakukan itu tiaaaaaaaaaap saat gue bisa (ato malah gue bisa2in). Ini dia daftar gila-gilaan gue yang sempet kejadian:

  1. makan permen jahe gingerbon
  2. ga pernah lupa ngobrak-ngabrik milis pasarbuku tiap jam
  3. ngulum fisherman’s friend rasa apel
  4. ngunyah kukizereal rasa tiramisu
  5. pake face paper ovale (idih, ngga banget deh gue ulang)
  6. maen Huntsville
  7. bawa jacob’s ke mana pun gue pergi
  8. selalu siap sedia marie regal di laci gue di kantor
  9. minum jahewangi tiap pagi
  10. nongkrongin milis jalansutra tiap hari
  11. beli zestea tiap kali pulang dari mana2 n nglewat warung deket rumah gue
  12. beli yakult tiap abis makan siang
  13. maen onet & zuma
  14. amazon.com… my goodness, ga ada matinya site satu ini
  15. beli dutchmilk tiap ke koperasi di kantor gue
  16. donlod buku-buku keren dari esnips.com
  17. maen spider solitaire (hiks, ga sophisticated banget)
  18. nge-date ama kotakbuku.comèthe latest neh..

Wednesday, April 11, 2007

Memandang Alam dari atas Gedung

Biasanya aku nggak suka menempeli blog-ku dengan foto--foto apapun. Tapi ini agak berbeda, foto kawasan Semanggi diambil dari lantai 22 sebuah gedung di daerah itu. Bukan foto yang masuk kategori bagus, tapi cukup buat menunjukkan bahwa aku bisa melihat Semanggi yang lebih luas daripada yang biasanya aku lihat.

Yaa, biasanya aku cuma bisa melihat semanggi sepotong-sepotong: belokan menuju Plaza Semanggi, kolong di bawah jembatan layang Semanggi, gedung Polda Metro Jaya, atau pohon-pohon bak hutan tak jadi di antara putaran Semanggi. Aku memang bisa membayangkan gambaran utuhnya dari potongan-potongan itu, tapi tidak seutuh yang aku lihat ketika mengambil foto ini.

Mungkin seperti itu juga ya, dengan hidup. Manusia cuma bisa melihat sepotong-sepotong: kelahiran, pertumbuhan, masa sekolah, kuliah, bekerja, berganti pekerjaan, menemukan kekasih, meninggalkan kekasih, menikah, mempunyai anak, membesarkan anak, menikahkan anak... Gambaran utuhnya baru bisa dilihat kalau sudah berlalu; itu pun tidak benar-benar utuh, karena ada potongan lain di depan yang belum terlihat, belum diketahui. Dan cuma satu pribadi yang bisa melihatnya dengan utuh, dengan seharusnya: Tuhan.

Segala sesuatu yang cuma sepotong-sepotong itu kadang-kadang membuat resah, tapi sering juga membuat tambah bergairah, bersemangat. Mungkin hidup memang terlalu misterius untuk dipotret dan dianalisa. Dan mungkin memang lebih baik begitu.

nb: aku memang sekarang lagi suka memandang alam, dari mana aja, nggak perlu dari atas gedung; dari balik meja, dari jendela, dari kejauhan, dari dekat... hehehe..


Tuesday, February 27, 2007

Things I Hate Most

1. ketidakpastian; gw benci segala sesuatu yang ngga jelas, ngga pasti, ngga tau mau diapain...

2. macan; gw benci macan yang ternyata 2 years younger than me tapi galaknya kaya nenek2 kesetanan... jd merasa muda klo deket2an ama macan yg selalu cemberut itu

3. doing things for the sake of pleasing people; gw benci kalo harus senyam senyum cengar cengir supaya orang laen seneng, gw benci kalo ngga boleh lupa ngangguk dan senyum walopun gw ga kenal dan dalam hati sih peduli amat dia mau seneng ato ngga sama tingkah gw yang tanpa ngangguk dan tanpa senyum itu

4. being unexcited; gw benci sama ketidakmampuan gw buat jd excited sama hal2 yg suka ga suka harus gw hadapi, hari demi hari mungkin sampai ajal memisahkan **buset deh kaya janji nikah aja..**

5. disuruh-suruh; HIIIIH... gw baru sadar betapa bencinya gw disuruh-suruh, apalagi kalo disuruh-suruh melakukan hal2 yg ga penting, apalagi kalo disuruh-suruh melakukan hal2 yg ga jelas yg bahkan org yg nyuruhnya pun ga ngerti

6. statistik; my goodness.. I hate it with ALL MY SOUL

7. I hate having things to hate...

Tuesday, January 23, 2007

Hidup ini indah kalo…

hidup ini indah kalo lagi kenyang

hidup ini indah kalo dompet lagi tebel

hidup ini indah kalo lagi ga punya duit trus ada yg nraktir

hidup ini indah kalo ada orang yg bisa dicela

hidup ini indah kalo bisa ketawa sampe sakit perut

hidup ini indah kalo bangun pagi2 trus boleh tidur lagi sampe puas

hidup ini indah kalo barang2 pada diskon

hidup ini indah kalo bisa tidur pas lagi ngantuk

hidup ini indah kalo koleksi topeng kaca gue bisa komplit

hidup ini indah kalo laptop lelet gue diganti yg baru

hidup ini indah kalo gue bisa punya kesibukan

hidup ini indah kalo temen2 dari dua puluh tahun yg lalu tetep jd temen

hidup ini indah kalo masi bisa terus cha cha

hidup ini indah kalo masi punya temen buat diajak nonton ini dan nonton itu

hidup ini indah kalo...

ternyata, hidup ini indah krn hal2 yg kecil

ternyata, hidup ini pada dasarnya memang indah kok

hidup ini tetep indah walopun gaji gue diturunin

hidup ini tetep indah walopun perut gue bergejolak

hidup ini tetep indah walopun tanggal gajian ga dateng2

hidup ini tetep indah walopun wiken sering en-te-de

hidup ini tetep indah walopun tiap hari ga tau mau ngapain

hidup ini tetep indah walopun cita2 gue ga nyampe2

hidup ini tetep indah walopun novel gue ga kelar2

hidup ini tetep indah walopun gue ga sanggup beli buku yg harganya 180 dolar itu

hidup ini tetep indah walopun beberapa teman menghilang dari peredaran

hidup ini tetep indah walopun banyak hal terjadi

kesimpulannya, hidup ini memang indah

walopun kadang2 nangis darah

walopun kadang2 pengen mencincang seseorang

walopun kadang2 pengen menghilang ke dasar bumi

tapi hidup ini memang dibuat untuk jadi indah

jadi, terima kasih tuhan untuk hidup yang indah

Thursday, January 18, 2007

Merah Putih

Gue mesti ngaku, walopun gue aga2 antipati sama banyak hal di tanah air yg masalahnya tambah banyak dan ribet aja sejak gue ngerti kalo gue bertanah air yg berpancasila ini dan aga2 kesel dgn kenyataan bhw gue selalu bete krn perlakuan yg bikin gue seperti org asing numpang idup dan ga punya added value buat org laen, tp tetep aja gue bangga ama merah putih dan segala hal yg membela merah putih.

Misalnya, gue bangga ama penggagas milis beasiswa@yahoogroups: penggagas, moderator, anggota, semuanya, tulus hati lapang dada saling bantu cari sekolah gratisan. Ck ck ck. Hebat ya kaum merah putih ini. Gue juga terkagum-kagum ama milis super sibuk pasarbuku@yahoogroups yg banyak anggotanya menggebu-gebu mao bikin bangsa ini tambah cerdas, tambah kritis, tambah bangga ama bangsanya, tambah baik hati. Pokonya gue kagum!!

Gue juga ternganga-nganga ama komunitas 1001 buku yg bahu membahu *luar biasa bgt* ngumpulin buku trus kemudian disortir dan dibagi-bagi sama perpustakaan anak-anak *non komersil, tentunya* sampai di pelosok sana. Semuanya dgn uang sendiri, ga pake minta-minta, ga pake cari donatur. Hebat.

Gue angkat topi buat org2 yg, walaupun minoritas, tetap berjuang supaya kebijakan, ketentuan, peraturan, apapun itu, berpihak ama pemilik tanah air merah putih ini. Seru juga, melihat org2 begitu merah putih, berjuang bertahan membela bangsanya yg makin lama makin tidak merah putih.

Dan gue pengen semerah putih orang2 merah putih itu walopun ga tau gmn caranya.

*untuk indonesia yg lebih baik*

Friday, January 12, 2007

Aku Pernah Dicintai...

Seseorang di amazon dot com bilang kalo buku ini terlalu sarat kekerasan. Setelah gue pikir2... mmm.. bener juga. Tapi tetep aja gue suka buku ini. Gue suka gambarnya, gue suka ceritanya, gue suka tokoh2nya. Gue suka Bull dan Lucy, gue suka boneka-porselen-berumur-seratus-tahun yang pernah pecah berkeping-keping, dan gue juga suka Sarah Ruth, termasuk Billy abangnya.

Tapi gue ga suka sama tokoh utamanya: Edward Tulane. Bisa-bisanya dia ga pedulian gitu sama orang2 yang sayang sama dia. Bisa-bisanya dia membalas kasih sayang yang begitu berlimpah ruah dengan ”so what, I never ask you to love me anyway”. Hih.

Tapi gue tetep ikut sedih ketika Edward Tulane menyesali kehilangannya. Iya, dia kehilangan semua yg dulu dia pernah punya tapi ga pernah hargai dan akhirnya dia berharap dia tidak pernah kehilangan semua yg dulu dia pernah punya tapi ga pernah hargai itu.. (buset… ini kalimat terpanjang yg pernah gue tulis seumur hidup gue:D).

Dan akhirnya, gue ikut meratapi keluh kesah Edward Tulane:

Aku pernah dicintai.

Aku pernah begitu dicintai.

Ya, aku pernah dicintai.

Catatan kecil dari The Miraculous Journey of Edward Tulane-Kate DiCamillo

Wednesday, January 10, 2007

MIMPI

Ini topik favorit gue. Kenapa? Karena mimpi yang bikin gue bisa melewati banyak hal, mimpi yang bikin gue mau maju terus walaupun ketidakpastian hanya selalu berganti dengan lebih banyak ketidakpastian.

Tapi belakangan banyak hal bikin gue resah. Ketidakpastian seringkali masih membangkitkan sebuncah harapan bahwa suatu hari kelak, entah kapan, ketidakpastian itu akan berujung pada mimpi yang gue tunggu-tunggu. Tapi justru krn ketidakpastian ini juga maka nggak pernah ada jaminan kalau mimpi gue akan sampai ke tangan gue. Atau jaminan bahwa gue bisa melihat mimpi gue dari kejauhan, seperti Musa yang masih bisa memandangi tanah perjanjian dari ketinggian gunung tempatnya menyerahkan nyawa. Atau jaminan bahwa kalau mimpi itu bisa gue genggam, gue bisa... yah gue bisa... apa ya? A little bit happier? A little bit more content about myself? A little bit more excited with life? Seperti yg org2 bilang… be careful of what you want, you may get it…

And yes, you may get it. You may get it and realized that it's a hell lot better if you left off without your dreams ever coming true. Hidup memang misteri. Seperti mimpi, hanya misteri.

Dan gue benci misteri.

Catatan kecil dari Dreams of My Russian Summers-Andrei Makine

Wednesday, January 03, 2007

Not in the Mood

lagi ga mood.
ga mood dan ga mood.
ga mood bangun. 
ga mood makan.
ga mood kerja.
ga mood ngomong.
ga mood dibecandain.
ga mood rapat.
ga mood chatting.
ga mood senyum.
ga mood nyengir.
ga mood baca statistik *never had the passion for it, by the way..*
ga mood gerah2an di ruangan dgn ac seadanya.
ga mood blajar pake hp yg baru dua hari jd punya gw setelah diserahterimakan oleh ade gw.
ga mood latian cha cha.
ga mood kongkow2.
ga mood.
ga mood.
ga mood.
hiks.