Wednesday, April 27, 2005

bété

apa obat bete? hehe... ini 10+1 *niru ayu utami yg niru format 101 dalmatians ato 1001 arabian nights itu...* tips dari gw buat obat bete paling mujarab sepanjang sejarah hidup gw:

1. minum kopi panas *black is much better, but cafe au lait or cappuccino will do if the so called gastroentritis stuff already found its way on my stomach*>

2. tidur *hmmm... 8 jam, 10 jam, 12 jam? WAWWW!!!*>

3. baca novel *paling asik sih, baca lagi bukunya enid blyton ato erich kastnér ato christine nostlinger ato astrid lindgren... kesimpulannya sih, novel anak2 jaman dulu itu loooh*>

4. baca mazmur *The Lord is my shepherd, I shall not be in want...*>

5. nangis *napa yah, air mata punya efek menenangkan jiwa? hiks hiks hiks. gw serasa jadi wanita 10000% kalo udah mulai bermandikan air mata, hihihihihi*>

6. ngobrol *hmmm... what a bless to have friends to count on!!!*>

7. tereak-tereak nyanyi apa aja dgn gaya kaya penyanyi dgn suara paling oke yg pernah terlahir ke muka bumi *which is I am definitely not, huaaaa*>

8. bikin perencanaan macem2 *bisa sok2an bikin budgeting, ato jadwal belajar, ato jadwal research proyek toko buku gw* >

9. bengong *no comment deh, asal ga kesambet ajah*>

10. nongkrong *iiiiiiiih... ga gw banget kan yah? tp layak dicoba deh jreng...*>

finally, the best choice: get on my knees and say my love words to the one who take so much trouble just to show how much I'm loved...

Tuesday, April 26, 2005

PELACUR

Ya, pelacur. Apa yang terbersit kalau mendengar kata itu? Aku masih saja belum bisa menggambarkan pikiran dan perasaanku dengan jelas setiap kali kata itu melintas lagi di kepalaku, seperti ketika aku melihat mereka berdiri di sepanjang jalan yang kulewati malam itu.

Apa yang dicari oleh orang-orang yang melacurkan tubuhnya? Uang? Pelarian dari hidup yang tak henti-hentinya menyesakkan hari? Setetes kasih, tak peduli seberapa singkat dan palsunya pun itu? Apa?

Di kota asalku, rumah keluarga kami begitu berdekatan dengan lokasi pelacuran. Mulai dari kelas lapangan rumput sampai kelas yang lebih tinggi dengan kamar hotel melati atau berbintang satu. Aku sudah begitu terbiasa memasang tampang luar biasa galak setiap kali aku perlu keluar rumah setelah matahari terbenam, supaya tidak "ditawar". Teman-teman lelakiku pun sudah terbiasa dengan kewajiban menunggu aku masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dari dalam kalau mereka mengantarkanku pulang. "Jangan sampai kau ditawar," begitu selalu kata mereka.

Ada seorang anak perempuan di lingkungan rumah keluarga kami yang begitu melekat dalam ingatanku. Ya, dia memang tetanggaku, tapi tidak bisa dibilang kalau kami saling mengenal. Oh, ya, tentu saja dia tahu siapa orang tuaku, siapa adik-adikku, siapa namaku, yang mana rumahku, dan begitu pula sebaliknya. Tapi kami tak pernah berteman *yah, mungkin karena aku ketika itu memang lebih suka berteman dengan buku-bukuku daripada dengan gadis-gadis kecil sebayaku*. Dia beberapa tahun lebih muda dariku, mungkin sekitar 4 atau 5 tahun karena ketika aku mulai melepas seragam putih biruku, dia masih tetap memakai seragam putih merahnya.

Selepas SLTP, hampir setahun aku tak bertemu dengannya. Aku melanjutkan sekolahku ke kota lain, jadi jarang sekali aku bisa bertemu dengan tetangga-tetanggaku. Jadi sangat mengejutkan ketika suatu sore aku melihatnya menggendong seorang bayi. Bayinya. Dan semakin mengejutkan lagi ketika di sore yang lain aku melihatnya keluar rumah dengan dandanan menor, rok super mini, dan kaus ketat dengan bagian dada yang luar biasa rendah. Dia jadi pelacur.

Oh, tentu saja aku tahu kalau ibunya adalah pelacur. Aku juga tahu kalau tak seorang pun tahu siapa ayahnya atau siapa ayah anaknya. Aku juga tahu kalau penduduk sekitar rumahnya memang terdiri dari terlalu banyak preman dan pelacur. Tapi perempuan semuda dia membesarkan seorang anak? Perempuan semuda dia menjadi pelacur? Dia bahkan belum lulus sekolah dasar! Mimpi apa yang masih tersisa dalam angannya?

Saat aku seusianya, kepalaku masih terlalu penuh dengan mimpi kanak-kanak yang begitu naif. Aku mau punya istana buku. Aku mau jadi profesor hebat. Aku mau bepergian, parle bien français et irai à Paris. Mungkin, mungkin saja aku terlalu merendahkannya karena dia tetap melacur sementara aku menyelesaikan SMU, memperoleh gelarku, lalu berusaha mengejar karir *yang sepertinya tak pernah sudi kukejar:-P*. Mungkin dia punya mimpi yang lebih hebat dari mimpi mana pun yang pernah kupunya. Mungkin.

Aku teringat lagi padanya ketika kulihat beberapa perempuan pelacur lagi di pinggiran jalan yang kulewati malam itu. Seandainya masa lalu bisa diubah, mungkin saat ini perempuan itu duduk di sebelahku di kantor; mungkin saat ini perempuan itu ada di kelas bahasa Perancisku; mungkin saat ini perempuan itu jadi selebritis; mungkin saat ini perempuan itu yang jadi ilmuwan hebat; mungkin perempuan itu tidak pernah tahu apa artinya menjadi seorang pelacur.

20-26 April 2005 *a tribute to Kartini and other women who make it possible for me to be just me--uks, ga nyambung yah?*