Wednesday, December 12, 2007

Episode Kesekian

Pernahkah merasa, kadang-kadang matahari terlalu terik bersinar ketika yang kau perlukan hanya sedikit keteduhan? Pernahkah meradang karena kadang-kadang langit dengan kejamnya selalu mendung sepanjang hari ketika yang kau inginkan hanya beberapa jenak kehangatan? Pernahkah menyesak dada ketika terik dan mendung adalah salah dan kau tak tahu lagi apakah perlu mempedulikan langit dan matahari dan hari-hari dengan langit dan mataharinya?

Rasanya seperti berjinjit di ujung bambu yang panjangnya puluhan meter yang dipancang di atas tanah, lalu harus menatap ke tanah tempat bambu itu dipancang, lalu harus memilih apakah harus melompat dengan sukarela atau tetap berjinjit. Rasanya seperti terbang melayang seringan kapas lalu tiba-tiba kehilangan semua sayap yang dipunya dan tak tahu apakah harus tetap melayang seperti kapas yang tak punya sayap sehingga tak bisa memilih kapan akan terbang, kapan akan hinggap, kapan akan berbelok, atau kapan akan menukik ataukah berhenti melayang selamanya dan melepaskan kenikmatan terbang bebas bagai penguasa jagad raya.

Rasanya seperti ingin melepaskan kepala dari leher dan berhenti berpikir dan berhenti bermimpi dan membiarkan kepala dengan mimpinya sendiri dan sisanya dengan maunya sendiri.

Friday, December 07, 2007

Can't think without...

  • A cup of good coffee
  • My earphone (the only way to concentrate amidst all voices around me)
  • A pack of good time arnott's
  • My gtalk on
  • A notebook opened beside me
  • Some pieces of peace in my heart…

Thursday, December 06, 2007

Gue dan Tulis Menulis

Dulu, belasan taun lalu, gue selalu nulis buat bikin hidup gue lebih hidup. Gue inget, ketika itu gue masih sekolah di daerah sentul. Sekolah berasrama, gue jauh dari rumah, jauh dari keluarga gue, dan jauh dari kenyamanan gue. Gue bener-bener gagap waktu itu. Gagap karena itulah pertama kalinya gue tinggal jauh dari rumah. Gagap karena itulah pertama kalinya gue tinggal satu kamar dengan sepuluh gadis lain. Gagap karena itulah pertama kalinya gue dikelilingi orang-orang dengan latar belakang budaya, sosial, bahkan ekonomi yang beda banget sama gue. Gagap karena tiba-tiba gue bukan siapa-siapa, just another girl (or perhaps better named another weird girl?).

Gue yang pada dasarnya ngga doyan ngomong, ngga doyan beramah tamah, ngga doyan berbasa basi, jadi tambah basi dengan segala kegagapan gue. Gue ngga excited sama temen-temen gue, ngga excited sama pelajarannya (yang menurut gue waktu itu ngga ada keren-kerennya sama sekali), ngga excited sama ekskulnya (musik, olahraga, newspaper, teater: gue benci semua kecuali berkuda yang gue ikutin dengan penuh semangat), ngga excited sama perpustakaannya (yang isinya buku pelajaran semua, walopun impor, dan fiksinya cuma beberapa dengan isi yang asli jadul banget). Gue inget banget, betapa seringnya gue tidur di kelas, pas pelajaran, karena gue bosan setengah idup.

Itulah awalnya gue melarikan diri ke tulisan. Sebelumnya, gue benciiiiiiiiiiiii kalo disuruh nulis. Rasanya seperti mau pingsan, mau muntah, mau nonjok. Tapi di tengah kebosanan gue dengan sekolah baru gue, ternyata gue jadi cinta loh sama kegiatan tulis menulis. Karena pada dasarnya gue bukan orang yang suka cerita, ngga suka terlalu dimengerti, jadilah gue sering banget nulis puisi. Gue marah, gue nulis puisi. Gue sebel sama orang, gue nulis puisi. Gue happy, gue nulis puisi. Lama-lama gue mulai juga menulis prosa lirik: tentang hidup, tentang mati, tentang cinta, tentang mimpi, tentang manusia, tentang Tuhan, tentang sahabat, tentang ketakutan, tentang kemarahan, tentang kekecewaan… tentang segala sesuatu. Dari situ berlanjut ke cerita pendek, artikel, dan novel… (yang belum kelar juga setelah bertaon-taon, hiks).

Selanjutnya, nulis jadi terapi buat gue. Banyak yang bilang kalo mereka ngga bisa ngerti maksud tulisan gue. Begitu sering, gue nulis bukan buat dimengerti, tapi untuk menumpahkan isi kepala (dan isi hati) yang bertumpuk-tumpuk ngga jelas juntrungannya. Dengan begitu, biasanya, kalo hidup gue baik-baik saja, hari-hari mengalir begitu lancar, segala sesuatu terjadi dengan mudah, gue ngga bakal menulis apapun. Buat gue, menulis adalah bertemu sahabat dekat, membuang sampah hidup, mencari pencerahan, menghibur diri sendiri, membangkitkan semangat yang kembang kempis, menenangkan kegembiraan yang terlalu menggempita, dan memberitakan kasih karunia.

Walopun gue sekarang sudah lebih pandai bicara daripada belasan taun yang lalu, gue masih saja lebih suka mengekspresikan diri gue lewat tulisan. Gue lebih memilih bicara dengan tuts laptop gue daripada dengan lidah gue. Dan gue ngga bakal pernah lupa kalimat yang ditulis oleh Solomon Yo (guru agama gue di Sentul) di halaman belakang buku tahunan gue: "God has given you a talent, use it for His glory."

Semoga dia benar, menulis yang adalah terapi dalam hidup gue memang talenta yang dikasi buat gue. Dan semoga gue juga bisa pakai itu buat kemuliaan Tuhan.

Ps: kisah sekolah gue yang di sentul itu happy ending kok, itu jadi pengalaman hidup gue yang paling mendewasakan dan memperkaya diri gue. Memang bukan pengalaman yang paling membahagiakan, tapi di situ gue belajar tentang persahabatan, pengorbanan, kerja keras, dan… kasih karunia. Kalo gue harus mengulang hidup gue, masa-masa pahit di sentul itu adalah masa yang ngga bakal gue hapus karena tanpa itu mungkin gue ngga bakal bisa melewati semua hal yang harus gue jalani setelahnya… (my gosh, dan gue harus melewati sepuluh taon untuk bisa ngomong dua kalimat terakhir itu; well, who says I'm a fast learner anyway?:D)