Tuesday, September 25, 2007

Tentang Mati

Death be not proud, though some have called thee Mighty and dreadfull, for, thou art not soe, For, those, whom thou think'st, thou dost overthrow, Die not, poore death, nor yet canst thou kill mee. From rest and sleepe, which but thy pictures bee, Much pleasure, then from thee, much more must flow, And soonest our best men with thee doe goe, Rest of their bones, and soules deliverie. Thou art slave to Fate, Chance, kings, and desperate men, And dost with poyson, warre, and sicknesse dwell, And poppie, or charmes can make us sleepe as well, And better then thy stroake; why swell'st thou then? One short sleepe past, wee wake eternally, And death shall be no more; death, thou shalt die.

Death Be Not Proud by John Donne

Mati. Empat huruf yang bisa bikin manusia mengharu biru. Atau bikin manusia yang masih hidup jadi hancur? Aku tidak tahu pasti. Perkenalan pertamaku dengan kematian yang mengharu biru adalah saat kematiaan nenekku. Aku masih bisa mengingat ambiance saat itu. Tapi jujur, aku tidak merasakan kesedihan yang menyesakkan dada saat itu. Apa karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti kematian dan kesedihan dan perasaan kosong karena ditinggalkan oleh orang terkasih? Atau karena aku memang tidak sanggup merengkuh rasa yang begitu mendalam itu? Aku juga tidak tahu pasti.

Kematian kedua yang aku kenal adalah kematian anjing pertamaku. Anjing hitam kecil yang aku tidak pernah tau rasnya apa. Salah satu kenalan keluargaku mengantarkannya di suatu sore dan aku ketakutan setengah mati karena tidak ada siapapun di rumah selain aku sore itu. Anjing itu kumasukkan ke dalam kamar adikku supaya dia tidak terus menerus mengendus kakiku dan betisku dan tanganku dan seluruh tubuhku. Tapi anjing itu tak henti-hentinya berkaing-kaing dari dalam kamar yang tertutup sampai akhirnya kubiarkan dia bebas mengendus-endus segala sesuatu. Intinya, aku punya kenangan yang kusimpan sampai sekarang, lebih dari 15 tahun kemudian. Pada saat matinya, aku yang menggendong mayatnya yang berlumuran darah dari jalan besar di belakang rumahku. Aku pula yang meletakkannya di lubang yang digali ayahku bersama kausku yang merah oleh darahnya.

Kematian selanjutnya terasa begitu jauh dari hatiku. Kematian kerabat yang tak kuingat wajahnya, atau teman-teman yang hanya kutahu nama dan wajahnya (dan mungkin tidak pernah tahu nama apalagi wajahku). Aku ikut melayat ke sana, melayat ke sini; memeluk anggota keluarga yang ditinggalkan dan membiarkan air mata menggenangi mataku. Bukan, bukan sedih karena kematian, tapi sedih karena melihat orang yang kukenal begitu bersedih karena ditinggalkan. Begitu perkasakah kematian?

Bukan, bukan kematian yang begitu perkasa. Penyesalan dan kesepian lebih perkasa dari kematian. Ya, menyesal karena ada hal-hal yang belum dilakukan bersama yang telah wafat atau untuk yang telah wafat; menyesal karena ada kata-kata yang belum disampaikan atau karena ada kata-kata yang telanjur diucapkan; menyesal karena belum cukup banyak pelukan, ciuman, dan peluh yang ditumpahkan untuk yang telah wafat; menyesal karena harapan dan mimpi tak bisa lagi diwujudkan untuk orang yang telah mati. Dan kesepian... Kesepian yang bisa membunuh lebih cepat dari penyakit, lebih cepat dari bencana. Mungkin kematian memang perkasa.

Buatku, kehidupan setelah kematian lebih perkasa. Seperti yang John Donne dengan gagah bilang: One short sleepe past, wee wake eternally, And death shall be no more.

Mengenang yang terkasih Christofer Landro Manullang