Friday, May 20, 2005

I'M CRAZY!

dulu, waktu gue kecil banget, gue menggilai semua bukunya enid blyton. gue berasa org plg kaya sejagad raya kalo udah selesai baca satu bukunya enid blyton. gedean dikit, gue tergila-gila sama pearl s buck: sama maharani, bumi yg subur, wang si macan... gedean dikit lagi, gue ngefans abis sama goenawan mohamad dan mohamad sobary. nyelip2 di antara mereka ada roald dahl (charlie and the chocolate factory-nya spt mimpi kanak2 yg menjadi bintang di langit penuh awan), erich kastner (kelas terbang-nya romantis abis, model persahabatan yg gue selalu pengenin--jd inget, si yonce blon balikin kelas terbang gue!), budi dharma (dgn org2 bloomington-nya, uh...), nh dini (kumpulan cerpennya gue lupa judulnya, tp masih terawat baik, kalo2 yg punya ntar nagih, hihi), dan john grisham...

dulu pernah juga gue tergila-gila sama mazmur. tiap kali punya waktu kosong, gue pake baca mazmur. sampe2 kalo nulis jurnal, quot nya selalu dari mazmur. dari mazmur 23, tuhan adh gembalaku, takkan kekurangan aku. dari mazmur 42, mengapa engkau tertekan hai jiwaku, dan gelisah di dlm diriku? kayanya sampe sekarang jg masih rada menggilai mazmur deh. di ruang meja gue yg sempit dan dipenuhi kertas2 dan tempelan macem2 itu, masih ada tempelan mazmur di mana2...

sekarang, setelah gede beneran, gue sempet terobsesi sama fyodor dostoyevski, leo tolstoy, dan michael cowper. lama2 muak juga kalo musti bergulung-gulung sama bahasa inggris yg ribet bgt. sampe lecek abis deh kamus webster gue. sekarang bgt, gue back to nature: baca sastra indonesia sajah... walopun ada yg bilang gue, kekuatan sastra indonesia itu di permainan kata, bukan di content, jadinya kalo diterjemahin ke inggris ngga keren, gue tetep bilang sastra indonesia keren.

abis baca remy silado, gue jatuh cinta deh pokonya! sekarang ayu utami, muak2 dikit sama ngomongnya yg rada ngga punya sopan santun... dan gue kudu punya waktu buat nikmatin pramudya! belum lagi seno gumira adjidarma: hm... cantiiiiiiiik bgt! (gue pernah tunjukin sepotong senja untuk pacarku sama salah satu dari kalian, kan?) dan puisi2nya sapardi joko damono (tak ada yg lbh tabah dr hujan bulan juni. disembunyikannya rintik rindunya kpd akar pohon berbunga itu). te-o-pe be-ge-te deh!

tapi gue jadi mikir, pas gue baca judul lagunya lenny leblanc: I'm crazy. bisa ngga yah, gue menggilai sesuatu yg jelas jauh lebih berharga, yg memang beneran esensial buat idup gue? sampe gue pengen ngamuk kalo gue ngga punya waktu buat nikmatinnya, sampe gue bela2in keilangan apapun asal gue bisa nikmatin dia, sampe idup gue bener2 nyebelin kalo hal2 lain ngeganggu gue dari dia...

when it comes to loving you: I'm crazy... yes, I'm crazy about the Lord...

Thursday, May 19, 2005

BODOH

aku tidak suka orang bodoh. memang terdengar kejam, tapi aku sungguh tidak suka orang bodoh. orang bodoh membuatku bosan, membuatku geram, dan akhirnya akan membuatku murka. sama sekali tidak menyenangkan hatiku bila keadaan memaksaku berbasa basi dengan orang bodoh. basa basi yang benar-benar basi.

aku juga tidak suka anjing bodoh. anjing bodoh membuatku bosan, membuatku geram, dan akhirnya membuatku murka. sama sekali tidak menyenangkan hatiku bila keadaan memaksaku berurusan dengan anjing bodoh. urusan yang benar-benar tidak layak diurus.

dan gordan adalah anjing bodoh dalam arti yang sebodoh-bodohnya. anjing betina yang bodoh, dungu, dengan IQ yg tidak hanya jongkok tapi sudah tiarap sampai rata dengan tanah (itu kalau memang istilah IQ berlaku untuk binatang sekelas anjing bodoh). entah mengapa orang tuaku tidak membuangnya sejak dia dilahirkan. anjing bodoh hanya menghabiskan uang dan waktu. kebodohannya hanya menjadi beban yang tak menghasilkan apapun.

ada baiknya kuceritakan salah satu kebodohan si gordan sang anjing bodoh. di kebun orang tuaku, ada dua ekor anjing penguasa: peno yg jantan dan peni yg betina. keduanya anjing ras yang cerdas, patuh, setia, dan dapat diandalkan. tapi secerdas-cerdasnya anjing tetap saja anjing yang bisa kawin sesuka hatinya dengan anjing mana pun yg dimauinya lalu beranak pinak sebanyak yg rahimnya mau. dan dari perkawinan semau hati antara peni dan anjing-entah-dari-mana-dan-entah-siapa-yg-punya itulah akhirnya gordan lahir.

sejak lahir, tanda-tanda kebodohan gordan sudah nampak jelas. dia tidak pernah mau disentuh oleh kami, tuan besar yg jadi pemiliknya. dia tidak pernah bisa membedakan antara makanan yg boleh dia makan dan ayam peliharaan kami yg harus dia jaga dengan jiwa raganya. dia tidak pernah bisa membedakan sentuhan yg membelai tanda sayang kami dan sentuhan kemarahan yg menghukumnya. bodoh. benar-benar bodoh.

dan malam itu adalah puncak kemarahanku pada kebodohannya. seperti selayaknya anjing yg tak punya nurani, peni sang penguasa betina selalu benci pada gordan. kurasa sebabnya adalah karena pasangannya sesama penguasa--peno sang penguasa jantan--sering menguntit gordan. kupikir itu adalah kecemburuan sesama betina. kami --para tuan besar pemilik komunitas anjing di kebun kami-- sudah sangat sadar bahwa tak sedetik pun peni dan gordan boleh berkeliaran bebas dalam waktu yg bersamaan. bila gordan bebas, peni harus dirantai; bila peni bebas, gordan harus dikurung. kalau tidak begitu, gordan akan habis dilibas digigit ditendang dicakar oleh peni.

malam itu kami memutuskan bahwa kali ini, penilah yg boleh berkeliaran bebas. karenanya, kami membujuk gordan untuk masuk ke kandangnya. demi keselamatannya sendiri. dan gordan si bodoh itu tidak mau. sama sekali tidak seperti peno atau peni yg tahu bahwa ada saat-saat bagi mereka untuk merelakan langkahnya dikekang rantai.

empat manusia harus mempersempit ruang geraknya, agar anjing itu masuk ke dalam kandang. tapi gordan malah menggonggong dengan takut. dia takut. dia benar-benar takut pada kami. bodohnya. si bodoh itu takut kami akan menyakitinya. si bodoh itu tak juga mengerti bahwa kami mengepungnya untuk menyelamatkannya dari kemarahan peni. bosan dan geram hampir membuat ayahku menyerah. biarlah, biarkan saja gordan bebas. biarkan saja dia dicabik-cabik oleh peni. tapi ibuku tak kenal kata gentar. kesabarannya adalah kesabaran seorang ibu, walaupun hanya untuk seekor anjing. seekor anjing bodoh.

dan aku melihat satu sosok manusia dalam gordan si anjing bodoh itu. aku melihat diriku. diriku yg bodoh. diriku yg sering tak bisa mengenali tangan-tangan yg ingin menolongku, yg ingin melindungiku, yg ingin memberi kehidupan yg lebih baik untukku. diriku yg dalam kebodohan sering merasa gentar akan hal-hal yg tak kumengerti. dan aku melihat sosok lain pada tuan pemilik yg tak mau membuang anjingnya yg bodoh dan tak berguna. cinta. kasih karunia yg mampu mencintai yg tak layak dicintai. cinta yg tak pernah menyerah. kasih yg tak berbatas. aku melihat cinta Tuhanku padaku.

aku tak mau lagi bosan dan geram dan murka pada orang yg kuanggap bodoh. aku pun sering lebih bodoh dari gordan si anjing bodoh.

Tuesday, May 03, 2005

KEPERCAYAAN

I.
Seperti yang selama ini selalu terjadi, saya adalah pengagum kombinasi wajah yang menarik dan otak yang cerdas. Karena itulah saya langsung terpesona oleh gadis itu: cantik dan cerdas. Bahasa Perancisnya yang indah bikin saya tak mampu berkata-kata dan wajah cantiknya seperti menghisap seluruh sudut pandang saya.

Mungkin itu juga sebabnya mengapa saya tidak menyadari sesuatu yang tak biasa pada tubuhnya. Kali kedua saya bertemu dengannya, tak sengaja saya memandang lengan kanannya yang disandarkan di meja. Dan saya membeku. Lengan kanannya hanya kira-kira tiga perempat panjang lengan kirinya dan di ujung lengan yang pendek itu hanya ada seonggok daging menyerupai telapak tangan bayi; jari-jarinya begitu pendek, lebih mirip jari kaki. Semakin lama saya perhatikan, akhirnya saya mengerti mengapa saya tidak menyadari hal itu ketika pertama kali saya bertemu dengannya: gadis itu lebih sering melingkarkan lengan kanannya di pinggang. Dan saya bertanya: apakah kedua tangan saya menghasilkan lebih banyak dari kedua tangannya?

II.
Beberapa minggu terakhir, saya mencoba jenis petualangan baru: berdesak-desakan dalam kereta ekonomi supaya bisa tiba di rumah lebih cepat dan punya waktu lebih lama untuk persiapan ujian-ujian saya. Kadang kereta api cukup bersahabat dan menyisakan ruang yang bisa dikatakan nyaman untuk tubuh mungil saya. Dan kalau posisi saya cukup nyaman, saya juga bisa melihat kiri-kanan-depan-belakang; saya bisa memperhatikan orang-orang dan peluh keluh keringat mereka. Pada saat-saat seperti itulah saya melihat pria itu. Dia berdiri tepat di sebelah saya, tapi menghadap ke arah yang berlawanan dengan saya. Saya merasa ada yang tak biasa pada caranya menatap ke luar jendela. Tapi ternyata itu bukan caranya menatap, tapi matanya. Bola mata kirinya nyaris keluar -keluar, dalam arti harafiah.

Mata kirinya rusak. Mungkin lebih baik saya katakan begitu karena saya tak bisa menggambarkannya. Mata kirinya begitu rusak sampai-sampai saya tak punya cukup keberanian untuk menatapnya berlama-lama. Dan saya melihat ke cermin, memandang mata saya yang menurut saya terlalu sipit dan sempit. Apakah kedua mata saya menghasilkan lebih banyak dari kedua mata pria itu?

III.
Saya selalu tertarik pada bocah-bocah perempuan berambut keriting. Mungkin karena itu mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Mungkin juga karena semakin lama saya semakin menyukai rambut keriting saya. Entahlah. Tapi, yang pasti, tawa dua bocah perempuan berambut keriting di pinggiran jalan di daerah Slipi itu seperti mengundang saya untuk tertawa bersama mereka.

Rambut mereka kotor, begitu kotor. Dan warnanya merah karena terlalu sering terbakar matahari. Pakaian mereka kumal, dekil, buruk, tanpa alas kaki. Saya tidak pernah mengingat diri saya sekotor itu. Tidak pernah. Mama saya tidak akan pernah membiarkan saya sekotor itu. Dan mereka mungkin tidak pernah menerima semua kesempatan yang saya punya. Saya jadi termangu, apakah semua kesempatan yang saya punya membuat saya benar-benar menghasilkan hal-hal berarti yang lebih banyak daripada mereka?

IV.
Kadang-kadang, saya punya terlalu banyak hal untuk dikeluhkan. Terlalu banyak. Memang selalu ada ruang untuk merasa senang dan benar-benar bersyukur. Tapi kadang-kadang itu terlalu sedikit. Ya, terlalu sedikit. Tapi hidup adalah kepercayaan; saya dipercaya untuk menerima segala hal yang saya terima dalam hidup saya, saya dipercaya untuk menerima kesempatan-kesempatan yang saya dapatkan. Dan semoga saja masih ada waktu untuk menjadikan kepercayaan itu memang sungguh layak diberikan pada saya.

21-22 Maret 2005
*Catatan kecil dari The Purpose Driven Life (Rick Warren)--baru sampe bab 5 sih... hehe...*