Friday, December 15, 2006

whatever will be, will be

ku tak membawa apapun juga saat kudatang ke dunia
kutinggal semua pada akhirnya, saat ku kembali ke surga
 
inilah yang kupunya:
hati sebagai hamba yang mau taat dan setia padamu, Bapa
kemana pun kubawa hati yang menyembah
dalam roh dan kebenaran sampai selamanya
 
bagaimana ku membalas kasihmu?
sgala yang kupunya, itu milikmu...
 
-hati sebagai hamba, jonathan prawira-
 
*akibat pasrah setelah gaji yang belum pernah gue terima turun
enam belas persen: kembali ke titik nol*

Thursday, November 30, 2006

belajar

dulu sekali, nyokap gue bilang gue doyan belajar. padahal, kalo mau jujur, bukannya doyan belajar tapi doyan baca. dan karena bokap-nyokap ogah beliin novel or komik, no choice gank, gue doyan baca buku IPA jaman kelas satu es de yg isinya: ini batu, batu benda padat; ini air, air benda cair. gue ulang2 sampe muak, hehehe... ato baca buku pe em pe yg isinya ani beribadah di mesjid, iwan beribadah di gereja, ani dan iwan hidup rukun. pilihan lain, baca koran pikiran rakyat yg dibawa pulang bokap gue tiap dia pulang buat makan siang. lumayan, gue jadi rada cerdas :)

 

setelah segede sekarang, ternyata esensi belajar jadi beda, ya? gue kasi definisi baru untuk kata ini. belajar adalah memandang rumput hijau berembun dan mengerti bahwa alam semesta dipelihara oleh Allah. belajar adalah menatap mata sahabat-sahabatmu dan mengerti bahwa hidupmu berharga di mata Allah. belajar adalah menikmati tidur dan makan dan mengerti bahwa Allah tahu caranya memberikan hidup yang indah. belajar adalah tertawa bersama orang yg baru saja kau kenal dan mengerti bahwa Allah menciptakan waktu yg sesaat dan menjadikannya berarti. belajar adalah menerima hidup sebagai keindahan dan mengerti bahwa semuanya diberikan dengan cuma-cuma. belajar adalah menghirup kesulitan dan merasakan decap sedapnya serta mengerti bahwa manis dan asam Allah ciptakan untuk membuat kelezatan. dan akhirnya, belajar adalah tetap menulis walaupun gue lebih suka tidur lelap siang ini...:D.
 
ditulis 18 maret 2003

Thursday, November 16, 2006

ADIL

Seorang tuna netra duduk dalam gelisah. Tangannya meremas kartu peserta SPMB dengan resah. Bagaimana pula caranya menghitung dalam bayangan? Reader-nya membacakan soal integral yang luar biasa rumit bahkan untuk seorang muda dengan penglihatan normal, apalagi untuk dia yg harus mendengarkan dengan teliti dan membayangkan perhitungannya. Belum lagi soal-soal bahasa Inggris yang kadang dibacakan dengan pronounciation salah. Dia harus bekerja seratus kali lebih keras supaya bisa bersekolah di SMU bersama orang-orang berpenglihatan normal. Dia harus berusaha seratus kali lebih keras   dari  orang-orang berpenglihatan normal untuk bisa menjawab satu soal yang dibacakan. Dia harus menjadikan dirinya seratus kali lebih cerdas dari orang-orang berpenglihatan normal supaya bisa lolos dari ujian ini. Dia harus selalu seratus kali lebih dari orang-orang berpenglihatan normal dalam segala sesuatu. Adilkah hidup?

 

Aku bisa berikan seratus kisah lagi semacam ini. Seorang ayah yang bekerja luar biasa keras untuk gaji yang tak seberapa jadi korban "restrukturisasi" di kantornya, kehilangan satu-satunya gantungan hidup anak-anak dan istrinya. Seorang perempuan kehilangan masa depan karena entah berapa belas serdadu yang memperlakukan tubuhnya seperti mainan yang dilemparkan dari kahyangan. Para janda muda yang sekali-kali melacurkan tubuhnya supaya anaknya bisa terus bersekolah. Ratusan anak yang tak pernah mengecap sedapnya memperoleh pendidikan, bukan karena mereka tak mau tapi karena tak satu pun guru mau menjadi pengajar mereka. Adilkah hidup?

 

Aku menghitung-hitung masa dalam hidupku. Hal-hal yang sudah aku peroleh; hal-hal yang selalu aku inginkan tapi belum aku dapatkan; hal-hal yang akan selalu aku inginkan tapi yang aku tahu tak akan pernah aku dapatkan; hal-hal yang tak pernah aku inginkan terjadi tapi tetap saja aku harus jalani; hal-hal yang tak berani aku bayangkan namun terjadi begitu saja seperti hujan mengguyur padang pasir. Adilkah hidup?

 

Tidak. Hidup tidak adil. Hidup tidak pernah adil. Tengoklah sejarah dan akan kau temukan bahwa hidup tidak adil. Hanya satu yang adil. Hanya Tuhan yang adil.

 

 

Ditulis 16 Juli 2004

Wednesday, November 15, 2006

Arai

aku jatuh hati pada arai. arai yang orang kebanyakan. arai yang wajahnya laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-baru-seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. arai yang wajahnya seperti hasil suntikan silikon dan mulai meleleh. arai yang gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah.

 

aku berbagi ngilu dengan ikal ketika menjemput arai kecil yang sebatang kara. arai yang menunggu ikal dan ayahnya di depan tangga gubuknya. arai kecil yang mengapit karung kecampang berisi beberapa potong harta rombengan.

 

aku terpesona oleh semangat arai. arai yang bilang bahwa orang-orang miskin seperti dia dan ikal tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. arai yang bilang bahwa dia dan ikal harus bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi mereka. arai yang tak mau mendahului nasib. arai yang mati tanpa mimpi….

 

aku mengagumi kelembutan hati arai. aku mengagumi pengorbanannya untuk sepupunya ikal. sesaat seperti melihat adegan-adegan kecil dalam kite runner. aku mengagumi ayunannya memecah celengan hasil kerja kerasnya mencari akar agar mak cik punya modal membuat kue tak perlu meminta-minta beras lagi. aku mengagumi kerja-keras-banting-tulangnya agar jimbron, sahabatnya yang invalid, gagap, dan terobsesi pada kuda bisa berdekatan sesaat, cukup sesaat, dengan kuda hebat milik capo.

 

aku mau jadi arai.

 

--abis baca sang pemimpi, andrea hirata--

Thursday, October 05, 2006

So here I am again, Willing to be opened up and broken like a flower in the rain

Tell me what have I to do to die and then be raised

To reach beyond the pain

Like a flower in the rain…

-a flower in the rain, jaci velasquez-

Monday, October 02, 2006

Langit yg sama, bumi yg sama, jalan yg sama, bahkan bajaj yg sama. Duduk di kursi yg sama, menghadap meja yg sama dan komputer yg sama. Membuka file-file yg sama, berhadapan dgn org2 yg sama, dan merencanakan hal2 yg sama. Semua sama. Hampir semua.

Skrg aku yg berbeda. Aku yg melihat dr sudut yg berbeda, dgn pengharapan yg berbeda, dgn cara yg berbeda. Aku yg berpikir dgn tujuan yg berbeda, bergerak dgn hasrat yg berbeda, tersenyum dgn hati yg berbeda. Semua berbeda. Hampir semua. Mimpiku masih mimpi yg sama.

Wednesday, September 27, 2006

MURKA

Dalam jiwaku ada api yg menyala-nyala. Bukan, bukan nyala yg menghangatkan dan membakar pendiangan lalu membungkus dingin hatiku dgn kelembutan yg melenakan. Nyalanya menghanguskan dan lidah-lidahnya mencambuk bagian paling tak tersentuh dalam detik-detik nafasku. Nyalanya menjenuhkan awan cerah di langit terangku hingga birunya menjadi hitam dan cerahnya menjadi badai tak terdiamkan.

Dalam pikirku ada genderang yg bertalu-talu. Bukan, bukan talu yg membuat langkah serdadu berderap dan mengiringi pasukan Yosua meruntuhkan tembok Yerikho. Talunya mematahkan bebatan kaku di luka berdarah yg tak pernah sempat mengering. Talunya seperti pecutan di punggung kuda sarat beban yg menimbang untuk melompat ke dalam jurang, jurang yg dasarnya dipanaskan oleh api yg menyala dlm jiwaku.

Dalam hatiku ada laut tak berbatas yg bergelora tanpa henti. Bukan, bukan gelora yg membuat seekor kupu-kupu mampu terbang melintasi bintang-bintang. Geloranya mengoyak secarik kekuatan yg nyaris lapuk dimakan waktu dan rapuh ditingkahi musim yg berganti namun tak pernah sungguh-sungguh berubah. Geloranya menghabistandaskan warna-warni dan mengubah istana pelangi menjadi lorong gelap pengap yg menggaungkan hentakan-hentakan dari talu genderang dalam pikirku.

Dalam hidupku ada murka yg tak kunjung surut. Demi murka itu kuhabiskan kala yg tersisa.

Tuesday, September 26, 2006

Ada hati, anak-anak, yang tidak pernah sembuh setelah hancur. Atau kalaupun sembuh, hati itu menyembuhkan diri dengan cara yang aneh dan tak wajar, seakan diperbaiki tukang yang asal-asalan. Begitulah nasib Roscuro. Hatinya hancur. Memungut sendok dan memasangnya di kepalanya, berbicara tentang balas dendam, hal-hal ini membantunya menyatukan hatinya kembali. Tapi, malang, hatinya bersatu tapi tidak normal.

-The Tale of Desperaux,

Kate DiCamillo-

Friday, September 22, 2006

Kenalan, teman, sahabat

Apa bedanya kenalan, teman, dan sahabat? Buat gue banyak banget. Yang namanya kenalan ada di mana-mana. Mulai dari bapak tukang becak di depan gang rumah bokap nyokap gue sampe bapak pimpinan di kantor gue. Sama-sama bapak-bapak, sama-sama tau nama gue, tapi sama-sama cuma segitu doang pengetahuannya ttg gue. Kenalan, cuma sebatas tau nama plus cengar cengir kalo papasan. Gue ga tau masalah mereka, mereka juga ga tau masalah gue. Ngakunya kenal tapi sebenernya ga tau apa-apa. Kesimpulannya, kenalan itu cuma istilah buat kepentingan sosialisasi, alias mau ga mau ya harus ngaku kenal. Suka ga suka ya emang harus kenal. Titik..

Kalau teman? Mmm… tau-tau dikit lah apa masalah mereka. Kadang-kadang curhat-curhatan, berbagi masalah, jalan bareng, makan bareng. Kalo di kantor, teman bisa dititipin absen kalo misalnya males jalan jauh-jauh ke tempat ceklokin absen. Teman bisa agak-agak dipaksa nemenin ngopi, agak-agak dipaksa nemenin potong rambut, agak-agak dipaksa bawa oleh-oleh klo pergi jalan-jalan ke luar kota ato ke luar negri. Teman pasti asik diajak ngakak bareng, ato ngegosipin yg seru-seru. Kesimpulannya, teman itu pengisi hidup. Tanpa teman, ga asik banget jalanin hari-hari. Teman boleh dipilih. Dipilih, dipilih *pake gaya abang-abang jualan di pasar senen*. Mana yg bikin hari-hari jadi asik dan ga pengen nonjok-nonjok, mana yg bisa asik diajak gosip dan ga bikin suasana jd garing. Gitu..

Naaa kalo sahabat, sahabat bedaaa banget. Sahabat itu beda dikit doang ama soulmate kali yah. Ada yg nulis, sahabat bisa jd lebih deket drpd sodara. Kalo sahabat itu ga cuma berbagi masalah, jalan bareng, ato makan bareng, tapi juga berbagi hidup, alias segala-galanya ikut berbagi *kecuali suami, ga pake deh hari gene kudu berbagi suami*. Yang namanya berbagi hidup tuh, kalo dapet sesuatu yg bikin hepi, ya pengen dibagi hepinya. Kalo dapet sesuatu yg bikin sesek napas, ya pengen juga ngebagi seseknya. Kalo sampe doyan bdoa, ya inget juga ngedoain. Sahabat ga perlu agak-agak dipaksa buat nemenin ini dan itu karena sahabat pasti tau kapan dia perlu nemenin dan kapan dia kudu ngebiarin sendiri. Sahabat ga mesti asik diajak ngakak ato ngegosip, tapi sahabat bisa ngerti hati walopun dengan cara yang kadang ga bisa dimengerti. Sahabat ga bakal ngerasa ragu negur, ngritik, kadang nyela, kalo itu emang buat kebaikan. Sahabat ga malu minta maaf kalo sampe nyakitin. Dan sahabat yg saling mendoakan ga pernah punya kata berhenti jadi sahabat. Yang paling penting, sahabat itu bukan hasil pilihan sendiri, tapi gue yakin banget kalo sahabat itu dianterin sendiri ama yg di atas buat nemenin gue, buat bikin gue jd gue yg lebih baik, buat ngajarin gue jd org yg berguna buat org laen, buat bikin hidup gue lebih bermakna, buat bikin dunia jd dunia yg lebih cantik…. Mirip soulmate kan?.

Bisa aja sebutannya kenalan, ato temen, ato sahabat. Tiga-tiganya punya fungsi sendiri dan tiga-tiganya penting buat gue. Tapi sahabat jd istimewa krn jd sahabat itu ga gampang, gue aja mikir sejuta kali kalo mau beneran jd sahabat org, hehehe…..

-buat rini, dewi, n pelga-

Friday, July 14, 2006

Tentang Potret Kristus

Ringan tapi menyudutkan. Seperti membaca pikiran gw sendiri... Ini gw ambil dari milis favorit gw, pasarbuku (http://groups.yahoo.com/group/pasarbuku/message/34803)

-----------------------------------

Oleh: Mula Harahap

Ketika saya masih berusia 5 tahun dan tinggal di Lorong Roma, Kampung Sidorame, nun di kota Medan sana, maka ada satu permainan yang sering saya lakukan bersama adik saya Elisabeth. Permainan tersebut adalah hasil kreasi kami sendiri, dan hanya kami yang mengetahui operasionalnya. Permainan tersebut kami namakan, "Melihat Tuhan Yesus."

Pagi-pagi benar, sehabis bangun tidur, kami akan duduk di tangga rumah dan mengarahkan pandangan ke langit biru. Bila kami mengarahkan pandangan sedemikian rupa dan dalam waktu yang cukup lama ke langit, maka akan tampaklah sosok-sosok transparan yang menyerupai bumerang, sabit atau sayap capung yang bergerak perlahan-lahan; dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah atau dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Kemudian sampai pada satu titik tertentu, sosok tersebut akan hilang dari pandangan.

"Kau lihatkah Tuhan Yesus-nya, dik?" "Lihat, bang." "Ada berapa Tuhan Yesus yang kau lihat?" "Dua. Abang lihat berapa?" "Satu. Nah, nah ini dia...Ehh, sudah hilang."

Begitulah, hampir setiap pagi kami betah duduk di tangga; menghitung "Tuhan Yesus" yang bergerak-gerak di langit dan yang kemudian, pada satu titik tertentu akan menghilang, lalu disusul oleh "Tuhan Yesus" yang berikut.

Di kemudian hari, setelah saya bertambah besar, maka sadarlah saya bahwa yang kami lihat sebagai Tuhan Yesus itu ternyata hanyalah debu atau kotoran yang menempel di bola mata. Lalu, karena lendir yang ada di mata yang belum dibasuh, maka kotoran atau debu itu akan bergerak-gerak. Dan bila mata di arahkan ke langit, maka tentu saja ia akan kelihatan seperti sabit, bumerang atau sayap capung. Tapi ketika itu, tentu saja saya dan adik saya percaya benar bahwa yang kami lihat itu memang Tuhan Yesus. Dan sebagaimana layaknya orang dewasa, kesadaran melihat Tuhan Yesus ternyata juga memberikan suasana damai dan sukacita kepada kami. (Setidak-tidaknya, selama 1 jam kami tidak perlu berkelahi sebagaimana biasanya yang dilakukan oleh dua kakak-beradik. Dan ibu bisa melakukan pekerjaannya dengan tenang...).

Lelaki Berjenggot dan Berjambang

Ketika saya masuk sekolah maka mulailah saya mengenal citra yang lain dari Tuhan Yesus. (Saya bersekolah biasa di SD Kristen Immanuel dan bersekolah minggu di HKBP Sidorame).

Saya rasa, citra Tuhan Yesus yang diperkenalkan kepada saya adalah juga citra yang diperkenalkan kepada semua anak di muka bumi ini, yaitu potret seorang lelaki berambut panjang, berkumis-berjanggut- berjambang dan memakai jubah putih.

Potret ini ada di buku cerita-cerita Alkitab, ada di kartu dan ada pula di lembar peraga. Kadang-kadang lelaki itu diperlihatkan duduk di tengah kerumunan anak-anak. Kadang-kadang ia diperlihatkan berdiri di tengah sekawanan domba. Kadang-kadang ia diperlihatkan sedang berdoa dengan tangan yang terkatup dan mata memandang ke langit.

Begitu meresapnya potret Yesus itu ke dalam pemahaman saya, sehingga wajah itu jugalah yang muncul setiap kali saya berdoa memohon sesuatu kepadaNya. (Dan sebagaimana halnya anak-anak, maka doa permohonan saya tentu hanya berkisar di seputar bagaimana agar hasil ulangan mendapat nilai tinggi, bagaimana agar saya tidak "dikompas" oleh anak-anak di ujung jalan sana atau bagaimana agar ibu jangan cepat mati).

Kadang-kadang ada saja kawan yang "berani" dan memberi tambahan gambar kacamata di atas potret wajah itu. Tapi bagi saya perbuatan kawan tersebut sungguh merupakan sebuah dosa besar. Dan saya yakin ia pasti akan masuk ke neraka...

Sedemikian yakinnya saya akan wajah Yesus, sehingga ketika masih duduk di bangku SD itu juga, "iman" saya pernah guncang karena fenomena seorang gila yang sering menyelonong ke halaman sekolah kami.

Pada waktu itu, di tahun 60-an, di kota Medan ada seorang lelaki yang sering berkeluyuran di seantero kota sambil komat-kamit dan membawa Alkitab. Ia berambut panjang, berkumis-berjanggut, memakai jubah putih dan selalu mengenakan sepatu sandal. Kami menamainya "Si Panggabean Gila Agama".

Bila ada kerumunan orang, maka "Si Panggabean" akan menyeruak masuk dan mulai berkhotbah. Saya tidak tahu benar apa yang dikhotbahkannya, tapi dalam khotbahnya ia selalu berulang-ulang meneriakkan, "Bertobatlah karena tiga hari lagi dunia akan kiamat..."

Begitulah, kalau pada jam keluar main pintu pagar tidak tertutup maka "Si Panggabean" akan menyelonong masuk. Mulailah ia berkhotbah di bawah tiang bendera dan dalam waktu sekejap saja semua anak sudah berkerumun di sekitarnya. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang mengulang-ulang perkataannya, ada yang menarik-narik jubahnya dan ada pula yang melemparinya dengan batu kecil. Tapi "Si Panggabean" tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan terus saja berceloteh.

Dan sementara menonton "Si Panggabean" berkhotbah saya bergumul dalam hati, "Bagaimana kalau dia memang benar adalah Tuhan Yesus? Anak-anak yang mengganggunya itu pasti akan masuk neraka..." Karena itu saya tidak pernah berani mengusik "Si Panggabean". Kadang-kadang saya beranikan juga diri saya untuk menyentuh jubahnya yang putih itu. Tapi niat saya bukan untuk mengganggu. Seperti yang dilakukan oleh perempuan yang menderita perdarahan dalam cerita Alkitab itu; saya berharap ada kuasa yang mengalir dari jubah itu ke diri saya.

The Beatles dan Che Guevara

Ketika saya beranjak remaja maka potret Kristus yang saya bawa sedari masa kanak-kanak itu mulai kabur. Saya tidak tahu, apakah potret itu kabur karena saya sudah jarang memandangnya ataukah karena ia telah di-"imposed" oleh potret-potret "nabi" lain yang tidak kalah memukaunya.

Zaman ketika saya remaja adalah zaman yang gegap gempita oleh kehadiran "The Beatles", "The Rolling Stones" dan "The Cats". Semua personil-personil grup musik populer itu berambut panjang dan berkumis-berjanggut-berjambang. Dan potret "orang-orang besar" itulah yang lebih mendominasi halaman buku tulis, pintu lemari pakaian atau dinding kamar tidur kami, para remaja waktu itu. Saya rasa hanya anak-anak yang "kuper" sajalah yang masih memajang potret orang Nazaret yang menggendong domba itu di halaman buku tulisnya.

Satu pahlawan lagi yang tak kalah romantisnya pada waktu itu adalah Che Guevara. Gambar pria Argentina yang berjuang untuk Kuba dan mati tertembak di Bolivia ini juga menjadi pujaan orang muda di mana-mana. Sedemikan kagumnya saya dengan Che Guevara, sehingga--walaupun tidak mengerti bahasa Inggeris--saya selalu membawa-bawa sebuah buku saku karangannya, "The Guerilla Warfare", kemana-mana.

Begitulah, semaja remaja, kalau saya berdoa (sesekali), maka saya tidak tahu wajah siapa yang ada di benak saya. Kadang-kadang saya melihat Kristus, kadang-kadang saya melihat Che Guevara dan kadang-kadang saya melihat John Lennon. (Dan bagi saya pada waktu itu, lagu "Imagine" tentu saja jauh lebih hebat dari "Khotbah Di Bukit").

Para Waria yang Dikejar Tramtib

Begitulah, sejalan dengan perubahan usia, berubah pula citra atau potret Kristus yang saya persepsikan di dalam diri saya. Dalam satu titik perjalanan hidup, tiba-tiba saya menyadari, bahwa kalau saya berdoa atau berpikir tentang Kristus maka citra yang muncul lebih banyak berupa suasana atau pemandangan.

Kadang-kadang saya mempersepsikan Kristus sebagai sebuah taman. Kadang-kadang saya mempersepsikan-Nnya sebagai sebuah sungai yang jernih dan tenang. Kadang-kadang sebagai sebuah jalan yang lurus, sebagai sebuah pohon, seberkas sinar, sepotong laut, atau apa saja. (Tadi pagi saya berdoa memohon perlindungan Kristus terhadap orang- orang yang saya kasihi yang ada di Medan, Bandung, Jakarta, Mataram dan Ambon. Lalu tiba-tiba saya melihat Kristus seperti seekor induk ayam yang besar, yang merentangkan kedua sayapnya untuk melindungi anak-anaknya dari intaian elang yang sedang melayang-layang di langit).

Saya tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan di dalam diri saya dalam mempersepsikan Kristus. Kalau saya pikir-pikir lebih jauh; mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu banyak membaca sajak dan novel.

Ketika hal ini saya diskusikan dengan seorang sahabat dia hanya menatap saya dan berkata, "Akh, gila, lu!" Tapi saya rasa saya tidak gila. Saya tahu para penulis Alkitab juga sering mempersepsikan Kristus sebagai pohon anggur, jalan, terang, mempelai pria, kumpulan orang-orang (gereja), benteng, gunung batu dan apa saja.

Krisis yang berkepanjangan dan melanda negeri ini tentu saja sangat merasuki pikiran saya. Karena itu, kadang-kadang Kristus saya persepsikan pula sebagai kerumunan orang-orang Batak "yang tak berketentuan" di perempatan Cawang--Jakarta Timur sana, bayi-bayi korban deman berdarah "dengue" yang berdesak-desak di kamar rumah sakit, wajah anak-anak yang ceria ketika jam bubaran sekolah, iring- iringan tahanan kelas teri yang terpincang-pincang (karena kakinya ditembak) di depan kantor Polres atau banci yang tunggang-langgang dikejar tim Tramtib.

Kristus juga bisa mewujud dalam paduan suara para janda yang dengan suara sederhana tapi sungguh-sungguh menyanyi pada jam kebaktian di gereja.

Dua hari yang lalu, di sebuah apotik di bilangan Cempaka Putih-- Jakarta Timur ada seorang bapak yang turun tertatih-tatih dari "bajaj" dan menyodorkan resepnya di loket. Ketika petugas menyebut harga obat tersebut, si bapak terdiam. Lalu dengan suara lirih dia bertanya, "Bolehkah saya tebus sepertiga dulu...?" (Kalau obat tersebut adalah antibiotika, maka cilakalah si bapak). Saya rasa bapak itu adalah Kristus.

Karaoke

Sejak dahulu Holywood selalu berupaya untuk membuat filem sejarah kehidupan Kristus. Dan tidak dapat dipungkiri, filem-filem seperti ini selalu mendapat sambutan yang meriah. Gereja-gereja pun senang memutar filem seperti ini dan percaya bahwa inilah salah satu sarana kesaksian dan pemeliharaan iman jemaat yang sebenarnya sudah tidak terhitung kanak-kanak lagi.

Tapi pengembaraan (atau petualangan) rohani saya membuat saya sudah tidak tertarik lagi terhadap hal-hal seperti ini. Bagi saya filem- filem ini ibarat karaoke. Dan saya selalu terusik dengan karaoke (alat yang membantu orang bernyanyi dengan kursor yang berlari-lari di atas teks, ilustrasi musik dan sebuah tayangan visual yang oleh pembuatnya dianggap bisa menggambarkan suasana lagu tersebut).

Atas lagu-lagu tertentu yang saya senangi, saya membangun visualisasi sendiri. Atas lagu "Sepanjang Jalan Kenangan" misalnya, maka saya membayangkan sebuah jalanan yang di kiri kanannya ada pohon kenari dan yang berjalan di tengahnya adalah saya sendiri dengan seorang perempuan yang sosoknya hanya saya sendiri yang tahu.

Karena itu, kalau yang muncul di karaoke adalah seorang pria yang berambut cepak dan ganteng serta seorang wanita Hongkong yang berambut keriting; imajinasi saya menjadi terganggu...

Mata Rohani

Saya senang dengan berbagai imajinasi yang saya bangun tentang citra atau "potret" Kristus, dan saya ingin tetap memelihara kebebasan membangun imajinasi tersebut.

Di karya-karya sastra--misalnya di karya Leo Tolstoy--ada banyak citra Kristus. Tapi di karya-karya non-fiksi pun saya acapkali menemukannya. Belum lama berselang, saya membaca sebuah memoar dari mantan tahanan politik G30S-PKI. Si penulis menceritakan kepahitan hidup yang dialaminya selama tahanan Salemba--Tangerang-- Nusakambangan--dan Pulau Buru. Aha, ternyata Kristus juga saya temukan di sana.

Agama saya--Kristen Protestan--memang tidak melarang visualisasi Tuhan dan para nabi. Bagi kami adalah hal yang wajar-wajar saja untuk menampilkan potret Kristus dalam rupa apa saja--apalagi rupa manusia. Bagaimana pun ia adalah Tuhan Yang Menjadi Manusia dan Tuhan Yang Mensejarah, tokh?

Tapi saya khawatir kalau filem-filem Hollywood itu membuat mata rohani saya menjadi kurang peka dan melihat Yesus hanya sampai sebatas sosok manusia James Caviezel, yang notabene "tak jauh-jauh amat" dengan sosok John Lenon, Che Guevara, dan yang lain sebagainya. Dan saya tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang yang pada akhir zaman nanti akan bertanya, "Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani Engkau?" (Matius 25:44).

-----------------------

Catatan:

Tulisan ini terinspirasi setelah membaca buku "Sejarah Tuhan" karangan Karen Armstrong, dan setelah merenung-renung tentang berbagai kontroversi di seputar penerbitan buku "Da Vinci Code" karangan Dan Brown, dan buku-buku lain yang sejenis. Pada akhirnya-- seperti kata Karen Armstrong--fenomena tuhan itu adalah imajinasi kita tentang yang maha kuasa, maha pengasih, maha pencipta dsb, untuk membuat hidup ini menjadi lebih bermakna (memberi kebaikan) bagi diri sendiri, dan bagi orang lain. Horas!

--- End forwarded message ---

Wednesday, July 12, 2006

La Vie

Kamu harus bersyukur. Begitu kata orang. Kamu beruntung. Begitu juga kata orang. Apa yang kauraih diimpikan begitu banyak orang. Begitu lagi kata orang. Begitu banyak yang mau berganti tempat denganmu. Lagi-lagi begitu yang dikatakan orang.

Mau tau apa yang aku mau katakan? Aku memang bersyukur atas banyak hal: aku tak pernah sungguh terlalu menderita dalam hidupku. Aku tau pasti aku beruntung. Ah, lihat saja, dalam peruntunganku itu aku dapatkan banyak yang kupikir hanya boleh dimiliki orang-orang yang lebih hebat dariku. Banyak orang memimpikan tempatku, tentu, tentu, karena mereka tak tau apa yang mereka impikan.

I dont wanna be bitter. I will never be bitter. But this is not a part of my dreams. It doesn't match with any part of my dreams. C'est un affaire bizzare. Mais c'est la vie, n'est-ce pas?

...

jangan pernah merasa hidup ini tak adil

kau tak akan bisa mendapatkan semua

...

sekali ini, jikustik jadi guru kebijakanku