Wednesday, June 25, 2008

Ke Mana Lagi?

"Mau ke mana, Ndang?" tanya temanku ketika minggu lalu aku sudah siap dengan ransel dan sepatu trekking ketika jam pulang kantor.

"Bromo," jawabku enteng (yah, sebenarnya juga ke Malang, lalu Pulau Sempu, dan mungkin ke tempat lainnya kalau masih ada waktu).

"Yaaaah, masih dalam negri aja lu...?" sambungnya lagi, agak menohok.

"Loooh... Indonesia itu kan tempat paling indah di dunia!" masih kusambung juga omongan tidak penting itu.

Dan aku jadi berpikir, memangnya kenapa kalau aku mau putar-putar mengitari negeriku yang cantik ini? Aneh ya, bagaimana orang-orang jadi begitu "luar negri minded": liburan harus ke luar negri, belanja harus ke luar negri, berobat harus ke luar negri, sekolah harus ke luar negri, malam tahun baru harus di luar negri, lama-lama akhir pekan juga ke luar negri.. Hehehe.

Aku tidak anti luar negri. Aku masih punya cita-cita merasakan romansa Paris, menyentuh keajaiban St. Petersburg, melanjutkan sekolah ke California. Tapi aku juga luar biasa tersentuh dengan kecantikan negriku sendiri: pantai, laut, sungai, danau, gunung, hutan, sabana, padang pasir, air terjun, sampai budayanya yang banyak banget dan fuih... selalu bikin aku mengucap syukur berjuta-juta kali karena terlahir di tengah-tengah kemolekan ciptaan Tuhan.

Apakah gaya hidup metropolitan yang seperti itu? Apa-apa berorientasi pada luar negri? Seperti rekan temanku yang bilang, "Ngapain jalan-jalan ke Nepal? Nepal kan negara miskin!"

Dan aku tertawa sampai tersedak. Negri ini juga miskin, Bung! Jadi mari jadikan negri ini kaya, paling tidak kaya dengan kebanggaan rakyatnya sendiri...

Tuesday, June 24, 2008

Lelah

you might never know what's burning here
all the words unspoken
all the feelings unexpressed
all the dreams unreached
all the tears unseen

you might never know what it means
no single day without you
or your voice
or your words
or your stories

you might never know, and it's better kept that way

-lelah...-

Pemilik NPWP Bebas Bea Fiskal: Yipppiiiii

Senin, 23 Juni 2008 | 01:06 WIB

Jakarta, Kompas - Kabar gembira bagi pemilik nomor pokok wajib pajak atau NPWP. Mulai tahun 2009, semua calon penumpang penerbangan atau pelayaran menuju ke luar negeri akan dibebaskan dari kewajiban membayar biaya fiskal jika menunjukkan bukti kepemilikan NPWP.

Kebijakan ini diterapkan karena pemerintah dan DPR ingin mendorong orang untuk memiliki NPWP sehingga jumlah pembayar pajak di dalam negeri akan semakin banyak.

Hal itu merupakan keputusan Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh) yang terdiri atas wakil dari 10 fraksi di DPR serta pemerintah.

Keputusan tersebut diungkapkan Ketua Panitia Khusus Paket RUU Perpajakan Melchias Markus Mekeng di Jakarta, Minggu (22/6).

Saat ini semua penumpang pesawat terbang atau pelayaran internasional yang berangkat dari bandar udara atau pelabuhan internasional di Indonesia wajib membayar biaya fiskal Rp 1 juta per orang. Ini merupakan salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak bagi pemerintah.

Dengan adanya keputusan Panitia Kerja RUU PPh itu, semua penumpang yang berusia 21 tahun ke atas wajib membayar fiskal kecuali yang bersangkutan bisa menunjukkan NPWP.

Jika ada anak atau istri yang hendak bepergian ke luar negeri, mereka bisa bebas fiskal asal menunjukkan NPWP ayah atau suami. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia menganut prinsip satu NPWP dalam satu keluarga.

"Namun, jika penumpang itu sudah berusia 21 tahun ke atas dan tidak memiliki NPWP, dia wajib membayar fiskal yang tarifnya ditetapkan menyusul oleh pemerintah," ujar Melchias.

Tingkatkan daya tarik

Menurut Melchias, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik Indonesia di mata orang asing. Selama ini hanya Indonesia di negara kawasan yang menerapkan kewajiban fiskal, sementara negara-negara tetangga Indonesia, terutama Malaysia dan Singapura, telah membebaskan biaya fiskal sejak lama.

Saat ini jumlah pemilik NPWP efektif atau yang benar-benar memiliki identitas jelas mencapai 6 juta orang. Namun, jumlah wajib pajak badan yang benar-benar membayar pajak baru sebanyak 1,3 juta, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak mencapai 1,1 juta orang.

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan, pembebasan bea fiskal dari pemilik NPWP bisa mendorong efektivitas program ekstensifikasi pajak.

Direktur Penyuluhan Pajak Joko Slamet Suryoputro menambahkan, dulu fiskal diberlakukan untuk membatasi orang ke luar negeri. (OIN)

Monday, June 23, 2008

Forever; Yes, Forever!

Into your hands I commit again with all I am for you, Lord.
You hold my world in the palm of your hands and I am yours forever.

Jesus, I believe in you.
Jesus, I belong to you.
You're the reason that I live, the reason that I sing forever.

I'll walk with you wherever you go; through tears and joy, I'll trust in you.
And I will live in all of your ways and your promises forever.

I will worship you, I will worship you, forever

-With All I Am, Hillsongs United-

When forever means forever, let my love to you be eternal...

Thursday, June 19, 2008

Bintang

Aku ingin jadi bintang, selalu ingin jadi bintang. Tak perlu terlihat besar, tak perlu menutupi apa pun atau siapa pun, tapi cukup menerangi sepetak gelap. Tak perlu dikenal oleh semesta, tapi jagad raya merasakan cahayaku, mengenali kerlipku.

Aku ingin jadi bintang, selalu ingin jadi bintang. Aku ingin bersinar bersama bintang yang lain, bukan menutupi cahaya mereka, bukan juga ditutupi oleh cahaya mereka.

Aku ingin jadi bintang, hanya jadi bintang, walaupun bintang terkecil dari yang pernah ada dan yang akan pernah ada.

Wednesday, June 18, 2008

I don't have that angelic voice I wish I had but still I will sing...

Lord, you seem so far away, a million miles or more it feels today.
And though I haven't lost my faith, I must confess right now that it's hard for me to pray.
But I don't know what to say and I don't know where to start, but as you give the grace with all that's in my heart I will sing, I will praise, even in my darkest hour, through the sorrow and the pain.
I will sing, I will praise, lift my hands to honor you because your word is true.
I will sing.

Lord, it's hard for me to see all the thoughts and plans you have for me.
But I will put my trust in you knowing that you died to set me free.
But I don't know what to say and I don't know where to start, but as you give the grace with all that's in my heart I will sing, I will praise, even in my darkest hour, through the sorrow and the pain.
I will sing, I will praise, lift my hands to honor you because your word is true.
I will sing.

-I will Sing, Don Moen-

when a song tells it all...

Friday, June 13, 2008

I Don't Kiss Friends..

But I do kiss boyfriends.

Pusing gue sama pertanyaan-pertanyaan ngga jelas yang bikin otak gue tambah ngga jelas. Yah, mungkin pertanyaan-pertanyaannya jelas, tapi kejelasannya bikin gue ngga jelas.

Tulalit deh gue.

Pusing

Pusing

Pusing

Gue mau makan aja yang banyak.

Tuesday, June 10, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Bagian Terakhir: Wall of Fame)

Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada (lagi noraaaaak):

  1. Bapa tersayang yang sudah ngasih kesehatan, kekuatan, keamanan, dan uang yang cukup:D
  2. Bapak dan Mama yang pengertiaaaaaaaaaaan banget, ngga ribet nanya-nanya kenapa putri tercinta pengennya selalu ke tempat yang ngga jelas
  3. Ibu dan Bapak bos yang sudah ngasih cuti (niat gue mau melas-melas, tapi ternyata dari lubuk hati yang paling dalam emang melas beneran...)
  4. Mbak dan Mas yang berkenan mencopot gue dari tim audit terakhir
  5. Shinta yang udah mau jadi teman perjalanan gue (walopun kita sering ribut-ribut juga yah, Shint, tapi gue pikir-pikir kalo bukan karena elo mau pergi sama gue, ngga bakalan loh gue kejadian kemaren itu berangkat:D)
  6. Kak Vemi, yang udah berbaik hati jadi tempat tumpangan (tidur dan makan!!!) selama dua malam... (Upahmu besar di sorga loh, Kak:D). Anytime Kakak ke Jakarta ato Bandung, gantian gue yang jadi host yaa
  7. Mbak Ully, Mas Budhi, Nesa, dan Ezra, buat semua info dan keramahan dan kamar buat tidur siang dan perkenalan dengan Jyoti (hwakakak) dan kesempatan buat baby sitting (kapan lagi, coba, baby sitting in Kathmandu)
  8. Ibu Phoebe (bener kan yah, nulisnya begini?) dan Pak Sam, buat sarapan bersama dan ngobrol-ngobrolnya di sore-sore habis ujan di hari kami terjebak bandh--truely an inspiration of a christian couple
  9. Abang tukang dayung di Pokhara, yang bikin boating di Fewa lake jadi sulit dilupakan... bow, didayungin sambil disetelin lagu mellow... kapan lagi coba!!
  10. Gitta, yang udah ngajarin gue bahasa Nepal
  11. Mbak yang sepesawat ama kita bolak-balik Singapore -Kathmandu: an inspiring travelller, bikin gue ngiri pengen punya cuti sebanyak dia, temen jalan sebanyak dia, dan yah, duit sebanyak dia tentunya. Hwakakak
  12. Mbak dan Mas di hotel; abang supir taksi di Kathmandu, Pokhara, Singapore, dan Jakarta; tentara yang jagain temple di Bhaktapur dan di Kathmandu; abang supir riksha yang dua kali nglipet gue; ade kecil yang nepu gue beli tas kecil di Patan (gue rela kok ditipu kecil-kecilan, tapi duitnya dipake yang bener yaa); ade-ade kecil teman baru gue di Boudhanath; pelayan ganteng di Koto Restaurant (asli, dia mirip banget ama Charlie, tapi versi bagusan sih.. teuteup..); dan lain-lain dan lain-lain dan lain-lain.
  13. Orang-orang yang ngga bisa gue sebutin satu persatu, tapi bikin perjalanan gue bener-bener memperkaya diri gue. Hidup jalan-jalan!:D

Cerita dari Atap Dunia (Part 8)

  • Pak Sam dan Bu Phoebe nyamperin kita ke hotel: bersepeda beriringan mereka, dari Patan ke Thamel... cieee... romantis bow!
  • Sarapan bareng Pak Sam dan Bu Phoebe di seberangnya Everest Steak House (gue ngga inget namanya, cuma inget bahwa kami liat Everest Steak House masih tutup dan di seberangnya ada tempat sarapan yang sudah buka)
  • Off we go to Tribhuvan International Airport
  • Wah, cara minum dari dispensernya kaya gitu yah: ada gayung buat tempat minum rame-rame
  • Selamat tinggal, Nepal... I'll be back!!!
Meninggalkan sesuatu kadang-kadang menyenangkan, kadang-kadang menyedihkan, kadang-kadang keduanya. Buat gue, meninggalkan Nepal adalah keduanya. Sedih, karena ada banyak tempat, ada banyak peristiwa, ada banyak orang yang belum sempat gue kenal, belum sempat gue temui. Sedih, karena gue belum puas mereguk semuanya, belum sempat menjejakkan telapak kaki mungil gue di punggung gunung-gunungnya. Sedih, karena gue masih ingin bersenang-senang dan melupakan pekerjaan gue.

Tapi senang juga. Senang, karena gue mau meninggalkan semua kekacrutan yang ngga gue mengerti (dan ngga pernah gue temui di negeri gue). Senang, karena akan terbangun dari mimpi yang melenakan dan kembali pada realitas hidup gue. Senang, karena akan bertemu kembali dengan orang-orang yang paling gue sayang. Senang, karena gue sudah siap merencanakan perjalanan selanjutnya.

Dan ternyata, yang paling menyenangkan adalah bahwa gue tau kapan gue akan meninggalkan Nepal. Alangkah menyedihkannya kalau gue ngga tau kapan gue harus meninggalkan sesuatu dan tiba-tiba, wuusss, dalam sekejap harus terjadi perpisahan. Setidaknya, kalau gue tau waktunya, gue akan lebih siap.

Atau malah lebih ngga siap?

Ini Juga Bikin Meleleh

Cerita dari Atap Dunia (Part 7)

  • Batal ke Sarangkot. Hujan!!! Again, kenapa hujannya mesti pas gue di Pokhara...
  • Ke World Peace Pagoda, pake acara trekking 15 menitan (halah, ini mah bukan trekking yah)
  • Biasa ngupi di mana? Starbucks, Coffee Bean, Pattiserie Francais, Kopi Phoenam? Gue dong... ngupi di warung sambil... mmmm..... bengong liatin deretan Himalaya yang jadi latar belakangnya Fewa Lake... Hati gue kaya mau meleleh...
  • Sarapan menjelang makan siang di Hungry Eye Restaurant & Bar
  • Rintik-rintik, tapi gue mau boating lagi (ngapain lagi, coba?)
  • Belanja lagi: tempelan kulkas, kartu pos, dan teh
  • Terbang balik ke Kathmandu: gila, pesawatnya sama gede dengan yang buat mountain flight!
  • Acara pamit-pamitan dan ambil titipan barang: ke rumah Kak Vemi trus ke rumah Mas Budhi & Mbak Ully
  • Makan malem di Koto Restaurant: lagi, yang enak bukan cuma makanannya, tapi juga mas pelayannya... (enak diliat getooo)

Ada banyak cara untuk meleleh. Buat gue, gue pasti meleleh kalau menatap keindahan. Gue meleleh kalau menatap tebing tinggi berbatu-batu Lembah Harau yang kokoh menaungi hijaunya daun-daun pephonan. Gue meleleh kalau melihat eloknya danau maninjau di tengah kabut dari kelok ke  30-an-nya kelok 44. Gue meleleh kalau menatap hamparan pasir putih yang cantik luar biasa yang menjorok di tengah lautan di antara pulau-pulau di kepulauan karimun jawa. Gue meleleh ketika sambil mengambang di sungai cijulang gue menyedot kecantikan open cave yang mengungkunginya. Gue meleleh oleh kecantikan negeri gue.

Gue juga meleleh bersama hangatnya secangkir kopi di cangkir gue ketika gue menghirupnya sambil memeluk kecantikan Annapurna yang jadi latar belakang Fewa Lake. Gue meleleh ketika waktu seperti berhenti dan gue mencair bersamanya. Gue meleleh ketika menyadari bahwa gue tidak punya kata-kata yang cukup indah, pulasan warna yang cukup sempurna, untaian nada yang cukup merdu, untuk meneriakkan kecantikan yang gue lihat, dengar, dan cecap.

Gue meleleh oleh keagungan Allah gue.

Gue juga meleleh kalau menatap pria ganteng.

Hwakakak.

Monday, June 09, 2008

Pagi-pagi Ngantuk-ngantuk

Jalan-jalan memang menyenangkan. Tapi, kalau baru sampai di rumah jam setengah tiga pagi dan jam delapan pagi sudah sampai di kantor dan mendapati pesan di mailbox kalau jam sepuluh pagi itu juga harus rapat di luar kantor dengan materi yang baru dikirim sejam sebelumnya, rasanya seperti mau gantung diri di pohon toge. Terkantuk-kantuk mencari sarapan seadanya dan espresso double, barulah kepala bisa terangkat sedikit dan mata bisa agak melek.

Mak nyuuuus.... dan di mana Liqudity Management Policy yang mau dirapatkan itu? Ufff... short term memory loss. Dan, dan... mark to market, net open position, profit and loss.... My gosh... otak gue masih nyangkut di sungai cijulang. Semoga rapatnya ngga pake mikir banyak-banyak:(.

Friday, June 06, 2008

Abang yang Dayungin Gue...

Cerita dari Atap Dunia (Part 6)

  • Bangun subuh, jangan sampe ketemu taxi chaina lagi
  • Belum pernah gue bisa begitu seneng karena ketemu taksi.. hwakakak
  • Off we go to Pokhara... naek Golden Travel yang katanya tourist bus tapi di setiap perempatan ngangkut penumpang
  • Naik turun gunung, muter-muter gunung... delapan jam yang menyenangkan
  • Makan siang di jalan (pake voucher); duh, gue ngga ngerti rasa makanannya...
  • Plakatnya bilang: simpa & somdan... hwakakak, nama gue jadi berantakan
  • Nginep di Castle Guest House (managed by a christian family!), hotel murah yang gede, bersih, nyaman, dan kekeluargaan banget
  • Beli sepatu: cihuyyy, sepatu trekking bow! sekarang gue kaya anak gunung beneran
  • Makan siang di Lemon Tree
  • Boating berduaan sama abangnya: dua jam sampe matahari terbenam dan pake acara disetelin musik... romantis bener... hwakakak, kapan lageeee?
  • Makan malem kecil di Busy Bee: cafe banget:(
  • Belanja tas buat Mama dan kaos buat ade-ade gue
Gue sejenak kaget ketika tau bahwa gue dijemput oleh pastor jemaat lokal di Pokhara (janjinya mau dijemput anaknya yang punya hotel). Hyah, gue selalu berada di jemaat yang besar dan gue nyaris ngga kenal sama Pendeta gue (apalagi pendetanya, mana kenal dia siapa gue:D). Seperti bertemu dengan jemaat mula-mula, ya? Gembala dan jemaat jadi keluarga yang saling membantu. Apalagi ketika gue dikenalin: this is our brother... Inilah tempat yang bikin gue mendayu-dayu: sejuk, Bali banget (mengutip komentar temen gue), orangnya ramah-ramah dan tak lagi doyan meludah, dan rasanya tentraaaaam banget didayungin di danaunya. Belum lagi deretan tinggi pegunungan bersalju mirip kapas yang jadi latar belakang danaunya. Fuih...

Nesa Sesaat Sebelum Disenggol Sepeda...

Cerita dari Atap Dunia (Part 5)

  • bandh lagi... kali ini lebih gawat, taxi chaina alias ngga ada taksi
  • batal ke Pokhara gara-gara taxi chaina
  • gue nyaris nangis, duh... di negeri orang pake acara mau nangis:(
  • ikut les nepali-nya Mas Budhi dan Mbak Ully: kenalan ama Jyoti dan Deepak
  • gue sih lebih suka babysitting Nesa dan Ezra: seru!!!
  • ke Patan Durbar Square lagi bareng Nesa dan Mbak Ully: Taleju Cafe & Restaurant tutup juga, batal deh difoto dengan view Durbar Square
  • Makan siang di Cafe de Patan
  • Mau moto Nesa, tapi Nesanya malah jadi kesenggol sepeda... Maaf ya, Nesa.. Gila juga tuh sepeda, jelas-jelas ada anak kecil lagi nyebrang, ngga peduli sama sekali! Coba di sini, udah digebukin orang sekampung tuh!
  • Ngobrol-ngobrol ama Bu Phoebe dan Pak Sam: what a couple, what a couple...
  • Mmmm... gue masih kepikiran sepatu gue yang jebol sehari sebelumnya
  • Makan malem di rumah Kak Vemi (masakannya ennnaaaaaak...)

Hari ini adalah wisata dari rumah ke rumah. Alamak, di negeri sendiri, gue nyaris ngga pernah bertandang ke rumah orang, baik itu saudara maupun teman. Sifat anti sosial gue dibongkar paksa di Kathmandu. Huahahaha, it's funny how God make me do things I always hate to do.

Teman-teman yang rumahnya gue kunjungi mengatakan hal yang mirip: inilah Nepal, negeri di mana kau tak bisa berencana. Yah, akhirnya gue menemukan hal yang bakal bikin gue selalu ingat pada Nepal: ketika gue berjalan nyaris putus asa ke jalan besar, mencari taksi buat ke pool bis dan akhirnya harus pulang sia-sia, tenggorokan tercekat, dan mau murka pada kebodohan orang Nepal. Di pikiran gue, hanya orang bodoh yang tidak berontak ketika dipaksa berhenti melakukan aktivitas karena hal-hal yang tidak ada hubungan dengan dirinya seperti pembunuhan seorang penting, siapa pun itu.

Gue terbiasa dengan rencana. Setiap perjalanan gue selalu terencana, bahkan sampai jam dan tempat makan pun terencana. Menurut gue, gue selalu cukup fleksibel mengubah rencana gue tapi bukan mengubah total seperti mengundur keberangkatan gue satu hari ke Pokhara dan sebagai gantinya malah berwisata dari rumah ke rumah karena gue ngga punya pilihan lain. Dan itu terjadi saat gue hanya punya delapan hari di Nepal.

Di tengah air mata yang nyaris membanjir (gue masih cukup tau malu buat menahan tangis kecewa gue karena teman-teman gue sudah pasti lelah berceloteh berusaha menghibur gue), gue belajar berempati pada orang Nepal. Gue mengerti, dalam hidup memang banyak ketidakpastian, tapi buat orang Nepal, ketidakpastian itu jadi terlalu banyak; terlalu banyak untuk bisa gue mengerti, terlalu banyak untuk bisa gue tolerir.

Semoga segalanya jadi lebih baik dengan perubahan-perubahan yang sekarang sedang terjadi pada dunia politik di Nepal. Kalau biasanya gue menulis untuk Indonesia yang lebih baik, kali ini gue menulis juga untuk Nepal yang lebih baik. Amin.

Thursday, June 05, 2008

Boudhanath dan Kak Vemi dan Shinta dan Banyak Orang Lain

Cerita dari Atap Dunia (Part 4)

  • setengah 4 pagi udah jalan ke nagarkot
  • sunrise ngga dapet, tapi liat pantulan matahari di salah satu puncak bersalju
  • it's Buddha Jayanti!!! Boudhanath raaaaameeee banget
  • diajak kenalan ama anak-anak SD; dikiranya gue seumuran mereka kali yah, hihihi
  • umpel-umpelan di "angkot"-nya Nepal
  • oooh Kasthmandap tempatnya Kumari itu yang itu... kalo yang itu sih gue udah datengin kemarin lusa:D
  • beli teh buat oleh-oleh
  • cape banget, ngga jadi ke Swayambunath
  • jalan cuma segitu doang dari rumah Kak Vemi pun pake acara nyasar
  • makan malem di the Bakery Cafe, disambung nasi gorengnya Kak Vemi. mmmm... enaaaaaak...
Beauty is in the eye of the beholder, begitu kata orang. Jadi suka-suka si beholder buat bilang yang mana yang cantik dan yang mana yang ngga cantik (pantesan aja ya, Sang Pencipta bilang semua ciptaannya baik... Hehehe, peace...).

Nah, kalau beholder-nya gue, maka gue bakal bilang kalau terlalu banyak pria ganteng dan perempuan cantik di Nepal. Anak kecil, remaja, sampai separuh baya pun banyak banget yang masuk kategori beautiful gue. Mau yang agak-agak India, agak-agak Cina, agak-agak mirip gue, agak-agak Indo, bejibun deh! Dan, kalau beholder-nya adalah orang Nepal sendiri, mereka mungkin bakal bilang kalau semua kegantengan dan kecantikan di mata gue itu biasa-biasa saja buat mereka.

Mirip dengan gue yang menganggap sinar matahari sepanjang tahun di negeri gue adalah biasa-biasa saja; hidup tanpa pernah mengenal bandh adalah biasa-biasa saja; air bersih selalu tersedia melimpah buat mandi, minum, buang air, dan segala tetek bengek yang mencurahkan air adalah biasa-biasa saja; setiap hari keluar dari rumah yang ber-AC, ke dalam taksi yang ber-AC dan masuk kantor yang ber-AC lalu nongkrong di mall yang ber-AC adalah biasa-biasa saja; jalan kaki di pinggir jalan tanpa takut dicium sepeda atau sepeda motor atau mobil gila adalah biasa-biasa saja; punya pantai yang bersih dan gunung yang hijau dan danau yang luar biasa luas adalah biasa-biasa saja.

Beauty is in the eye of the beholder, betul. Tapi gue pikir gue harus belajar melihat sisi indah dari segala sesuatu: dari kesemrawutan sebuah kota bernama Kathmandu, dari kekacrutan sebuah megapolitan bernama Jakarta, dari jorok-joroknya cara hidup sebagian besar orang Kathmandu, dari bengis liciknya sebagian besar orang Jakarta, dari teman gue yang doyan banget mengeluh, dari hidup gue yang makin lama makin ngga terstruktur...

Wednesday, June 04, 2008