Saturday, June 13, 2009

Inilah Batasnya

Sudah lama aku tidak menulis. Gabungan dari pekerjaan di meja dan laptopku bertumpuk, masalah di kepalaku yang menimbun, dan penyakit malas yang tak kunjung sembuh. Lagi pula, setiap kali aku ingin menulis, lebih sering kesedihan dan rasa rindu yang menggunung yang ingin kutulis. Menuliskan semua itu malah membuat semua rasa tadi tambah bergulung-gulung, dan bukan mereda. Belakangan, sulit sekali rasanya memandang hidup dengan sudut pandang yang lain, yang berbeda dengan apa yang dapat dilihat oleh mata jasmani. Entah mengapa, hati dan kepalaku menjadi tumpul dan hari-hari berlalu begitu saja, persis seperti kehidupan paling rendah yang bisa aku bayangkan.

Berjuta kali aku menggerutu, "it's already beyond my limits.." Dan entah berapa kali aku menggugat Yang Maha Tinggi. Yah, menggugat berapa besar Dia mengerti batas kekuatanku. Baru sekarang, akhirnya, aku bisa melihat lebih jelas. Dia tahu persis batas kemampuanku, bahkan lebih dari diriku sendiri (yeah, ini kalimat klise, tapi biar aku coba gambarkan lebih lanjut).

Hasil analisisku sendiri tentang hari-hariku belakangan ini dan caraku menghadapinya adalah bahwa selama ini semuanya memang sudah mendekat batas kekuatanku. Mendekati, tapi belum melewati. Jadi, dengan lebih keras berusaha, dengan lebih banyak bersabar, dan dengan lebih tekun berdoa, seharusnya aku bisa melewati semuanya dengan baik. Seharusnya. Tapi, seperti yang selalu terjadi, aku bukannya berusaha lebih keras, aku malah lebih sering naik pitam, dan aku malah mogok berdoa. Kesimpulannya, aku gagal dalam ujian hidupku kali ini, dan sepertinya harus mengulang sekali lagi (setelah begitu banyak kali mengulang pelajaran hidup yang itu-itu juga).

Yang membuat aku terpana adalah, dengan semua kegagalanku memahami dan bereaksi pada kejadian-kejadian yang mendekati batas kekuatanku tadi, Pribadi Yang Baik itu tak pernah, dan aku ulangi, tak pernah putus asa dan tak pernah menyerah melimpahiku dengan kebaikan. Ketika aku hampir menyerah (dan nyatalah bahwa itulah batas kekuatanku), selalu terjadi sesuatu yang membuatku bangkit dan berjuang lagi. Selalu terjadi sesuatu yang membuatku teringat pada betapa besar kasih sayang yang telah dan akan selalu dicurahkan bagiku. Selalu terjadi sesuatu yang membuatku merasa bahwa diriku bukan terhukum, tapi pewaris, walaupun mungkin aku hanyalah pewaris pada strata terendah. Selalu terjadi sesuat yang membuatku bertanya, "Mengapa selalu datang kebaikan pada diriku?"

Seorang sahabat terkasih pernah memberitahuku betapa dia mempelajari apa itu kasih karunia dari kehidupanku. Dia belajar bahwa kasih Allah dicurahkan bukan karena kehebatan, kepintaran, atau kebaikan seseorang tapi hanya karena kasih-Nya terlalu besar untuk tidak dicurahkan pada anak-anak-Nya. Memang seperti itulah. Aku tak pernah dan tak yakin akan bisa jadi orang hebat, orang pintar, apalagi orang baik. Tapi aku tak pernah berhenti menerima kasih yang tak terbatas itu.

Dear Lord, thanks for loving me THAT much
--setelah kejadian beruntun yang bikin mengharu biru---