Wednesday, December 31, 2008

Lay It Down

-Jaci Velasquez-

I've been lookin' till my eyes are tired of lookin'
Listenin' till my ears are numb from listenin'
Prayin' till my knees are sore from kneelin' on the bedroom floor
I know that you know that my heart is achin'
I'm running out of tears and my will is breakin'
I don't think that I can carry the burden of it anymore
All of my hopes and my dreams and my best laid plans,
Are slowly slippin' through my folded hands

So I'm gonna lay it down
I'm gonna learn to trust You now
What else can I do
Everything I am depends on You
And if the sun don't come back up
I know Your love will be enough
I'm gonna let it be, I'm gonna let it go,
I'm gonna lay it down.

I've been walkin' through this world like I'm barely livin'
Buried in the doubt of this hole I've been diggin'
But You're pullin' me out
I'm finally breathin' in the open air
This room may be dark but I'm finally seein'
There's a new ray of hope, and now I'm believin'
That the past is past, and the future's beginning to look brighter now
Oh, cause all of my hopes and my dreams and my best laid plans
Are safe and secure when I place them in Your hands

Sunday, December 28, 2008

Anakhonki do Hamoraon di Au

Ai tung so boi pe au lao da tu paredang-edangan
Tar songon dongan-donganki da na lobi pansarian
Alai sudena gellengki da, dang jadi hahurangan
Anakhonki do naummarga di ahu

Ai tung so boi pe au mar wool da mar nilon mar jam tangan
Tar songon dongan-donganki da marsedan marberlian
Alai sudena gellengki da, dang jadi hahurangan
Anakhonki do hamoraon di ahu

Nang so tarihuthon au pe angka dongan
Ndada pola marsak ahu disi
Alai anakhonki da dang jadi hatinggalan
Sian dongan magodang nai

Hu gogo pe mansari, airan nang bodari
Laho pasingkolahon gellengki
Ai ingkon marsingkola, do satimbo-timbona
Sintap ni na tolap gogonghi

Marhoi-hoi pe ahu lao da, tu dolok tu toruan
Mangalului ngolu-ngolu na boi parbodarian
Asalma sahat gellenghi da, sai sahat tu tujuan
Anakhonki do hasangapon di ahu

*Bapak & Mama, my greatest thanks for making me your treasure...*

Wednesday, December 17, 2008

Permata

"Kamu anak bungsu, ya?" tanya pria itu.

"Bukan," jawabku.

"Oooh, pasti anak perempuan satu-satunya ya?" tanyanya lagi.

"Bukan," sahutku, "aku anak sulung dari 4 bersaudara, 2 laki-laki dan 2 perempuan."

"Mmm... atau ini pertama kali kamu bepergian tanpa orang tua?" sambungnya.

Aku tersenyum. Tidak juga, tapi ini pertama kali aku bepergian ke luar kota dengan seorang pria yang baru aku kenal. Pria itu mengaku bernama Agung, mahasiswa Teknik Industri angkatan 95. Sore hari sebelumnya, dia menelepon ke rumahku, menanyakan teknis keberangkatan ke Jakarta untuk interview terakhir kandidat peserta Hitachi Young Leaders Initiative tahun itu. Kandidat dari kampusku ternyata kami berdua. Dia mengaku mendapat nomor teleponku dari sekretariat di kampus. Akhirnya kami sepakat bertemu di stasiun kota Bandung hari itu.

Bapakku mengantarkanku ke stasiun. Begitu dia bertemu dengan pria yang mengaku bernama Agung itu, Bapak langsung mengajaknya ke tempat lain, dan berbincang berdua saja dengannya. Setelah kereta melaju, barulah aku tahu kalau Bapak menanyakan identitas pria itu, meminta melihat KTP dan KTM-nya, dan meminta nomor telepon rumahnya. Juga, tentu, Bapak menitipkan aku padanya.

Bertahun-tahun kemudian, aku diterima bekerja di suatu perusahaan di Jakarta. Hari pertama bekerja, Bapak yang mengantarkanku ke kantor. Bapak juga menungguiku di lobi gedung ketika jam kantor usai lalu bertanya apakah semuanya berjalan dengan baik.

Aku bukan anak bungsunya, bukan satu-satunya anak perempuannya, dan diajar untuk berani menghadapi apa pun dan siapa pun sendiri.  Tapi aku dijaga seperti permata satu-satunya di hatinya.

Aku merindukannya, sungguh merindukannya.

Tuesday, December 16, 2008

My Name in Father's Prayer

'Twas in the days of careless youth, when life was fair and bright,
And ne'er a tear, and scarce a fear o'ercast my day and night,
As, in the quiet eventide, I passed him kneeling there,
That just one word, my name, I heard my name in father's prayer.

I thought but little of it then, tho' rev'rence touched my heart,
To him whose love sought from above for me the better part;
But when life's sterner battles came with many a subtle snare,
Oft that one word, in thought I heard my name in father's prayer.

I wandered on, and heeded not, God's oft repeated call
To turn from sin, to live for Him, and trust to Him my all;
But when at last, convinced of sin, I sank in deep despair,
My hope awoke, when mem'ry spoke my name in father's prayer.

That pleading heart, that soul so tried, has gone into his rest,
But still with me for aye shall be the mem'ry of his trust.
And when I cross the Jordan's tide, and meet him over there,
We'll praise the Lord, who blessed that word, my name in father's prayer.

Originally titled My Name in Mother's Prayer, words by Philip B, Bilhorn, music by E. M. Herndon, arranged by Philip B. Bilhorn

The origiinal was translated to Bahasa Indonesia by E. L. Pohan, titled Di Doa Ibuku, Namaku Disebut

Monday, December 01, 2008

Pertanyaan-pertanyaanku

Kadang-kadang aku bertanya, tahukah dia betapa aku merindukannya? Rindu ini menyesakkan dadaku, mengalirkan air di sudut mataku pada saat-saat tak terduga. Rindu ini mengalirkan derai tangis setiap kali aku akan membaringkan tubuh di malam hari, setiap kali aku terbangun di pagi hari, setiap kali aku sendiri dan tak sedang menyibukkan diri dengan pekerjaanku, bahkan pada saat-saat tak terduga.

Aku memandang buku-bukuku dan mengingat buku tentang ikan yang kubelikan untuknya bertahun-tahun lalu, buku yang kadang-kadang masih dibuka-bukanya kalau waktunya sedang senggang. Aku masuk ke dalam gereja masa kecilku dan mengingat betapa sering dia berdiri di depan altar dan memimpin ibadah di gereja itu. Aku bertemu orang-orang dan mengingat betapa tekun dia mendoakan mereka dalam waktu-waktu doanya. Aku melihat pakaiannya dan mengingat betapa aku sering memakai kemejanya ketika aku kecil, dan dia hanya tertawa.

Kadang-kadang aku bertanya, tahukah dia betapa aku membutuhkannya? Dialah sahabat pertama dalam hidupku. Dia mendengarkanku bercerita tentang segala sesuatu. Dia menghormati mimpi-mimpiku. Dia tak pernah membuatku merasa kecil, dia yang membuatku selalu percaya bahwa aku bisa menggapai bintang walaupun aku bukan orang hebat. Dia membuatku selalu merasa jadi orang yang berharga, orang yang penting, wanita yang cantik, orang yang hebat, bukan karena hal-hal yang kucapai, hal-hal yang kupunya, tapi karena aku adalah aku.

Kadang-kadang aku bertanya, tahukah dia betapa aku mencintainya? Aku cinta dia lebih daripada hidupku sendiri. Aku bertahan melewati banyak hal tanpa mengeluh karena aku terlalu sayang padanya. Aku membuat mimpinya menjadi cita-citaku, harapannya menjadi tujuanku, kesenangannya menjadi kebiasaanku.

Dialah sahabat terbaikku, pahlawanku, bapakku. Tahukah dia bahwa hidupku tak akan sama lagi sekarang?

Thursday, November 13, 2008

Yang Tak Terucapkan

Hari-hari ini rasanya begitu menghimpit aku: menyesakkan dada, menimbuni kepala, mencekik leher, melilit perut.Begitu banyak yang ingin dikatakan, tapi hanya sedikit yang bisa diucapkan. Begitu banyak emosi yang ingin diluapkan, dan hanya sedikit yang bisa ditumpahkan. Semuanya tersimpan dan terbungkus begitu saja: dalam dada, dalam kepala, di tenggorokan.

Sayup-sayup lagu dari Buku Ende masih terngiang di telingaku. Potongan kata-katanya masih terulang-ulang di kepalaku, "Mulak ma au, mulak ma au"... Aku pulang, aku pulang... Potongan kata-kata yang membuncahkan sejuta emosi di tubuh kecilku: sedih, marah, kecewa, bingung, kehilangan... dan akhirnya rasa rindu. Dan akhirnya, hanya rasa rindu yang terus menemani sepanjang langkahku sampai hari ini. Rasa rindu yang aku tau tidak akan pernah terpuaskan lagi selama hayat masih di badanku. Rasa rindu yang kadang begitu tak tertahankan namun harus selalu ditahan dan dipendam dan disimpan sendiri. Rasa rindu ini, yang kelak, aku harap, akan aku tumpahkan ketika waktuku tiba.

Akan sangat lama, aku tau, membuat air mataku tak mengalir setiap kali kenangan itu datang. Dan kenangan itu bisa datang kapan saja: menjelang tidur, saat mandi, saat makan, saat rapat, saat aku berjalan mondar-mandir, saat melihat kelokan jalan, setiap saat.. Karena setiap saat, setiap tempat, setiap kejadian adalah akibat dari kebersamaanku dengan kenangan-kenanganku.

Aku masih ingin memeluknya, mencium tangannya, menggandeng tangannya, menceritakan hari-hariku padanya, berdoa dengannya, mendengarkan harapan-harapannya, menggapai mimpiku bersamanya, mengatakan betapa aku sayang padanya, betapa berartinya dia untukku, betapa berartinya keinginannya untukku, betapa ingin aku menggapai langit untuknya...

Tuhanku, Tuhanku, banyak yang tak bisa kuucapkan. Semua beterbangan di kepalaku dan tak dapat kutuliskan. Satu hal yang aku ingin katakan: kenangan akan dia dan sayangku padanya akan hidup di sini, di hatiku, sampai aku tak bisa mengingat apa pun lagi dan sampai aku tak mampu menyayangi apa pun lagi.

Monday, October 13, 2008

Pagi Ini

  • Bangun pagi masih setengah sadar karena malam sebelumnya tidur tak tenang: nightmare dan hujan berangin menderu-deru.
  • Resah menanti taksi, tak seperti biasanya, nyaris tak ada taksi lewat.
  • Upacara hari kesaktian Pancasila, OMG, tak ingat berkostum putih-hitam!
  • Sarapan dimulai dengan sepotong roti Maxim dan tiga potong pempek.
  • Akhirnya sukses menjalankan coffee maker baru: Excelso Kalosi Toraja dicampur sedikit Ultra Milk.. seadanya, tapi lumayanlah.
  • Pempek lagi... empuk... sedap....
  • Rapat mendadak: ada apa lagi dengan pasar saham dan likuiditas?
  • Resah menanti bursa dibuka...
  • Tuhan, tolong kami...

Wednesday, October 08, 2008

Priiiiiiit

Belum sebulan keknya gue hapus-hapusin ntu account-account di dunia maya yang gue anggep ngga ada penting-pentingnya buat idup gue. Nah, beberapa hari lalu, gue malah bikin account baru di facebook. Gara-gara si Lonely Planet yang ngiming-ngimingin lima rebu dolar buat jawara yang terpilih dari tulisan tentang "dream trip". Nah, si dream trip ini kudu ditulis di wall facebook-nya si Lonely Planet. Bah, gue melanggar aturan gue sendiri.

Dan sampe jam segini, gue masih belum tau yang mana yang musti gue tulis sebagai dream trip gue. Hampir semuanya impian sih, semuanya seperti mimpi.

Udah mana gue musti tulis in english lagi. Tau sendiri kan, bertaon-taon gw ngga pake lagi tuh bahasa satu. Kenapa ga sekalian aja disuru tulis en francais, biar sekalian ngaco, kqkqkqkq. Je veux voyager tout le monde sih sebenernya... tout le monde....

Selangkah demi Selangkah

Akhirnya gue mengerti kenapa orang bijak bilang, "lakukan selangkah demi selangkah". Berhubung gue memang bukan fast learner dalam urusan hidup, dan gue harus akui bahwa gue selalu do it the hard way, learn it the hard way, jelaslah sudah kenapa gue perlu waktu hampir tiga puluh tahun buat mengerti kenapa orang bijak selalu bilang segalanya harus dilakukan selangkah demi selangkah.

Dua kali melewati Bukit Penyesalan benar-benar mengajar dan menghajar gue tentang pelajaran hidup yang satu itu. Bila orang dengan kekuatan normal bisa menjalani Sembalun Lawang sampai Pelawangan Sembalun dalam satu hari, ternyata orang dengan kekuatan seperti gue harus menjalaninya dalam dua hari. Keputusan yang tepat, sebenarnya, karena di akhir hari pertama gue mendirikan tenda tepat di kaki Bukit Penyesalan sehingga esok harinya bisa mendaki dengan kekuatan baru. Kekuatan baru, iya, di situ juga gue mengerti kenapa orang bijak bilang kalau orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mendapat kekuatan baru. Maksud gue, kekuatan baru itu sesuatu yang bikin gue bisa naikin Bukit Penyesalan, atau bukit apapun yang mungkin datang dalam hidup. Bukannya kekuatan gue ditambah, tapi kekuatan gue diperbaharui. Nah loh, bingung kan? Pokonya gitu deh, harus ngalamin sendiri kali yah.

Mendaki Bukit Penyesalan dengan beban ransel tujuh kilogram benar-benar perjuangan buat gue. Gimana nggak, tiap kali mau naik selangkah, gue musti berpegangan pada sesuatu (entah batu, batang kayu, atau bahkan rumput) sebelum mengangkat satu kaki gue, lalu mendorong punggung (dan ransel gue, tentunya) naik, dan akhirnya mengangkat kaki gue yang satunya lagi. Bah, benar-benar selangkah demi selangkah. Tiap kali gue nyaris putus asa, gue juga musti tau mau lihat ke atas atau ke bawah untuk menambah semangat gue. Kalau gue sudah cukup tinggi, melihat ke bawah bikin gue lega karena ternyata gue sudah menanjak cukup tinggi. Tapi, kalau ternyata posisi gue belum tinggi-tinggi amat, melihat ke atas ataupun ke bawah sama-sama bikin patah hati, jadi mending fokus ke langkah gue yang satu demi satu aja. Sama persis dengan hidup, kan?

Ketika gue dan hidup gue ternyata belum ke mana-mana padahal usaha gue udah pol-polan, melihat pencapaian gue malah tambah bikin sakit hati. Melihat ke hal-hal yang belum gue capai, malah bikin tambah patah hati. Jadi, ternyata, ada saat dalam hidup ketika gue ngga perlu ngeliat ke mana-mana selain ke tempat kaki gue sedang melangkah.

Beberapa kali, gue ngliat ke atas dan sorak sorai dalam hati: horeee puncak bukitnya sudah dekeeeet. Dan ternyata oh ternyata, setelah puncak bukit yang satu itu, jalanan menurun hanya sedikit untuk kemudian menanjak lebih tinggi.... dan lebih curam. Begitu berkali-kali. Bikin geram gue yang sudah kehabisan napas. Jadi, sekali lagi, ada baiknya hanya fokus pada langkah yang sedang dijalani.

Sewaktu menaiki Bukit Penyesalan, gue selalu berpikir bahwa menuruni bukit itu akan jauh lebih menyenangkan. Turun gitu, loh, ngga usah pake napas ngos-ngosan seharusnya, kan? Ternyata salah besar. Gue kehabisan semua tenaga --dan semangat-- justru ketika gue melewati Bukit Penyesalan buat kedua kalinya: ketika turun. Curamnya itu loh, lutut gue udah gemeteran, jempol kaki terantuk-antuk sepatu, dan akhirnya semua bagian kaki gue ikut sakit. Dimulai dari lutut yang gemeteran tadi, lalu telapak kaki, lalu pergelangan kaki, lalu jempol kaki yang terus-terusan senut-senut, sampai akhirnya pangkal paha ikut sakit bukan kepalang.

Setelah yang terakhir itu ikut sakit, ade gue akhirnya ikut jalan pelan-pelan di belakang gue. Terus-terusan dia bilang: "Ayo, Kak, jalan terus, jangan berhenti..." Dan biar tertatih-tatih, terseok-seok, gue terus berjalan. Kadang-kadang pengen tereak, kadang pengen nglempar ransel gue ke jurang, kadang pengen langsung berguling ke bawah, kadang pengen selonjor dan ngga mau berdiri lagi (apa lagi jalan...). Selangkah demi selangkah, dan gue menyemangati diri gue sendiri. Selangkah demi selangkah, pasti gue sampe di bawah, entah siang itu, entah sorenya, entah esok harinya, tapi kalau gue ngga berhenti pasti gue sampe juga. Berkali-kali pengen nyerah, pengen nangis, pengen ngeluh... Tapi semuanya itu ngga ada gunanya, kan?

Sama juga dengan hidup, sengganya dengan hidup gue. Kadang gue pengen nyerah, pengen nangis, pengen ngeluh. Berkali-kali gue bener-bener nangis, bener-bener ngeluh, walopun gue tau itu ngga ada gunanya. Tapi gue belum menyerah. Gue juga ngga menyerah menjalani perjalanan kembali ke Sembalun Lawang. Dengan impian akan  lima botol Teh Botol dingin, gue menyemangati diri gue, menyemangati lutut gue.

Sekarang, sambil menulis ini, gue masih belum lupa rasanya nyaris putus asa dengan kekuatan kaki gue. Tapi gue juga ngga bakal lupa gimana rasanya sampai di tempat tujuan gue, mendapatkan sekaleng Fanta dingin (walaupun bukan lima botol Teh Botol dingin), dan akhirnya kembali ke Senggigi. Suatu hari nanti, gue juga akan ingat masa-masa ini, ketika gue nyaris putus asa dengan kekuatan hati dan kewarasan gue. Tapi suatu hari nanti, gue juga akan tau gimana rasanya sampai di tempat tujuan gue, memperoleh sesuatu yang menyegarkan (walopun mungkin bukan seperti yang gue mau), dan kembali ke rumah Bapa gue.

Suatu hari nanti, pasti, selangkah demi selangkah, gue akan sampai di sana. Amin.

-pelajaran rohani gue dari pendakian Rinjani-

Wednesday, September 17, 2008

What am I Looking For?

What am I looking for? Years ago, I always knew what I want, always knew where my path lead to, always have what-next-list on my mind. But I lost that knowledge. And all I know is, this is not what I'm looking for; never, and will never be.


Monday, September 15, 2008

Virtual Existence...

...Alias eksistensi di dunia maya. Perlukah? Gue bukan orang gaul (dan ngga berencana jadi gaul), di dunia nyata, apalagi di dunia maya. Gue ngga merasa perlu berteman dengan semua orang walopun gue juga ngga pernah menolak berteman dengan siapa pun, yeah, tipikal temperamen melankolik. Tapi sebagian karena ikut-ikutan dan sebagian lagi karena tuntutan jaman, gue juga menghadirkan eksistensi gue di dunia maya.

Seperti banyak orang (ini kesimpulan sepihak gue), gue punya account yang bertebaran di mana-mana. Mulai dari yahoo mail, gmail, multiply, blogger, linkedin, friendster, forum idola cilik (hehe) sampai account-account lain yang gue juga ngga inget karena memang nyaris ngga pernah dipakai. Dan seperti banyak orang lain, gue juga hampir selalu memencet "forget password" tiap kali mau memakai salah satu account gue. Masih mending forget password, seringan gue forget user name, hehehe.

Karena eksistensi yang berlebihan itu, gue memutuskan (ciee... kaya yang pake pertimbangan luar biasa aja yah) buat menghapus account-account yang manfaatnya minumum buat gue. Dan gue mulai dari friendster. Lalu multiply. Lalu segera bakal gue hapus account-account ngga penting yang lain. Ngga ada bedanya juga sih, itu account dihapus atau ngga, tapi tiba-tiba itu seperti penting buat gue. Sama ngga pentingnya dengan sekarang gue bikin pengumuman bahwa gue sudah ngehapus account-account itu.

Heaaa. Jadi berpikir lagi, sebenarnya apa sih yang benar-benar penting?

Sunday, September 14, 2008

Interests: Constantly Changing

yap, yap, yap, betul sekali judulnya walopun sebenernya ngga selalu object of interests-nya yang berubah, tapi lebih ke priority of interests-nya yang berubah.

dulu banget, waktu gue masih anak SD, obsesi gue selalu terkait dengan buku dan segala sesuatu yang bisa dibaca. selalu ngiler tiap ke toko buku dan buku-buku gue itu cinta pertama gue. sampe sekarang pun, buku-buku gue masih tersimpan dengan rapi, tersampul, dan kalau bukan karena dipinjam oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, pasti masih dalam keadaan mulus. saking cintanya sama buku, cita-cita gue pun pernah berkutat di sekitar buku, mulai dari mau jadi editor buku, jadi penerjemah novel, jadi novelis, jadi ahli sejarah, jadi wartawan (ini agak melenceng dari buku, tapi kan tetap berhubungan dengan bacaan), sampai mau punya toko buku sendiri, bikin toko buku online, dan bikin usaha penerbitan. dan semuanya ngga ada yang kesampean sampai detik ini walopun gue masih doyan banget beli buku.

menjelang lulus SD, gue mulai tergila-gila sama Matematika. statement tertulis gue tentang ini gue tulis di tugas pelajaran Bahasa Inggris gue: I want to be a mathematician. sampai menjelang lulus sarjana, arah jalan gue tetap menuju ranah yang satu itu: mathematician. maunya gue sih jadi matematikawan beneran, bukan yang sekedar ngajar, tapi yang bener-bener punya produk riset sendiri, kalau perlu malah bikin teori sendiri: teori ndangse. kalau gue pikir-pikir, sampai sekarang gue masih berniat meneruskan obsesi ini, walopun ngga segila dulu (yah, akhirnya gue sadari gue ngga setekun dan yang paling penting, ngga sebrilian itu...).

masa-masa kuliah, gue tergila-gila sama kopi. awalnya lebih karena gue susah begadang. jam 9 malam pasti sudah di peraduan. seiring dengan tugas dan bahan ujian yang bikin gila, gue terpaksa minum kopi supaya tetap melek. awalnya terpaksa, lama-lama jadi doyan abis. ngga disangka, kreativitas gue bisa berkembang ketika berhubungan dengan kopi. gue belajar how to brew coffee. macem-macem itu, ada yang turkish way dan.. yah, yang gue inget tinggal yang turkish way. berhubung di kebun nyokap ada pohon kopi dan kami mengolah sendiri itu biji kopi, gue jadi akrab dengan semua literatur tentang kopi dan how to roast, how to grind, how to brew coffee. saking asiknya, gue pernah mau bikin warung kopi, atau warung kopi yang digabung dengan toko buku, dan yang paling akhir: bikin warung kopi dan toko buku sore-sore dan jadi mathematician pagi-pagi. hehehe.

sekarang, gue masih suka buku, masih suka matematika, dan masih suka kopi. tapi, sekarang gue lebih suka jalan-jalan. entah kenapa, mungkin karena itu bisa jadi pelarian yang pas ketika kepala gue mau pecah memikirkan tugas negara (taelah...). jalan-jalan gue adalah jalan-jalan petualangan. jadi, sepulangnya jalan-jalan, pasti lelah luar biasa. tapi gue sukaaa. sekarang, waktu luang gue dipakai buat browsing tiket, objek menarik, bikin itinerary, bikin budget, dan bikin blog cerita jalan-jalan gue. cita-cita gue jadinya adalah bikin blog jalan-jalan yang keren, bikin web tentang indonesia dan potensi wisatanya dengan cara yang asik, dan bikin travel agent. huaaa.

besok-besok, mungkin interest gue berubah lagi. namanya juga constantly changing... hehehe...

Thursday, August 21, 2008

Merdeka!

Syukur untuk setiap rencanamu dan rancanganmu yang mulia
Dalam satu kubu kami bersatu menjadi duta kerajaanmu
Kuucapkan berkat atas Indonesia, biar kemuliaan Tuhan akan nyata

Bagi bangsa ini, kami berdiri dan membawa doa kami kepadamu
Sesuatu yang besar pasti terjadi dan mengubahkan negeri kami

Hanya namamu Tuhan, ditinggikan atas seluruh bumi
Kami tahu hatimu ada di bangsa ini

---------------------------------------------

Tiga hari yang lalu gue bolos upacara tujuh belasan. Tidak usahlah dibahas kenapa gue bolos, tapi inilah pertama kalinya gue bolos upacara tujuh belasan sejak pertama kali gue bergabung dengan kantor gue. Walaupun senang juga ngga pegel-pegel karena berdiri tegak, tapi rasanya ada yang kurang dengan ngga ikut upacara gaya militer itu. Penasaran deh gue, di negara lain ada ngga sih upacara-upacaraan memperingati ulang taon kemerdekaan? Dan gue jadi berpikir lagi: apa itu kemerdekaan? 

Dulu banget, pas SMP, pernah gue jadi begitu emosional pas lagi upacara tujuh belasan, sampe nyaris nangis segala. Entah ya, kok gue waktu itu begitu menghayati itu upacara dan merasa begitu bersyukur dengan kehidupan gue: bisa sekolah, bisa haha hihi, bisa ke gereja dengan tenang, bisa punya mimpi... Gue ngga bisa membayangkan kalau gue dibesarkan lagi jaman belum merdeka; pasti nelangsa banget ya... Dan besar banget jasa orang-orang itu, yang mungkin di jaman merdeka ini hidupnya ngga beda-beda amat dengan jaman dijajah walopun pas jaman dijajah sudah berkorban segala sesuatu. Dan gue jadi berpikir lagi: apa itu kemerdekaan?

Pas jaman gue kuliah, pas jaman reformasi di mana teman-teman seangkatan gue malah ikut segala ke senayan dan menggulingkan rezim orde baru. Gue yang ngga nyali dan ngga bakal dikasih restu ikut demo hard core, cuma nyali ikut demo kecil-kecilan di depan kampus, yang ngga pake digebuk-gebukin polisi (digebukin juga sih, tapi yang di garis depan; gue kan di baris nyaris belakang, bisa cepet kabur... chicken banget ya...). Gue yang nyalinya ngga gede tapi tetep cinta negri gue jadinya bergabung dengan tim doa di pelayanan gue. Gue masih inget, doa pagi tiap sabtu jam 6 pagi, gue yang ngga punya kuliah di hari sabtu dan tinggal ajubile jauhnya dari kampus untuk ukuran kota kecil sekelas bandung, bela-belain bangun pagi, naik angkot sambil terkantuk-kantuk karena mau persekutuan doa: buat negri gue tercinta. Setidaknya, itu pengorbanan yang bisa gue berikan: lutut dan air mata gue buat tanah air yang kacrut tapi bener-bener gue sayang. Gue juga masih ingat doa-doa kami saat itu: pulihkan negri kami, selamatkan bangsa kami, jangan biarkan darah tercurah lagi di tanah kami: dari sabang sampai merauke, jangan biarkan negri kami terpecah lagi, tetap sayangi bangsa kami... Dan gue jadi berpikir lagi: apa itu kemerdekaan? 

Sekarang, jaman idealis-idealisnya gue seperti mimpi. Gue berkutat dengan hidup yang ternyata memang ngga mungkin jadi mudah, gue bergulat dengan deru debu dan (ternyata) berat sekali mencari sesuap nasi dan segenggam berlian, gue sibuk bertanya apakah masih realistis untuk ingin menjadi pelita yang bersinar di atas bukit dan garam yang membuat asin negri gue. Dan gue jadi berpikir lagi: apa itu kemerdekaan?

Proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah 63 tahun berlalu. Para pejuang, pemimpin, pemikir, sudah mengantarkan gue ke pintu gerbang kemerdekaan. Pintu gerbang. Gue mau gue dan saudara-saudara sebangsa gue ngga cuma sampai di pintu gerbang, tapi masuk ke dalam, menjadi tuan rumah, menjamu tamu-tamu dan memperkenalkan: inilah kota kemerdekaan.  

Gue ngga punya ide-ide cemerlang, ngga bisa melakukan hal-hal yang spektakuler, ngga punya pengaruh di mana pun, hanya gue yang biasa-biasa saja. Gue cuma punya harapan, tidak pernah berhenti berharap, selalu berjalan menuju harapan gue: Indonesia bisa jadi Indonesia yang lebih baik, Indonesia akan jadi Indonesia yang lebih baik, Indonesia pasti jadi Indonesia yang lebih baik... karena Tuhan sayang Indonesia, karena gue sayang Indonesia, dan karena banyak orang sayang Indonesia.

Untuk Indonesia yang lebih baik!

Monday, July 21, 2008

Second Quarter Review

Sudah nyaris bulan kedelapan di tahun ini, sudah lewat pertengahan tahun ini. Rasanya terlalu cepat waktu berlalu dan aku belum ke mana-mana (maksudku, belum mencapai apapun, kalau ke mana-mana sih sudah ke mana-mana melulu). Sudah saatnya juga menyegarkan ingatan tentang tahun ini walaupun sepertinya tidak cukup banyak yang layak diingat…

Januari:
Tahun baru, tahun baru: harapan baru, semangat baru, tapi tetap dengan mimpi-mimpi lama. Sepanjang bulan tidak dijadwalkan buat audit… Nggak laku, nggak laku… Yah, sebenarnya bukan karena nggak laku juga sih tapi karena aku ditugaskan mempersiapkan diri mengajar Statistika di direktorat. Hiks, sedihnya luar biasa mengingat dari jaman purbakala aku masih SMU sampai terakhir kali aku punya ingatan, aku benci setengah hidup pada makhluk bernama Statistika.
Lalu, patah hati karena perjalanan ke Nepal terancam batal, dan langsung balas dendam bikin perjalanan mendadak ke Batam-Bintan-Singapore dengan Rita, Shinta, dan Dian. Lalu... lalu... 16 Januari 2008, e-mail yang ditunggu-tunggu membawa kabar bagus: Congratulations! You passed the 2007 Financial Risk Manager Examination. Senang, girang, terharu, penuh syukur, tambah meluap dengan pengharapan: tahun ini akan lebih baik, tahun ini akan lebih berwarna, tahun ini akan lebih mudah mensyukuri hidupku yang selalu begini-begini saja. Aku traktir teman-temanku di Penang Bistro (padahal kan aku luar biasa pelit, ulang tahun juga nggak pernah traktir teman-teman: jangan coba memaksa, aku tidak terlalu girang dengan bertambahnya usiaku:D)...

Februari:
Akhirnya... toh berlalu juga, ajar-mengajar Statistika yang bikin aku dag dig dug itu. Lumayan sukses kalau menurutku (dengan kebencian pada Statistika dan kekurangmampuan mengajar). Sedikit banyak kecewa (tapi lebih banyak kecewanya) karena rencana jalan-jalan ke Balikpapan batal karena teman seperjalananku sakit. Hiks. Dua tiket Jakarta-Balikpapan kuberikan gratis pada adikku dan temannya. Dan aku berjanji, untuk perjalanan selanjutnya, akan selalu kurancang sedemikian hingga bila teman seperjalananku membatalkan keberangkatan maka aku akan tetap bisa menikmati perjalanan seorang diri...

Maret:
Tugas audit pertama di tahun ini. Senang... karena timnya menyenangkan, orang-orang yang sudah kukenal sebelumnya (yang semoga juga menyukaiku sebesar rasa sukaku pada mereka). Perjalanan ke Bromo batal juga, kali ini aku yang membatalkan. Tapi perjalanan ke Padang dan Bukit Tinggi sukses besar!
Pertama kali bepergian dengan Fenti, dan aku tidak kapok:D. Makan-makan dan makan-makan... indahnya dunia...

April:
Tugas audit kedua di tahun ini.
Hanya empat orang anggota timnya, sepi... Aku mulai malas dan tambah malas belajar, mulai gelisah dan tambah gelisah. Masih ditambah rencana audit ketiga yang diubah oleh entah siapa dan jadi bertabrakan dengan jadwal tiketku ke Nepal. Perjalanan impianku, akankah gagal??? Aku yang tak pernah memelas, berniat berpura-pura memelas, tapi akhirnya memang benar-benar memelas, memohon dicabut dari tim audit ketigaku. Bulan ini juga pertama kali ikut sertifikasi perbankan. Tiba-tiba jadi senang belajar lagi, banyak hal membosankan jadi menarik kalau dilihat dari sisi yang berbeda...

Mei:
Ulang tahunku. Tambah tua, tambah sering ditanya: kapan kawin? Duh, tanya-tanya melulu, padahal kan kalau aku akan kawin pasti bikin pengumuman, kalau perlu malah aku pasang spanduk di air mancur bundaran HI. Capek juga menghadapi orang-orang dan menjelaskan kalau aku tidak akan lupa kawin, hanya belum akan kawin.
Lalu, lalu, adik tertuaku akhirnya mendapat pekerjaan baru! Terpujilah Tuhan atas segala sesuatu yang pernah ada dan yang akan pernah ada. Haleluya!
Dan akhirnya, saudara-saudara terkasih, aku sampai di Nepal. Terima kasih semuanya, satu mimpiku sudah tercapai...

Juni:
Rencana audit keempat diundur sampai waktu yang belum ditentukan. Jadi pengangguran lagi bulan ini. Tapi masih punya stok kegirangan karena biaya ujian FRM-ku diganti kantor. Uhuuuuyyyy... karena tidak pernah benar-benar berharap biaya ujianku akan diganti, ini seperti menang undian. Lalu... untuk pertama kalinya aku ikut jalan-jalan dengan tour organizer: FunTrip2Volcano ke Batu Karas dan Cijulang serta Explore Indonesia ke Sempu dan Bromo. Senang juga, ada yang urus ini itu dan aku tinggal bayar dan terima beres. Senang juga, punya teman-teman baru. Tapi aku tetap punya kepuasan yang berbeda pada jalan-jalan yang aku urus sendiri...

Juli:
Panik, panik, akses online buku GRE-ku yang 6 bulan itu nyaris expired. Ke mana saja selama ini? Fuih, padahal audit keempat dimulai bulan ini. Panik, panik, aku belum juga mulai belajar pemrograman C++. Panik, panik, blog jalan-jalanku mandek karena sudah terlalu banyak cerita yang aku tak ingat. Panik, panik, karena aku masih sebodoh dua tahun lalu ketika aku pertama kali menyadari nasibku sebagai auditor. Panik, panik, mengapa otakku berkarat begini? Mogok dan rusak parah, apakah karena tak pernah dipakai? Panik, panik, tahun ini sudah berlalu lebih dari setengahnya dan aku masih berputar-putar di titik yang sama. Panik, panik, karena yang kuingat sejak awal tahun ini hanya berputar di kantor dan jalan-jalan; ke mana kehidupanku yang lain?

Panik, aku sungguh teramat panik.

Tuesday, July 08, 2008

Habis

Kadang-kadang, hanya kadang-kadang, aku kehabisan alasan untuk bertahan. Aku mencari-cari alasan, aku membuat-buat alasan, aku mengingat-ingat alasan yang pernah ada, aku menghitung-hitung alasan yang pernah ada dan semoga akan ada. Tapi sama saja, yang kadang-kadang itu tetap terjadi: aku kehabisan alasan untuk bertahan.

Kadang-kadang, hanya kadang-kadang, aku kehabisan pendorong untuk berjuang. Aku membujuk diriku, aku merayu diriku, aku memaksa diriku, aku menghardik diriku. Tapi sama saja, yang kadang-kadang itu tetap terjadi: aku kehabisan pendorong untuk berjuang.

Kadang-kadang, hanya kadang-kadang, aku kehabisan stok kebahagiaan. Aku mengisi pundi-pundiku dengan teman-teman, dengan keluarga, dengan petualangan, dengan pekerjaan, dengan kesenangan, dengan cinta, dengan doa. Tapi sama saja, yang kadang-kadang itu tetap terjadi: aku kehabisan stok kebahagiaan.

Kadang-kadang, hanya kadang-kadang, aku kehabisan harapan untuk menggapai mimpi-mimpiku. Aku mencoba bertahan, aku terus berjuang, aku menggenjot pertahanan dan perjuanganku dengan remah-remah kebahagiaan yang tersisa. Tapi sama saja, yang kadang-kadang itu tetap terjadiL aku kehabisan harapan untuk menggapai mimpi-mimpiku.

Kadang-kadang, hanya kadang-kadang, semuanya habis. Hampir semuanya. Yang tersisa hanya hatiku dan sejejak cinta pada Bapa Surgawiku.

Thursday, July 03, 2008

Rumah

Beberapa minggu lalu, untuk pertama kalinya, aku berhenti di kawasan Porong. Di kawasan yang sekarang terkenal dengan "wisata lumpur"-nya. Aku dan teman-teman naik ke atas tanggul dan teriris miris melihat lautan lumpur di sana. Bukan cuma lautan lumpur, sebenarnya, ada batang pohon yang mati dan mengering, ada puncak atap rumah yang sepi sendiri tanpa penghuninya.

Dan aku teringat rumahku, atau bukan rumahku tapi rumah orang tuaku. Itulah satu-satunya tempat yang kusebut rumah sampai hari ini, tempat aku menenangkan hati ketika pekerjaan membuatku nyaris gila, tempat aku mencari keteduhan ketika hidup jadi terlalu panas membakar hatiku, tempat aku mendapatkan kehangatan ketika dunia terlalu dingin menghembus asa, tempat aku berkumpul dan tertawa dan menangis dan mengamuk dan merasakan segala rasa bersama orang-orang yang kucintai. Itulah rumahku. Sebentuk bangunan yang aku tahu akan selalu berada di sana, walaupun beratus kilometer dari tempatku tinggal mendulang rupiah. Setidaknya, aku selalu percaya, sebentuk bangunan itu akan selalu berada di sana menungguku pulang.

Tak bisa kubayangkan jika ketika aku pulang yang kudapati hanyalah atap rumahku yang sepi sendiri, megap-megap di antara lautan lumpur coklat buruk berbau busuk. Tak bisa kubayangkan bila aku dan orang-orang yang kucintai dicabut paksa dari akar ini, rumah yang jadi saksi air mata dan canda tawa. Tak bisa kubayangkan bila aku harus kehilangan kenangan dan masa laluku hanya karena aku kecil dan tak berdaya dan tak cukup punya cara untuk melawan lumpur yang terus mengalir dan orang-orang yang hanya tahu menilai segala sesuatu dengan uang. Tak bisa kubayangkan bila aku ada di antara bapak dan ibu korban lumpur di Sidoarjo.

Tak ada yang kebetulan dalam hidup. Tapi bila kehilangan dan rasa sakit harus terjadi, biarlah itu untuk sesuatu yang lebih baik.

-God loves Indonesia, of this I'm sure...-

Wednesday, July 02, 2008

Lain Dulu, Lain Sekarang

Dulu: gue sedih kalau nggak punya kerjaan, nggak dibagi kerjaan
Sekarang: masa bodo kalau gue nggak punya kerjaan: gue bikin kerjaan gue sendiri

Dulu: gue nggak suka jadi orang paling oon
Sekarang: oon juga nggak apa-apa deh, asal hati gue tetap cerah ceria

Dulu: berasa malang kalau di tengah keramaian nggak kenal siapa-siapa
Sekarang: kenal nggak kenal, sendiri atau rame-rame, hajar aja bleeeh

Dulu: kalo temen gue batalin janji tiba-tiba, gue merengut sebel
Sekarang: batalin aja sesuka hati lo, gue tetep jalanin rencana dengan atau tanpa lo

Dulu: sibuk telpon sana sini cari temen nonton show ini itu
Sekarang: imelin aja orang-orang tentang show ini itu, kalo ngga ada yang reply, nonton ndiri asik-asik aja

Dulu: ribet banget kalo dikomentarin rambut dan muka gue yang berantakan
Sekarang: emang gue pikirin kalo rambut dan muka gue berantakan di mata situ? gue kan ngga naksir situ, kqkqkqkq

Dulu: berat banget mikirin masa depan
Sekarang: masa depan, masa sekarang, masa lalu, masa-masa itu sudah ada di tangan yang tepat...

Wednesday, June 25, 2008

Ke Mana Lagi?

"Mau ke mana, Ndang?" tanya temanku ketika minggu lalu aku sudah siap dengan ransel dan sepatu trekking ketika jam pulang kantor.

"Bromo," jawabku enteng (yah, sebenarnya juga ke Malang, lalu Pulau Sempu, dan mungkin ke tempat lainnya kalau masih ada waktu).

"Yaaaah, masih dalam negri aja lu...?" sambungnya lagi, agak menohok.

"Loooh... Indonesia itu kan tempat paling indah di dunia!" masih kusambung juga omongan tidak penting itu.

Dan aku jadi berpikir, memangnya kenapa kalau aku mau putar-putar mengitari negeriku yang cantik ini? Aneh ya, bagaimana orang-orang jadi begitu "luar negri minded": liburan harus ke luar negri, belanja harus ke luar negri, berobat harus ke luar negri, sekolah harus ke luar negri, malam tahun baru harus di luar negri, lama-lama akhir pekan juga ke luar negri.. Hehehe.

Aku tidak anti luar negri. Aku masih punya cita-cita merasakan romansa Paris, menyentuh keajaiban St. Petersburg, melanjutkan sekolah ke California. Tapi aku juga luar biasa tersentuh dengan kecantikan negriku sendiri: pantai, laut, sungai, danau, gunung, hutan, sabana, padang pasir, air terjun, sampai budayanya yang banyak banget dan fuih... selalu bikin aku mengucap syukur berjuta-juta kali karena terlahir di tengah-tengah kemolekan ciptaan Tuhan.

Apakah gaya hidup metropolitan yang seperti itu? Apa-apa berorientasi pada luar negri? Seperti rekan temanku yang bilang, "Ngapain jalan-jalan ke Nepal? Nepal kan negara miskin!"

Dan aku tertawa sampai tersedak. Negri ini juga miskin, Bung! Jadi mari jadikan negri ini kaya, paling tidak kaya dengan kebanggaan rakyatnya sendiri...

Tuesday, June 24, 2008

Lelah

you might never know what's burning here
all the words unspoken
all the feelings unexpressed
all the dreams unreached
all the tears unseen

you might never know what it means
no single day without you
or your voice
or your words
or your stories

you might never know, and it's better kept that way

-lelah...-

Pemilik NPWP Bebas Bea Fiskal: Yipppiiiii

Senin, 23 Juni 2008 | 01:06 WIB

Jakarta, Kompas - Kabar gembira bagi pemilik nomor pokok wajib pajak atau NPWP. Mulai tahun 2009, semua calon penumpang penerbangan atau pelayaran menuju ke luar negeri akan dibebaskan dari kewajiban membayar biaya fiskal jika menunjukkan bukti kepemilikan NPWP.

Kebijakan ini diterapkan karena pemerintah dan DPR ingin mendorong orang untuk memiliki NPWP sehingga jumlah pembayar pajak di dalam negeri akan semakin banyak.

Hal itu merupakan keputusan Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan (RUU PPh) yang terdiri atas wakil dari 10 fraksi di DPR serta pemerintah.

Keputusan tersebut diungkapkan Ketua Panitia Khusus Paket RUU Perpajakan Melchias Markus Mekeng di Jakarta, Minggu (22/6).

Saat ini semua penumpang pesawat terbang atau pelayaran internasional yang berangkat dari bandar udara atau pelabuhan internasional di Indonesia wajib membayar biaya fiskal Rp 1 juta per orang. Ini merupakan salah satu sumber penerimaan negara bukan pajak bagi pemerintah.

Dengan adanya keputusan Panitia Kerja RUU PPh itu, semua penumpang yang berusia 21 tahun ke atas wajib membayar fiskal kecuali yang bersangkutan bisa menunjukkan NPWP.

Jika ada anak atau istri yang hendak bepergian ke luar negeri, mereka bisa bebas fiskal asal menunjukkan NPWP ayah atau suami. Hal itu dimungkinkan karena Indonesia menganut prinsip satu NPWP dalam satu keluarga.

"Namun, jika penumpang itu sudah berusia 21 tahun ke atas dan tidak memiliki NPWP, dia wajib membayar fiskal yang tarifnya ditetapkan menyusul oleh pemerintah," ujar Melchias.

Tingkatkan daya tarik

Menurut Melchias, kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik Indonesia di mata orang asing. Selama ini hanya Indonesia di negara kawasan yang menerapkan kewajiban fiskal, sementara negara-negara tetangga Indonesia, terutama Malaysia dan Singapura, telah membebaskan biaya fiskal sejak lama.

Saat ini jumlah pemilik NPWP efektif atau yang benar-benar memiliki identitas jelas mencapai 6 juta orang. Namun, jumlah wajib pajak badan yang benar-benar membayar pajak baru sebanyak 1,3 juta, sedangkan wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak mencapai 1,1 juta orang.

Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan, pembebasan bea fiskal dari pemilik NPWP bisa mendorong efektivitas program ekstensifikasi pajak.

Direktur Penyuluhan Pajak Joko Slamet Suryoputro menambahkan, dulu fiskal diberlakukan untuk membatasi orang ke luar negeri. (OIN)

Monday, June 23, 2008

Forever; Yes, Forever!

Into your hands I commit again with all I am for you, Lord.
You hold my world in the palm of your hands and I am yours forever.

Jesus, I believe in you.
Jesus, I belong to you.
You're the reason that I live, the reason that I sing forever.

I'll walk with you wherever you go; through tears and joy, I'll trust in you.
And I will live in all of your ways and your promises forever.

I will worship you, I will worship you, forever

-With All I Am, Hillsongs United-

When forever means forever, let my love to you be eternal...

Thursday, June 19, 2008

Bintang

Aku ingin jadi bintang, selalu ingin jadi bintang. Tak perlu terlihat besar, tak perlu menutupi apa pun atau siapa pun, tapi cukup menerangi sepetak gelap. Tak perlu dikenal oleh semesta, tapi jagad raya merasakan cahayaku, mengenali kerlipku.

Aku ingin jadi bintang, selalu ingin jadi bintang. Aku ingin bersinar bersama bintang yang lain, bukan menutupi cahaya mereka, bukan juga ditutupi oleh cahaya mereka.

Aku ingin jadi bintang, hanya jadi bintang, walaupun bintang terkecil dari yang pernah ada dan yang akan pernah ada.

Wednesday, June 18, 2008

I don't have that angelic voice I wish I had but still I will sing...

Lord, you seem so far away, a million miles or more it feels today.
And though I haven't lost my faith, I must confess right now that it's hard for me to pray.
But I don't know what to say and I don't know where to start, but as you give the grace with all that's in my heart I will sing, I will praise, even in my darkest hour, through the sorrow and the pain.
I will sing, I will praise, lift my hands to honor you because your word is true.
I will sing.

Lord, it's hard for me to see all the thoughts and plans you have for me.
But I will put my trust in you knowing that you died to set me free.
But I don't know what to say and I don't know where to start, but as you give the grace with all that's in my heart I will sing, I will praise, even in my darkest hour, through the sorrow and the pain.
I will sing, I will praise, lift my hands to honor you because your word is true.
I will sing.

-I will Sing, Don Moen-

when a song tells it all...

Friday, June 13, 2008

I Don't Kiss Friends..

But I do kiss boyfriends.

Pusing gue sama pertanyaan-pertanyaan ngga jelas yang bikin otak gue tambah ngga jelas. Yah, mungkin pertanyaan-pertanyaannya jelas, tapi kejelasannya bikin gue ngga jelas.

Tulalit deh gue.

Pusing

Pusing

Pusing

Gue mau makan aja yang banyak.

Tuesday, June 10, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Bagian Terakhir: Wall of Fame)

Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada (lagi noraaaaak):

  1. Bapa tersayang yang sudah ngasih kesehatan, kekuatan, keamanan, dan uang yang cukup:D
  2. Bapak dan Mama yang pengertiaaaaaaaaaaan banget, ngga ribet nanya-nanya kenapa putri tercinta pengennya selalu ke tempat yang ngga jelas
  3. Ibu dan Bapak bos yang sudah ngasih cuti (niat gue mau melas-melas, tapi ternyata dari lubuk hati yang paling dalam emang melas beneran...)
  4. Mbak dan Mas yang berkenan mencopot gue dari tim audit terakhir
  5. Shinta yang udah mau jadi teman perjalanan gue (walopun kita sering ribut-ribut juga yah, Shint, tapi gue pikir-pikir kalo bukan karena elo mau pergi sama gue, ngga bakalan loh gue kejadian kemaren itu berangkat:D)
  6. Kak Vemi, yang udah berbaik hati jadi tempat tumpangan (tidur dan makan!!!) selama dua malam... (Upahmu besar di sorga loh, Kak:D). Anytime Kakak ke Jakarta ato Bandung, gantian gue yang jadi host yaa
  7. Mbak Ully, Mas Budhi, Nesa, dan Ezra, buat semua info dan keramahan dan kamar buat tidur siang dan perkenalan dengan Jyoti (hwakakak) dan kesempatan buat baby sitting (kapan lagi, coba, baby sitting in Kathmandu)
  8. Ibu Phoebe (bener kan yah, nulisnya begini?) dan Pak Sam, buat sarapan bersama dan ngobrol-ngobrolnya di sore-sore habis ujan di hari kami terjebak bandh--truely an inspiration of a christian couple
  9. Abang tukang dayung di Pokhara, yang bikin boating di Fewa lake jadi sulit dilupakan... bow, didayungin sambil disetelin lagu mellow... kapan lagi coba!!
  10. Gitta, yang udah ngajarin gue bahasa Nepal
  11. Mbak yang sepesawat ama kita bolak-balik Singapore -Kathmandu: an inspiring travelller, bikin gue ngiri pengen punya cuti sebanyak dia, temen jalan sebanyak dia, dan yah, duit sebanyak dia tentunya. Hwakakak
  12. Mbak dan Mas di hotel; abang supir taksi di Kathmandu, Pokhara, Singapore, dan Jakarta; tentara yang jagain temple di Bhaktapur dan di Kathmandu; abang supir riksha yang dua kali nglipet gue; ade kecil yang nepu gue beli tas kecil di Patan (gue rela kok ditipu kecil-kecilan, tapi duitnya dipake yang bener yaa); ade-ade kecil teman baru gue di Boudhanath; pelayan ganteng di Koto Restaurant (asli, dia mirip banget ama Charlie, tapi versi bagusan sih.. teuteup..); dan lain-lain dan lain-lain dan lain-lain.
  13. Orang-orang yang ngga bisa gue sebutin satu persatu, tapi bikin perjalanan gue bener-bener memperkaya diri gue. Hidup jalan-jalan!:D

Cerita dari Atap Dunia (Part 8)

  • Pak Sam dan Bu Phoebe nyamperin kita ke hotel: bersepeda beriringan mereka, dari Patan ke Thamel... cieee... romantis bow!
  • Sarapan bareng Pak Sam dan Bu Phoebe di seberangnya Everest Steak House (gue ngga inget namanya, cuma inget bahwa kami liat Everest Steak House masih tutup dan di seberangnya ada tempat sarapan yang sudah buka)
  • Off we go to Tribhuvan International Airport
  • Wah, cara minum dari dispensernya kaya gitu yah: ada gayung buat tempat minum rame-rame
  • Selamat tinggal, Nepal... I'll be back!!!
Meninggalkan sesuatu kadang-kadang menyenangkan, kadang-kadang menyedihkan, kadang-kadang keduanya. Buat gue, meninggalkan Nepal adalah keduanya. Sedih, karena ada banyak tempat, ada banyak peristiwa, ada banyak orang yang belum sempat gue kenal, belum sempat gue temui. Sedih, karena gue belum puas mereguk semuanya, belum sempat menjejakkan telapak kaki mungil gue di punggung gunung-gunungnya. Sedih, karena gue masih ingin bersenang-senang dan melupakan pekerjaan gue.

Tapi senang juga. Senang, karena gue mau meninggalkan semua kekacrutan yang ngga gue mengerti (dan ngga pernah gue temui di negeri gue). Senang, karena akan terbangun dari mimpi yang melenakan dan kembali pada realitas hidup gue. Senang, karena akan bertemu kembali dengan orang-orang yang paling gue sayang. Senang, karena gue sudah siap merencanakan perjalanan selanjutnya.

Dan ternyata, yang paling menyenangkan adalah bahwa gue tau kapan gue akan meninggalkan Nepal. Alangkah menyedihkannya kalau gue ngga tau kapan gue harus meninggalkan sesuatu dan tiba-tiba, wuusss, dalam sekejap harus terjadi perpisahan. Setidaknya, kalau gue tau waktunya, gue akan lebih siap.

Atau malah lebih ngga siap?

Ini Juga Bikin Meleleh

Cerita dari Atap Dunia (Part 7)

  • Batal ke Sarangkot. Hujan!!! Again, kenapa hujannya mesti pas gue di Pokhara...
  • Ke World Peace Pagoda, pake acara trekking 15 menitan (halah, ini mah bukan trekking yah)
  • Biasa ngupi di mana? Starbucks, Coffee Bean, Pattiserie Francais, Kopi Phoenam? Gue dong... ngupi di warung sambil... mmmm..... bengong liatin deretan Himalaya yang jadi latar belakangnya Fewa Lake... Hati gue kaya mau meleleh...
  • Sarapan menjelang makan siang di Hungry Eye Restaurant & Bar
  • Rintik-rintik, tapi gue mau boating lagi (ngapain lagi, coba?)
  • Belanja lagi: tempelan kulkas, kartu pos, dan teh
  • Terbang balik ke Kathmandu: gila, pesawatnya sama gede dengan yang buat mountain flight!
  • Acara pamit-pamitan dan ambil titipan barang: ke rumah Kak Vemi trus ke rumah Mas Budhi & Mbak Ully
  • Makan malem di Koto Restaurant: lagi, yang enak bukan cuma makanannya, tapi juga mas pelayannya... (enak diliat getooo)

Ada banyak cara untuk meleleh. Buat gue, gue pasti meleleh kalau menatap keindahan. Gue meleleh kalau menatap tebing tinggi berbatu-batu Lembah Harau yang kokoh menaungi hijaunya daun-daun pephonan. Gue meleleh kalau melihat eloknya danau maninjau di tengah kabut dari kelok ke  30-an-nya kelok 44. Gue meleleh kalau menatap hamparan pasir putih yang cantik luar biasa yang menjorok di tengah lautan di antara pulau-pulau di kepulauan karimun jawa. Gue meleleh ketika sambil mengambang di sungai cijulang gue menyedot kecantikan open cave yang mengungkunginya. Gue meleleh oleh kecantikan negeri gue.

Gue juga meleleh bersama hangatnya secangkir kopi di cangkir gue ketika gue menghirupnya sambil memeluk kecantikan Annapurna yang jadi latar belakang Fewa Lake. Gue meleleh ketika waktu seperti berhenti dan gue mencair bersamanya. Gue meleleh ketika menyadari bahwa gue tidak punya kata-kata yang cukup indah, pulasan warna yang cukup sempurna, untaian nada yang cukup merdu, untuk meneriakkan kecantikan yang gue lihat, dengar, dan cecap.

Gue meleleh oleh keagungan Allah gue.

Gue juga meleleh kalau menatap pria ganteng.

Hwakakak.

Monday, June 09, 2008

Pagi-pagi Ngantuk-ngantuk

Jalan-jalan memang menyenangkan. Tapi, kalau baru sampai di rumah jam setengah tiga pagi dan jam delapan pagi sudah sampai di kantor dan mendapati pesan di mailbox kalau jam sepuluh pagi itu juga harus rapat di luar kantor dengan materi yang baru dikirim sejam sebelumnya, rasanya seperti mau gantung diri di pohon toge. Terkantuk-kantuk mencari sarapan seadanya dan espresso double, barulah kepala bisa terangkat sedikit dan mata bisa agak melek.

Mak nyuuuus.... dan di mana Liqudity Management Policy yang mau dirapatkan itu? Ufff... short term memory loss. Dan, dan... mark to market, net open position, profit and loss.... My gosh... otak gue masih nyangkut di sungai cijulang. Semoga rapatnya ngga pake mikir banyak-banyak:(.

Friday, June 06, 2008

Abang yang Dayungin Gue...

Cerita dari Atap Dunia (Part 6)

  • Bangun subuh, jangan sampe ketemu taxi chaina lagi
  • Belum pernah gue bisa begitu seneng karena ketemu taksi.. hwakakak
  • Off we go to Pokhara... naek Golden Travel yang katanya tourist bus tapi di setiap perempatan ngangkut penumpang
  • Naik turun gunung, muter-muter gunung... delapan jam yang menyenangkan
  • Makan siang di jalan (pake voucher); duh, gue ngga ngerti rasa makanannya...
  • Plakatnya bilang: simpa & somdan... hwakakak, nama gue jadi berantakan
  • Nginep di Castle Guest House (managed by a christian family!), hotel murah yang gede, bersih, nyaman, dan kekeluargaan banget
  • Beli sepatu: cihuyyy, sepatu trekking bow! sekarang gue kaya anak gunung beneran
  • Makan siang di Lemon Tree
  • Boating berduaan sama abangnya: dua jam sampe matahari terbenam dan pake acara disetelin musik... romantis bener... hwakakak, kapan lageeee?
  • Makan malem kecil di Busy Bee: cafe banget:(
  • Belanja tas buat Mama dan kaos buat ade-ade gue
Gue sejenak kaget ketika tau bahwa gue dijemput oleh pastor jemaat lokal di Pokhara (janjinya mau dijemput anaknya yang punya hotel). Hyah, gue selalu berada di jemaat yang besar dan gue nyaris ngga kenal sama Pendeta gue (apalagi pendetanya, mana kenal dia siapa gue:D). Seperti bertemu dengan jemaat mula-mula, ya? Gembala dan jemaat jadi keluarga yang saling membantu. Apalagi ketika gue dikenalin: this is our brother... Inilah tempat yang bikin gue mendayu-dayu: sejuk, Bali banget (mengutip komentar temen gue), orangnya ramah-ramah dan tak lagi doyan meludah, dan rasanya tentraaaaam banget didayungin di danaunya. Belum lagi deretan tinggi pegunungan bersalju mirip kapas yang jadi latar belakang danaunya. Fuih...

Nesa Sesaat Sebelum Disenggol Sepeda...

Cerita dari Atap Dunia (Part 5)

  • bandh lagi... kali ini lebih gawat, taxi chaina alias ngga ada taksi
  • batal ke Pokhara gara-gara taxi chaina
  • gue nyaris nangis, duh... di negeri orang pake acara mau nangis:(
  • ikut les nepali-nya Mas Budhi dan Mbak Ully: kenalan ama Jyoti dan Deepak
  • gue sih lebih suka babysitting Nesa dan Ezra: seru!!!
  • ke Patan Durbar Square lagi bareng Nesa dan Mbak Ully: Taleju Cafe & Restaurant tutup juga, batal deh difoto dengan view Durbar Square
  • Makan siang di Cafe de Patan
  • Mau moto Nesa, tapi Nesanya malah jadi kesenggol sepeda... Maaf ya, Nesa.. Gila juga tuh sepeda, jelas-jelas ada anak kecil lagi nyebrang, ngga peduli sama sekali! Coba di sini, udah digebukin orang sekampung tuh!
  • Ngobrol-ngobrol ama Bu Phoebe dan Pak Sam: what a couple, what a couple...
  • Mmmm... gue masih kepikiran sepatu gue yang jebol sehari sebelumnya
  • Makan malem di rumah Kak Vemi (masakannya ennnaaaaaak...)

Hari ini adalah wisata dari rumah ke rumah. Alamak, di negeri sendiri, gue nyaris ngga pernah bertandang ke rumah orang, baik itu saudara maupun teman. Sifat anti sosial gue dibongkar paksa di Kathmandu. Huahahaha, it's funny how God make me do things I always hate to do.

Teman-teman yang rumahnya gue kunjungi mengatakan hal yang mirip: inilah Nepal, negeri di mana kau tak bisa berencana. Yah, akhirnya gue menemukan hal yang bakal bikin gue selalu ingat pada Nepal: ketika gue berjalan nyaris putus asa ke jalan besar, mencari taksi buat ke pool bis dan akhirnya harus pulang sia-sia, tenggorokan tercekat, dan mau murka pada kebodohan orang Nepal. Di pikiran gue, hanya orang bodoh yang tidak berontak ketika dipaksa berhenti melakukan aktivitas karena hal-hal yang tidak ada hubungan dengan dirinya seperti pembunuhan seorang penting, siapa pun itu.

Gue terbiasa dengan rencana. Setiap perjalanan gue selalu terencana, bahkan sampai jam dan tempat makan pun terencana. Menurut gue, gue selalu cukup fleksibel mengubah rencana gue tapi bukan mengubah total seperti mengundur keberangkatan gue satu hari ke Pokhara dan sebagai gantinya malah berwisata dari rumah ke rumah karena gue ngga punya pilihan lain. Dan itu terjadi saat gue hanya punya delapan hari di Nepal.

Di tengah air mata yang nyaris membanjir (gue masih cukup tau malu buat menahan tangis kecewa gue karena teman-teman gue sudah pasti lelah berceloteh berusaha menghibur gue), gue belajar berempati pada orang Nepal. Gue mengerti, dalam hidup memang banyak ketidakpastian, tapi buat orang Nepal, ketidakpastian itu jadi terlalu banyak; terlalu banyak untuk bisa gue mengerti, terlalu banyak untuk bisa gue tolerir.

Semoga segalanya jadi lebih baik dengan perubahan-perubahan yang sekarang sedang terjadi pada dunia politik di Nepal. Kalau biasanya gue menulis untuk Indonesia yang lebih baik, kali ini gue menulis juga untuk Nepal yang lebih baik. Amin.

Thursday, June 05, 2008

Boudhanath dan Kak Vemi dan Shinta dan Banyak Orang Lain

Cerita dari Atap Dunia (Part 4)

  • setengah 4 pagi udah jalan ke nagarkot
  • sunrise ngga dapet, tapi liat pantulan matahari di salah satu puncak bersalju
  • it's Buddha Jayanti!!! Boudhanath raaaaameeee banget
  • diajak kenalan ama anak-anak SD; dikiranya gue seumuran mereka kali yah, hihihi
  • umpel-umpelan di "angkot"-nya Nepal
  • oooh Kasthmandap tempatnya Kumari itu yang itu... kalo yang itu sih gue udah datengin kemarin lusa:D
  • beli teh buat oleh-oleh
  • cape banget, ngga jadi ke Swayambunath
  • jalan cuma segitu doang dari rumah Kak Vemi pun pake acara nyasar
  • makan malem di the Bakery Cafe, disambung nasi gorengnya Kak Vemi. mmmm... enaaaaaak...
Beauty is in the eye of the beholder, begitu kata orang. Jadi suka-suka si beholder buat bilang yang mana yang cantik dan yang mana yang ngga cantik (pantesan aja ya, Sang Pencipta bilang semua ciptaannya baik... Hehehe, peace...).

Nah, kalau beholder-nya gue, maka gue bakal bilang kalau terlalu banyak pria ganteng dan perempuan cantik di Nepal. Anak kecil, remaja, sampai separuh baya pun banyak banget yang masuk kategori beautiful gue. Mau yang agak-agak India, agak-agak Cina, agak-agak mirip gue, agak-agak Indo, bejibun deh! Dan, kalau beholder-nya adalah orang Nepal sendiri, mereka mungkin bakal bilang kalau semua kegantengan dan kecantikan di mata gue itu biasa-biasa saja buat mereka.

Mirip dengan gue yang menganggap sinar matahari sepanjang tahun di negeri gue adalah biasa-biasa saja; hidup tanpa pernah mengenal bandh adalah biasa-biasa saja; air bersih selalu tersedia melimpah buat mandi, minum, buang air, dan segala tetek bengek yang mencurahkan air adalah biasa-biasa saja; setiap hari keluar dari rumah yang ber-AC, ke dalam taksi yang ber-AC dan masuk kantor yang ber-AC lalu nongkrong di mall yang ber-AC adalah biasa-biasa saja; jalan kaki di pinggir jalan tanpa takut dicium sepeda atau sepeda motor atau mobil gila adalah biasa-biasa saja; punya pantai yang bersih dan gunung yang hijau dan danau yang luar biasa luas adalah biasa-biasa saja.

Beauty is in the eye of the beholder, betul. Tapi gue pikir gue harus belajar melihat sisi indah dari segala sesuatu: dari kesemrawutan sebuah kota bernama Kathmandu, dari kekacrutan sebuah megapolitan bernama Jakarta, dari jorok-joroknya cara hidup sebagian besar orang Kathmandu, dari bengis liciknya sebagian besar orang Jakarta, dari teman gue yang doyan banget mengeluh, dari hidup gue yang makin lama makin ngga terstruktur...

Wednesday, June 04, 2008

Thursday, May 29, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Part 3)

  • bandh, bandh, bandh... pindahan ke rumah Kak Vemi
  • oooo, kaya gini rasanya tinggal di kawasan expat
  • makan siang di lazy ringo
  • jalan-jalan di jawalakhel
  • ternyata jawalakhel handicraft center=tibetan refugee camp
  • gue beli baju tibet doooong.... kata bang google, ternyata namanya chhuba
  • nyobain naik tuk tuk-nya nepal: kenapa semua orang angkat tangan yah?
  • ke pertemuan orang Indonesia dengan duta besar; banyak juga orang Indonesia di Nepal...
http://en.wikipedia.org/wiki/Bandh

Bandh, originally a Hindi word meaning 'closed', is a form of protest used by political activists in some countries in South Asia like India and Nepal. During a Bandh, a large chunk of a community declares a general strike, usually lasting one day.

Often Bandh means that the community or political party declaring a Bandh expect general public to stay in their homes and strike work. Also all the shopkeepers are expected to keep their shops closed and the transport operators like buses and cabs are supposed to stay off the road and not carry any passengers. All this is expected to be voluntary, but in many instances people are terrorized into participating in a Bandh. There have been instances of large metro cities coming to a standstill.

Bandhs are powerful means for civil disobedience. Because of the huge impact that a Bandh has on the local community, it is much feared as a tool of protest.

Bandhs have been criticized because of the disruption of everyday life caused by them. The Supreme Court of India has banned bandhs in 1998, but political parties still organize them. In 2004, the Supreme Court of India fined two political parties, BJP and Shiv Sena for organizing a bandh in Mumbai as a protest against bomb blasts in the city. The state with the maximum Bandhs in India is West Bengal where the average number of bandhs per year is 40-50 (ranging from a couple of hours to a maximum of 2 days per bandh).

A bandh is not the same as a Hartal, which simply means a strike: during a bandh, any business activity (and sometimes even traffic) in the area affected will be forcibly prevented by the strikers.

---------
Menurut gue, apapun alasannya, bandh adalah bukti keegoisan sekelompok orang. Dan gue merasa sangat beruntung bahwa negeri gue ngga kenal yang namanya bandh. Okelah, kalau negara dalam keadaan darurat, berlakukan jam malam. Atau, kalau kekerasan mulai tak terkendalikan, perintahkan seluruh warga berdiam di dalam rumah masing-masing. Tapi kalau karena seseorang terbunuh lalu seisi kota "ditutup", toko-toko tutup, restoran juga tak buka.... Menurut gue, dari lubuk hati yang paling dalam, itu benar-benar sinting. Belum lagi ditambah transportasi umum dilarang beroperasi di dalam kota. Gimana orang miskin ngga tambah miskin...

Berkali-kali gue bilang sama orang Nepal: you have a great country here, if only without the bandhs... Dan gue sering dibikin bingung sama jawaban orang Nepal tulen yang menyiratkan seakan-akan kalau bandh dilakukan karena seorang penting terbunuh, maka hal itu saaaangat wajar. Berdasarkan akal sehat gue, kalau pembunuhan seseorang bisa jadi alasan dilakukannya bandh, mustinya setiap hari ada bandh. Orang penting atau tidak, nyawa setiap manusia kan sama berharganya!

Teman-teman gue bilang, bandh yang gue alami ini adalah bandh pertama dalam dua tahun terakhir. Duh, mesti yah, ada  bandh tepat di hari yang sama gue lagi ada di Kathmandu. Yah, siapa yang bisa melawan hidup?

Wednesday, May 28, 2008

Negeri di Awan yang Bikin Gue Dag Dig Dug Ngga Keruan

Cerita dari Atap Dunia (Part 2)

  • mountain flight: kecantikan tak terkatakan
  • sarapan di cafe Nyatapola: difoto wartawan. suit suiiiit... kapan lagi jadi bintang? (kayanya sih wartawan, soalnya pake kamera keren dan pake tripod segala:D)
  • Bhaktapur durbar square: durbar square paling cantik dan paling terawat (tapi bayar masuknya mahal, hiks)
  • jalan-jalan sampe masuk kampung di Bhaktapur
  • international museum day: masuk museum di Bhaktapur gratis, dikalungin bunga, lagi! (ssst, ini pertama kalinya seumur hidup gue loh gue dikalungin bunga)
  • mereka ngotot: I must be a Nepali
  • naik taksi ke Patan: pake ada jalan ditutup lagi, terpaksa muter lewat perkampungan
  • makan siang di Taleju Restaurant & Bar, view-nya perfecto!
  • Patan durbar square: lagi banyak festival... dan temple-nya buaaaanyaaaak
  • international museum day: tapi masuk museumnya tetep bayar dan ga dikalungin bunga lagi
  • nunggu Mbak Ully di Cafe de Patan. lemon lashi-nya enaaaaak
  • hhhh  hhhh hhhhh, jauh juga jalan kaki ke rumah Mbak Ully
Bangun pagi-pagi bukan kebiasaan gue, tapi kalau bangun pagi-pagi buat liat Everest sih tiap pagi juga gue mau. Dan gue jadi bertanya-tanya, apakah arti kecantikan yang sesungguhnya? Bahkan Everest dalam keangkuhan dan salju abadinya pun terlihat luar biasa molek. Gue kembali mengalami kebodohan sesaat, sejenak hilang akal, seperti yang selalu gue alami setiap kali menatap keindahan yang gue, dengan keterbatasan kecerdasan kata-kata gue, ngga sanggup ceritakan atau gambarkan.

Seandainya gue pelukis, atau penyair, atau komponis, mungkin keindahan puncak-puncak gagah perkasa berbalut salju putih dan beralaskan awan itu akan menginspirasi gue menciptakan karya yang sama cantiknya. Tapi gue bukan seniman, gue cuma bisa terbengong-bengong dari jendela pesawat kecil Buddha Air dan menyerukan pujian gue untuk arsitek alam semesta, yang sungguh piawai memahat kecantikan.

Kesimpulannya, gue yang memang dasarnya melow, jadi tambah mellllloooooooow. Cantiknya, cantiknya, dan cantiknya.... Dan karena hari itu dimulai dengan rasa terpesona, sepanjang hari pun gue jadi terus-terusan terpesona. Jalan-jalan yang dihadang macet dan bikin taksi gue musti muter-muter keliling kampung ngga bikin hati gue susah. Makan siang yang tidak nikmat pun tidak menghilangkan rasa terpesona di hati gue.

Moral of the story: penting banget memulai hari dengan hal yang tepat. Besok pagi musti gue mulai dengan doa pagi yaaaa.

Kathmandu dan Orang Kathmandu

Tuesday, May 27, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Part 1)

  • jakarta macet bener yah, masa hampir 3 jam buat ke cengkareng doang... untung dianter Roma...
  • delay 3 jam di cengkareng
  • bete bete bete, connecting dari valuair ke silk air ternyata harus ngeluarin bagasi dulu
  • ngantuk dan lapar di changi
  • akhirnya, nemu pojokan tidur yang nyaman di changi!! tapi flight gue tinggal setengah jam lagi.. hiks
  • kathmandu, finally!
  • hwakakak... banyak bener cowok ganteng di kota ini yah...
  • makan siang di thakali kitchen
  • di travel agent: katanya, kalo kami mau trekking, than he will be our guide, as a bonus. omg...
  • buset, jualan sayur di depan temple!
  • naik riksha kaya raja di singgasana
  • ikutan penduduk kathmandu: nongkrong di salah satu temple (gaya, euy...!!)
  • pizza segede gaban di roadhouse cafe

Kalau gue pikir-pikir, ternyata gue memang ngga suka bercerita (mendeskripsikan sesuatu, entah itu benda atau kejadian) dengan tulisan. Gue lebih suka  berkata-kata dengan tulisan untuk menceritakan isi kepala gue atau isi hati gue, bukan hal-hal yang gue tangkap dengan mata gue. Karena itu juga, berat rasanya harus bercerita dengan tulisan panjang lebar. Jadi, gue putuskan buat menulis point-point jalan-jalan gue dan bercerita hanya tentang hal-hal yang ditangkap oleh pikiran dan hati gue.

Well, this could be the journey of my life. Being almost obsessed to go to nepal since years ago, I've never imagined this dream could ever come true. Hampir semua orang menanyakan hal yang sama: kenapa tertarik datang ke Nepal?  Maunya gue sih nanya  balik: kenapa ga tertarik datang ke Nepal? Nepal punya Himalaya, Nepal punya kota-kota tua yang seumuran dengan kota-kota di Eropa, Nepal punya budaya tua di mana waktu sepertinya berhenti berdetak, Nepal punya orang-orang berhati lembut (dan ternyata, Nepal punya kualitas wajah pria setara dengan kualitas wajah pria Italia.. kqkqkqkq). Well, memang, Nepal juga punya debu tebal, punya jalan yang  berantakan, punya bunyi klakson yang menjerit-jerit bikin sakit kuping, punya eek kerbau--eek anjing--eek burung di mana-mana, punya kemiskinan yang bahkan gue pun ngga tahan melihatnya, tapi itu kan sudah nature-nya dunia yang jatuh ke dalam dosa dari jaman Adam: ada yang baik ada yang buruk, ada yang cantik ada yang cacat.

Karena ini adalah perjalanan impian gue, maka gue ngga terlalu peduli dengan jalan-jalan yang berantakan, pasar yang bertebaran di antara kuil dan becak dan berseliweran sesuka hati. Kantuk dan lelah lenyap dan gue bersemangat 97 menyusuri jalan-jalan di sekitar thamel dan kathmandu durbar square. Dalam hati gue tereak-tereak: gue sampe juga di nepal, gue sampe juga. Hihihi. Dan gue menanti-nanti esok pagi, perjalanan dengan mountain flight: menatap Everest dari pesawat kecil Buddha Air. Yah, gue tau dirilah, mana sanggup gue mendaki gunung seperkasa Everest? Mau menatap Everest langsung aja usaha gue udah sebegini payahnya, hehehe. Lagipula, jangankan mendaki puncak Everest, mendaki sampai puncak Rinjani saja belum tentu gue ngga ambruk...




Sunday, May 18, 2008

Negeri di Awan

Delay tiga jam di Cengkareng dan tergubrag-gubrag dengan titipan bagasi dari teman gue bikin hari pertama gue di Kathmandu sedikit berantakan. Capek, capek, capek. Ngantuk, ngantuk, ngantuk. Bahkan kadang-kadang pengen murka sama teman perjalanan gue yang jarang mau ikut berpikir dan enggan menikmati nyasar-nyasarnya perjalanan yang hanya berbekal lonely planet nepal.
 
Siang itu berputar-putar di Thamel yang ribet bet bet bet menambah kejengkelan walaupun hari akhirnya ditutup dengan tidur yang nyaman di hotel ini, dengan fasilitas internet 20 menitan yang gratis. Belum lagi masih ada excitement: mountain flight besok pagi dengan Buddha Air.
 
Mountain flight: perjalanan tak terlupakan. Pertama kalinya seumur hidup gue terbang sedekat itu dengan atap dunia: Everest. Pilotnya (yang, alamak, ganteng buangeeeeet) menunjukkan langsung yang mana puncak everest dari sebegitu banyak puncak bersalju pada negeri di awan itu. Fuiiiiiih... tak terkatakan. Dan gue musti berhenti sekarang karena teman gue mau jemput untuk pindah hotel. Besok demo besar-besaran. Oh my God, semoga ngga terjadi apa-apa. Semoga.

Thursday, May 08, 2008

Beginilah Urutannya

Beginilah urutannya gue memulai hari:

  1. alarm bunyi jam 5.30 tapi gue nggak bergerak menjauh dari kasur sebelum jam setengah tujuh
  2. mandi, sarapan, dandan (yah... ngga dandan-dandan banget, lha wong selesai dalam 10 menit, itu sudah termasuk mengobrak-abrik rambut gue yang udah tambah jabrik)
  3. setengah teler naik ke bajaj, turun dari bajaj trus jalan dengan kecepatan flash menuju gedung gue yang jaaaaaauuuuuuh banget (believe me, beneran jauh) dari gerbang tempat bajaj keren gue boleh lewat
  4. masih terengah-engah, ngecap finger print di mesin absen, trus rebutan lift
  5. sampe di meja, buka laci, keluarin laptop, nyalain, colok kabel data, trus menghempaskan pantat di kursi gue yang udah mulai empuk (kan umurnya tuh kursi udah satu setengah taooooon... umurnya sama loh dengan masa dinas gue di kantor, kekekek)
  6. sambil nunggu loading, keluarin isi tas: tempat pensil, buku kecil yang isinya reminder hal2 kecil yang harus gue lakukan (tapi sebenernya tuh buku cuma gue keluar masukin doang dari tas, ngga pernah gue baca), handphone
  7. nyalain outlook, sambil nunggu retrieve e-mail kemaren (pan kemarennya gue dines ke luar kantor), gue matiin suara handphone. Kalo ngga dimatiin, tiap hp gue bunyi, gue pasti lompat saking kencengnya ringtone hp gue nyanyiin: IT IS WEEEEEELLL, IT IS WEEEEELL
  8. baca imel kantor di outloook
  9. baca imel di account gmail gue
  10. baca imel di account yahoo gue yang satu
  11. buka milis jalansutra, baca arsip yang menarik
  12. baca imel di account yahoo gue yang satunya lagi
  13. buka milis indobackpacker, baca yang kira2 menarik
  14. buka milis tamasyaclub, baca update (biasanya sih ngga ada, ini milis paling ngga aktif yang gue ikutin)
  15. bingung: sekarang ngapain yah? Baca garp risk review... nanti juga bisa; baca arsip koran di cyberlib.... paling isinya itu2 lagi, lebih seru acara gospot di rcti pagi2... mmmm... mmm.... belajar? Masa belajar lagi... baca ketentuan? Addddduuuuh tar aja kalo udah butuh.... ngapain dong ngapain dong ngapain dong....
  16. man, I hate my job.

Wednesday, May 07, 2008

Hanya Deretan Keberuntungan

Itulah hidupku: keberuntungan disambung keberuntungan, walaupun penyambungnya seringkali adalah air mata dan hati yang berdarah-darah. Begitulah aku memandang hidupku: kerja keras dan kepedihan berbuah manis karena disiram dengan keberuntungan. Dan hanya itulah yang aku inginkan dalam hidupku: mimpi dan harapan yang tak pernah mati karena keyakinanku juga tak pernah mati pada Pribadi yang tak pernah enggan melimpahiku dengan keberuntungan.

Beberapa orang menyebutkan berkah, yang lain menyebutnya rezeki, ada pula yang menyebutnya kasih karunia. Aku, aku lebih suka menyebutnya keberuntungan. Karena aku tak pernah menunggunya terjadi, aku hanya tahu itu pasti terjadi, pada suatu waktu, pada suatu tempat, entah di hidupku sekarang, atau di keabadian. Aku menyebutnya keberuntungan, karena buatku itu adalah kejutan-kejutan yang menggegap gempita hidupku. 

Sesungguhnya, apakah ada yang kumiliki yang kuperoleh karena aku layak mendapatkannya, yang aku peroleh bukan semata-mata karena keberuntungan? Hidup, cinta, karir, mimpi? Karena hanya itulah yang aku miliki dalam perjalanan panjang usiaku; dan hanya itu pula yang aku ingin miliki sepanjang usia yang akan datang dalam rengkuhanku.

Dan aku tak pernah malu walau seisi dunia bilang dalam segala hal aku hanya beruntung: tak pernah cukup baik untuk semua yang pernah aku dapatkan, hanya cukup berharga untuk menjadi biji matanya Yang Maha Kasih. 

Happy belated birthday to me, may I be a God-sent blessing to the world.

Wednesday, April 30, 2008

Tiga Puluh Tahun Lagi

Seperti apa ya, gue tiga puluh tahun lagi? Pertanyaan aneh, mengusik kepala gue yang terangguk-angguk karena kantuk di sela acara penghargaan masa bakti pegawai di kantor gue. Ada yang sudah kerja 15, 20, 25, dan yang paling lama 30 tahun. Ck ck ck ck... sampe ngga yah, gue, tiga puluh tahun "mengabdi" di tempat yang sama? Hmmm... di kantor yang lama, 3 tahun 10 bulan, dan gue sudah resah gelisah bahkan sebelum tahun pertama berakhir...

Hyaaa gue jadi bertanya-tanya aja, 30 tahun setelah hari ini, bakalan kaya gimana hidup gue. Punya suami kaya gimana? (itu kalau punya suami dan kalau masih punya suami di umur segitu). Punya anak ngga ya gue? Berapa orang? Udah pada jadi apa? Masih hidup semua ngga tuh anak-anak gue? Atau mungkin gue udah punya cucu ya? Huaaaaa gue jadi nenek! Bokap-nyokap gue gimana? Masih ada sama gue ngga di bumi yang fana ini dan ngliat cucu-cucu gue (kalo gue punya) beranjak dewasa?

Tiga puluh tahun lagi, mimpi-mimpi gue yang mana ya yang sudah kesampean? Jadi ngga gue sekolah ke Haas? Kalau jadi, berhasil ngga gue lulus dari sana? Apa gue enjoy di sana? Trus, gue bakal udah pindah kerja berapa kali yah? Atau barangkali gue udah jadi financial engineer ngetop? Atau mungkin gue pensiun dini dan buka toko buku yang ada bel di pintunya dan bunyi krincing-krincing tiap kali ada orang datang? Atau.... mungkin gue ngga pernah berangkat ke Haas dan malah bikin kedai kopi yang paling ngetop di Indonesia, tempat nongkrong orang-orang pinter yang ngomongin kenapa orang Indonesia hebat-hebat? Atau barangkali gue sukses dengan sekolah gratis gue, dengan fasilitas seyahud sekolah internasional, tapi gratis manis dan dibuka buat anak-anak miskin di negri gue? Atau... oh, gue gegap gempita dengan novel-novel gue yang jadi best seller?

Atau mungkinkah 30 tahun lagi gue ngga jadi apa-apa, ngga sampe ke mimpi gue yang mana pun, dan cuma jadi gue yang biasa-biasa aja seperti gue sekarang ini?

Gue harap, sepenuh hati, jadi apapun gue 30 tahun lagi, gue ngga menyesali hidup gue dan pilihan-pilihan gue. Gue harap, entah gue jadi orang yang gue selalu impikan atau sama sekali ngga mencapai hal-hal besar yang gue mau, gue bisa tetap puas dengan hidup gue dan menikmati puluhan tahun yang gue hidupi. Gue harap, kalau 30 tahun dari hari ini gue melihat perjalanan gue yang telah berlalu, gue bakal bisa bilang: hidup gue lengkap, perjalanan gue sempurna, dan gue sudah melalui pertandingan yang hebat. Dan gue juga harap, pada akhirnya gue bisa bilang yang Rasul Paulus pernah bilang: karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Amin.

PS: lagi eling nih gue...

Tuesday, April 29, 2008

Menunggu Mati

Kadang-kadang, segala sesuatu seperti hanya menunggu mati. Banyak fase dilalui, banyak jalan ditapaki, satu tujuan dikejar sepenuh jiwa, tapi kadang-kadang, hanya kadang-kadang, sepertinya itu hanya untuk menunggu mati.

Anjing-anjing menunggu mati.  Mereka  lahir dalam payah,  berlelah-lelah para induk menjaga hidup si muda, dan sepanjang hayat pula makhluk-makhluk itu menjaga hidup tetap dalam tubuh mereka. Tapi akhirnya mereka akan terbaring, menunggu mati. Atau termangu, memasrahkan tubuh disantap makhluk lainnya. Hanya menunggu mati.

Aku juga menunggu mati. Sama payahnya hidupku dengan hidup anjing-anjing yang menunggu mati. Sama berjuangnya menjaga warna hidup tetap indah, sama payahnya menjaga hati tetap penuh senyum. Tapi akhirnya, hanya menunggu mati.

--on search of the real meaning of life, of my half-hearted devotion to my Beloved Father--

Wednesday, April 09, 2008

Idola Cilik

Nah, itu dia nama acara TV (satu-satunya loh) yang selalu gue tonton belakangan ini. Gue bukan penggemar TV, nyaris ngga ngikutin acara-acara TV, dan ngga peduli juga ama acara-acaranya (walopun sore ini gue heboh sendiri nyari channel yang nyiarin gosip kristina dan suaminya yang bikin gw menggeram itu).

Pokonya, gw suka idola cilik. gw suka dan gw sukaaaaa.

Jagoan gw ada dua: kiki dan septian.

kiki: suaranya kereeeeeeeeeeeeeeeeeen. bikin gw merinding, berkaca-kaca, sampe termangu-mangu. there is a miracle: kiki IS A MIRACLE!!! prikitiw... saking keren dan kerennya tuh si kiki nyanyi, gw sampe yakin banget klo ada cowok nyanyi di bawah balkon rumah gw (balkon bow, walopun cuma sepetak teras di belakang kamar petak gw, kekekekek), dan nyanyi the way kiki nyanyi... wuiiiiiiiiiiiih gw langsung bilang I DO, I DO!!! wakakakak.

septian: paketnya kumplit. gaya oke, suara mantabs, tampang juga menjual. secara, gw kan ngefans ama suaranya glenn fredly dan si septian ini dijulukin glenn fredly wanna be... kekekekek... walopun alasan laen gw jagoin septian semata-mata karena alasan primitif: primordialisme. batak bow, batak... semua batak oke pasti gw dukung sepenuh hatiiiiiii. Padahal yah, gw dulu-dulu suka bete abis klo temen2 gw membanggakan kebatakannya. Apa coba hebatnya terlahir sebagai bagian dari suku batak? Yang hebat itu, kalo dengan sifat dasar dan kekuatan turunan orang batak, trus bisa jadi orang yang sukses! Punya kekerasan hati khas orang batak, trus jadi tahan banting ngadepin apapun, boleh deh banggain kebatakan. Punya prinsip yang bilang anak adalah harta termahal, trus berjuang sampe mati buat anak, paaaaaas banget buat berbangga hati. Tapi kalo bangga jadi batak cuma karena jadi batak? Omong kosong, boss!! Nah, gw jadi curhat gini.

Pokonya, hidup idola cilik! viva kiki! sukses septian! bravo juga dave hendrik (kekekek... bonus nih, gw ngefans jg sama dave hendrik klo dia ga lagi pake baju ya berenda-renda, dan kalo dia ga lagi ngjepit rambutnya, dan kalo dia ga lagi pake bros segede gaban).

Tuesday, February 26, 2008

MOGOK

mogok, mogok, mogok.
gue lagi mogok.
mogok nulis.
mogok mikir.
mogok kerja.
kadang-kadang juga mogok tidur.

mogoknya lebih parah daripada kopaja 19 yang paling butut.
tambah hari tambah parah.
tambah hari tambah macam-macam mogoknya.

mogok belajar.
mogok baca.
mogok jaim.
mogok konsentrasi kalo lagi diajak ngomong.
mogok beramah tamah.
mogok lari.
mogok nongkrong.
mogok ngejer diskon.
mogok nonton teater.
mogok jalan-jalan.
mogok poto-poto.

kayanya nyaris mogok segala sesuatu.

eh, eh, ada dua hal yang belum mogok:
gue belum mogok makan.
gue belum mogok browsing.

oh ya, belum mogok maen sudoku juga.

Friday, January 18, 2008

Sebel tapi Sayang

Kaya gitu tuh gue sama temen-temen gue: sebel2 sayang, bete2 kangen, gedek2 butuh, murka2 care... Paradoks yang ngga ada habis2nya. Mungkin bawaan sifat dasar gue yang emang belum pernah 100% sayang tanpa ada unsur gedeknya, ato 100% benci tanpa ada unsur pedulinya. Kadang-kadang, kalo abis murka ama temen2 gue, gue suka sumpah serapah: ngga lagi2 deh gue temenan ama mereka, ngga lagi2 deh gue cerita apa2 ama mereka. But, at the end of the day, ketika api amarah gue sudah padam, gue bakal balik lagi temenan ama mereka. Kekekek...

Hari ini gue dapet kartu "STAR" dari temen2 gue. Mereka ini yg paling sering gue amukin sebelum ujian gue (selaen ade gue, tentunya) dan yg paling ngeh juga kayanya betapa blink blink nya gue setelah gue lulus. Don't know whatta say but a bunch of thanks for bearing my sometimes unbearable attitude and a big big hug (from this small small lady) for the friendship that has always been offered to me.

--and thanks for the bag... buat nepal... yippppiiiiiiii---
masih mellow, abis buka plastik merah dr febre, rite, n berte

Thursday, January 17, 2008

A Reason

I woke up this morning with a sense of helplessness. Just feel that everything's wrong, that nothing can get me excited these days. Walking to my office -the one that I still can't make myself feel comfortable with- I had this thought of gratefulness. It's a long long time the last day I truly offer my prayers with sincere gratefulness. Then I said this simple prayer: "will you give me a reason to be grateful today? me, the long lost child still searching the right way home to my heavenly father..."

And He answered me right away. He, the one I often denied when things get unbearable and disapointment get insufferable, answered my simple ungrateful prayer offered in the most unacceptable way. I check my e-mail and have this e-mail I've been waiting since yesterday saying:

Congratulations! You passed the 2007 Financial Risk Manager® Examination.

Man!!! I passed my exam and soon have the right to add the magic "FRM" stuff behind my name!!! Since I know for sure that I'm not that smart, not that hardworker person people always assume me to be... then... well... then this is more than a reason to be grateful.


A shame on me, asking for a reason to be grateful while he always supplies me with everything I should have always been grateful for. Can't say better words than a mere thanks to my beloved Jesus: thanks for my life, for my beloved ones, for getting me safe and sound through  it all, for helping me passing this exam (I know this exam means nothing to you, Lord, but you understand that it means a lot to me, don't you?). Thanks to my beloved sister: you're always there, sist, how can I not love you? can't believe you're 5 years younger than me, feel like you're my older sister sometimes:D. Thanks to my mama: there's always a prayer for me, right, mama? Thanks to my friends in the office: you're the ones who had to suffer the worst of me, eh?

And finally, yes it all comes back to you, lord, for the glory of your name.

--lagi mellow.... gue udah nyaris punya FRM designation!!!!--

Wednesday, January 16, 2008

degdegdegdeg

sial sial.... gue deg degan setengah idup nungguin hasil ujian gue. di web dibilang bakal dikirim by e-mail tanggal 16 januari. lah ini, udah tanggal 16 januari jam 5.49, masih belum ada tanda2. tidakkah mereka tau resah dan gelisahnya gueeeeeeeeeee???? ga konsen nyiapin materi buat trening, ga tenang mikirin kerjaan yg numpuk2 ga ada abisnya. duuuu padahal kan news alert versi 16 januari (dikirim oleh pihak yg sama dgn yg ngadain ujian) udah gue terima dari 20 menit lalu.

huhuhuuuuu. gue deg degan....