Showing posts with label all about books. Show all posts
Showing posts with label all about books. Show all posts

Friday, January 12, 2007

Aku Pernah Dicintai...

Seseorang di amazon dot com bilang kalo buku ini terlalu sarat kekerasan. Setelah gue pikir2... mmm.. bener juga. Tapi tetep aja gue suka buku ini. Gue suka gambarnya, gue suka ceritanya, gue suka tokoh2nya. Gue suka Bull dan Lucy, gue suka boneka-porselen-berumur-seratus-tahun yang pernah pecah berkeping-keping, dan gue juga suka Sarah Ruth, termasuk Billy abangnya.

Tapi gue ga suka sama tokoh utamanya: Edward Tulane. Bisa-bisanya dia ga pedulian gitu sama orang2 yang sayang sama dia. Bisa-bisanya dia membalas kasih sayang yang begitu berlimpah ruah dengan ”so what, I never ask you to love me anyway”. Hih.

Tapi gue tetep ikut sedih ketika Edward Tulane menyesali kehilangannya. Iya, dia kehilangan semua yg dulu dia pernah punya tapi ga pernah hargai dan akhirnya dia berharap dia tidak pernah kehilangan semua yg dulu dia pernah punya tapi ga pernah hargai itu.. (buset… ini kalimat terpanjang yg pernah gue tulis seumur hidup gue:D).

Dan akhirnya, gue ikut meratapi keluh kesah Edward Tulane:

Aku pernah dicintai.

Aku pernah begitu dicintai.

Ya, aku pernah dicintai.

Catatan kecil dari The Miraculous Journey of Edward Tulane-Kate DiCamillo

Wednesday, January 10, 2007

MIMPI

Ini topik favorit gue. Kenapa? Karena mimpi yang bikin gue bisa melewati banyak hal, mimpi yang bikin gue mau maju terus walaupun ketidakpastian hanya selalu berganti dengan lebih banyak ketidakpastian.

Tapi belakangan banyak hal bikin gue resah. Ketidakpastian seringkali masih membangkitkan sebuncah harapan bahwa suatu hari kelak, entah kapan, ketidakpastian itu akan berujung pada mimpi yang gue tunggu-tunggu. Tapi justru krn ketidakpastian ini juga maka nggak pernah ada jaminan kalau mimpi gue akan sampai ke tangan gue. Atau jaminan bahwa gue bisa melihat mimpi gue dari kejauhan, seperti Musa yang masih bisa memandangi tanah perjanjian dari ketinggian gunung tempatnya menyerahkan nyawa. Atau jaminan bahwa kalau mimpi itu bisa gue genggam, gue bisa... yah gue bisa... apa ya? A little bit happier? A little bit more content about myself? A little bit more excited with life? Seperti yg org2 bilang… be careful of what you want, you may get it…

And yes, you may get it. You may get it and realized that it's a hell lot better if you left off without your dreams ever coming true. Hidup memang misteri. Seperti mimpi, hanya misteri.

Dan gue benci misteri.

Catatan kecil dari Dreams of My Russian Summers-Andrei Makine

Wednesday, November 15, 2006

Arai

aku jatuh hati pada arai. arai yang orang kebanyakan. arai yang wajahnya laksana patung muka yang dibuat mahasiswa-baru-seni kriya yang baru pertama kali menjamah tanah liat, pencet sana, melendung sini. arai yang wajahnya seperti hasil suntikan silikon dan mulai meleleh. arai yang gerak-geriknya canggung serupa belalang sembah.

 

aku berbagi ngilu dengan ikal ketika menjemput arai kecil yang sebatang kara. arai yang menunggu ikal dan ayahnya di depan tangga gubuknya. arai kecil yang mengapit karung kecampang berisi beberapa potong harta rombengan.

 

aku terpesona oleh semangat arai. arai yang bilang bahwa orang-orang miskin seperti dia dan ikal tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. arai yang bilang bahwa dia dan ikal harus bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi mereka. arai yang tak mau mendahului nasib. arai yang mati tanpa mimpi….

 

aku mengagumi kelembutan hati arai. aku mengagumi pengorbanannya untuk sepupunya ikal. sesaat seperti melihat adegan-adegan kecil dalam kite runner. aku mengagumi ayunannya memecah celengan hasil kerja kerasnya mencari akar agar mak cik punya modal membuat kue tak perlu meminta-minta beras lagi. aku mengagumi kerja-keras-banting-tulangnya agar jimbron, sahabatnya yang invalid, gagap, dan terobsesi pada kuda bisa berdekatan sesaat, cukup sesaat, dengan kuda hebat milik capo.

 

aku mau jadi arai.

 

--abis baca sang pemimpi, andrea hirata--

Tuesday, September 26, 2006

Ada hati, anak-anak, yang tidak pernah sembuh setelah hancur. Atau kalaupun sembuh, hati itu menyembuhkan diri dengan cara yang aneh dan tak wajar, seakan diperbaiki tukang yang asal-asalan. Begitulah nasib Roscuro. Hatinya hancur. Memungut sendok dan memasangnya di kepalanya, berbicara tentang balas dendam, hal-hal ini membantunya menyatukan hatinya kembali. Tapi, malang, hatinya bersatu tapi tidak normal.

-The Tale of Desperaux,

Kate DiCamillo-

Thursday, September 01, 2005

PAULO COELHO

Why do I fall in love with Paulo Coelho? It's just a matter of reasoning. A very different one from the ones that made me fall for Dostoyevsky, or Seno Gumira Adjidarma, or Erich Kastner,or Philip Yancey, or Remy Sylado or Roald Dahl or a million other names I'd better not mention here to save the space. Well, I'm not trying to say that I don't  love those guys as well. I love Dostoyevsky for his sharpness in decribing a struggling soul that make me think of a human being as a long list of pros and contras. I'm crazy about Seno Gumira Adjidarma for his romantic style and tender words. I will go all over the world just to read more of Erich Kastner because he took me into a journey of friendships and love. I adore Philip Yancey for accompanying me through the dusty and winding road of being a so called devoted christian. I'm at the same time irritated and astonished by the way Remy Sylado tells his stories. I am heel over head for stories from Roald Dahl: how I love Charlie and the Chocholate Factory that took me into craziest of imagination when I have very little of it, for example.

But why exactly did I fall for Paulo Coelho? This old and fabulous extraordinary man astonished me since the first time I knew him, which was only a couple of months ago. He writes from the heart. His writings are not the kind of writings that make me think of something or remind me of something or make me want to be something. He's just being so damn honest: admitting things that somehow sometimes I forget to admit or choose not to admit. He talks about ordinary things, nothing spectacular; only ordinary things that keep you human in this unhumanly world. I found myself wondering what in the world make this old Paulo Coelho can write those kinds of words about friends, friendships, treasure, love, dreams, God, disappointments, happiness.

I love the way he make me feel human, the way he seems to be able to look right into my mind. It's like hearing a beloved old friend telling you: "Yes, I know how it feels and I'm pretty damn sure that sometime it's just unbearable. It's not easy, but it's lovely; or at least it's gonna be lovely--depends on how you look at it. I've been there. Please, go through, don't stop now." But what I love most is that he never, and I mean never, tell me what to do next. He never, and I still mean never, try to show how he masters everything, or something. Isn't it make him more and more lovable?

Well, I'm not worshipping this Paulo Coelho. He's just a man, by the way. And by experience, everybody will agree that an ordinary man wlll never be perfect. He's no prophet to me, no god, no angel, no hero. Just a man. But I'm really really really falling for him.

19 Aug - 1 Sept 2005
**gile, susah ya jreng, nulis pake inggris:D**

Tuesday, May 03, 2005

KEPERCAYAAN

I.
Seperti yang selama ini selalu terjadi, saya adalah pengagum kombinasi wajah yang menarik dan otak yang cerdas. Karena itulah saya langsung terpesona oleh gadis itu: cantik dan cerdas. Bahasa Perancisnya yang indah bikin saya tak mampu berkata-kata dan wajah cantiknya seperti menghisap seluruh sudut pandang saya.

Mungkin itu juga sebabnya mengapa saya tidak menyadari sesuatu yang tak biasa pada tubuhnya. Kali kedua saya bertemu dengannya, tak sengaja saya memandang lengan kanannya yang disandarkan di meja. Dan saya membeku. Lengan kanannya hanya kira-kira tiga perempat panjang lengan kirinya dan di ujung lengan yang pendek itu hanya ada seonggok daging menyerupai telapak tangan bayi; jari-jarinya begitu pendek, lebih mirip jari kaki. Semakin lama saya perhatikan, akhirnya saya mengerti mengapa saya tidak menyadari hal itu ketika pertama kali saya bertemu dengannya: gadis itu lebih sering melingkarkan lengan kanannya di pinggang. Dan saya bertanya: apakah kedua tangan saya menghasilkan lebih banyak dari kedua tangannya?

II.
Beberapa minggu terakhir, saya mencoba jenis petualangan baru: berdesak-desakan dalam kereta ekonomi supaya bisa tiba di rumah lebih cepat dan punya waktu lebih lama untuk persiapan ujian-ujian saya. Kadang kereta api cukup bersahabat dan menyisakan ruang yang bisa dikatakan nyaman untuk tubuh mungil saya. Dan kalau posisi saya cukup nyaman, saya juga bisa melihat kiri-kanan-depan-belakang; saya bisa memperhatikan orang-orang dan peluh keluh keringat mereka. Pada saat-saat seperti itulah saya melihat pria itu. Dia berdiri tepat di sebelah saya, tapi menghadap ke arah yang berlawanan dengan saya. Saya merasa ada yang tak biasa pada caranya menatap ke luar jendela. Tapi ternyata itu bukan caranya menatap, tapi matanya. Bola mata kirinya nyaris keluar -keluar, dalam arti harafiah.

Mata kirinya rusak. Mungkin lebih baik saya katakan begitu karena saya tak bisa menggambarkannya. Mata kirinya begitu rusak sampai-sampai saya tak punya cukup keberanian untuk menatapnya berlama-lama. Dan saya melihat ke cermin, memandang mata saya yang menurut saya terlalu sipit dan sempit. Apakah kedua mata saya menghasilkan lebih banyak dari kedua mata pria itu?

III.
Saya selalu tertarik pada bocah-bocah perempuan berambut keriting. Mungkin karena itu mengingatkan saya pada diri saya sendiri. Mungkin juga karena semakin lama saya semakin menyukai rambut keriting saya. Entahlah. Tapi, yang pasti, tawa dua bocah perempuan berambut keriting di pinggiran jalan di daerah Slipi itu seperti mengundang saya untuk tertawa bersama mereka.

Rambut mereka kotor, begitu kotor. Dan warnanya merah karena terlalu sering terbakar matahari. Pakaian mereka kumal, dekil, buruk, tanpa alas kaki. Saya tidak pernah mengingat diri saya sekotor itu. Tidak pernah. Mama saya tidak akan pernah membiarkan saya sekotor itu. Dan mereka mungkin tidak pernah menerima semua kesempatan yang saya punya. Saya jadi termangu, apakah semua kesempatan yang saya punya membuat saya benar-benar menghasilkan hal-hal berarti yang lebih banyak daripada mereka?

IV.
Kadang-kadang, saya punya terlalu banyak hal untuk dikeluhkan. Terlalu banyak. Memang selalu ada ruang untuk merasa senang dan benar-benar bersyukur. Tapi kadang-kadang itu terlalu sedikit. Ya, terlalu sedikit. Tapi hidup adalah kepercayaan; saya dipercaya untuk menerima segala hal yang saya terima dalam hidup saya, saya dipercaya untuk menerima kesempatan-kesempatan yang saya dapatkan. Dan semoga saja masih ada waktu untuk menjadikan kepercayaan itu memang sungguh layak diberikan pada saya.

21-22 Maret 2005
*Catatan kecil dari The Purpose Driven Life (Rick Warren)--baru sampe bab 5 sih... hehe...*