Showing posts with label mimpimimpi. Show all posts
Showing posts with label mimpimimpi. Show all posts

Tuesday, August 05, 2025

Kembali

Dua hari lagi aku akan kembali menjadi budak korporat, setelah hampir lima tahun menjadi budak akademis. Aku tak tahu apa yang kurasa, apa yang kuharapkan, apa yang kubayangkan. Masih banyak yang ingin kulakukan: hal-hal yang sebelumnya telah kurencanakan untuk kulakukan dalam lima tahun terakhir yang tak mungkin kulakukan sebagai budak korporat.

Dua hari lagi aku akan kembali menjadi budak korporat. Mungkin aku tahu pasti apa yang aku rasa, apa yang kuharap, apa yang kuingin, tapi aku terlalu takut kecewa. Mungkin aku membiarkan diriku melayang dalam kekosongan untuk menjaga hatiku hancur berkeping karena terluka. Mungkin aku tak pernah ingin kembali. 

Dua hari lagi aku akan kembali menjadi budak korporat. Yang dapat kulakukan sekarang hanya menarik napas dalam, sedalam-dalamnya, menutup mataku, dan memanjatkan doa tanpa kata-kata. Karena Tuhan mengerti segala bahasa, bahkan bahasa air mata.

Tuesday, June 10, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Bagian Terakhir: Wall of Fame)

Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada (lagi noraaaaak):

  1. Bapa tersayang yang sudah ngasih kesehatan, kekuatan, keamanan, dan uang yang cukup:D
  2. Bapak dan Mama yang pengertiaaaaaaaaaaan banget, ngga ribet nanya-nanya kenapa putri tercinta pengennya selalu ke tempat yang ngga jelas
  3. Ibu dan Bapak bos yang sudah ngasih cuti (niat gue mau melas-melas, tapi ternyata dari lubuk hati yang paling dalam emang melas beneran...)
  4. Mbak dan Mas yang berkenan mencopot gue dari tim audit terakhir
  5. Shinta yang udah mau jadi teman perjalanan gue (walopun kita sering ribut-ribut juga yah, Shint, tapi gue pikir-pikir kalo bukan karena elo mau pergi sama gue, ngga bakalan loh gue kejadian kemaren itu berangkat:D)
  6. Kak Vemi, yang udah berbaik hati jadi tempat tumpangan (tidur dan makan!!!) selama dua malam... (Upahmu besar di sorga loh, Kak:D). Anytime Kakak ke Jakarta ato Bandung, gantian gue yang jadi host yaa
  7. Mbak Ully, Mas Budhi, Nesa, dan Ezra, buat semua info dan keramahan dan kamar buat tidur siang dan perkenalan dengan Jyoti (hwakakak) dan kesempatan buat baby sitting (kapan lagi, coba, baby sitting in Kathmandu)
  8. Ibu Phoebe (bener kan yah, nulisnya begini?) dan Pak Sam, buat sarapan bersama dan ngobrol-ngobrolnya di sore-sore habis ujan di hari kami terjebak bandh--truely an inspiration of a christian couple
  9. Abang tukang dayung di Pokhara, yang bikin boating di Fewa lake jadi sulit dilupakan... bow, didayungin sambil disetelin lagu mellow... kapan lagi coba!!
  10. Gitta, yang udah ngajarin gue bahasa Nepal
  11. Mbak yang sepesawat ama kita bolak-balik Singapore -Kathmandu: an inspiring travelller, bikin gue ngiri pengen punya cuti sebanyak dia, temen jalan sebanyak dia, dan yah, duit sebanyak dia tentunya. Hwakakak
  12. Mbak dan Mas di hotel; abang supir taksi di Kathmandu, Pokhara, Singapore, dan Jakarta; tentara yang jagain temple di Bhaktapur dan di Kathmandu; abang supir riksha yang dua kali nglipet gue; ade kecil yang nepu gue beli tas kecil di Patan (gue rela kok ditipu kecil-kecilan, tapi duitnya dipake yang bener yaa); ade-ade kecil teman baru gue di Boudhanath; pelayan ganteng di Koto Restaurant (asli, dia mirip banget ama Charlie, tapi versi bagusan sih.. teuteup..); dan lain-lain dan lain-lain dan lain-lain.
  13. Orang-orang yang ngga bisa gue sebutin satu persatu, tapi bikin perjalanan gue bener-bener memperkaya diri gue. Hidup jalan-jalan!:D

Cerita dari Atap Dunia (Part 8)

  • Pak Sam dan Bu Phoebe nyamperin kita ke hotel: bersepeda beriringan mereka, dari Patan ke Thamel... cieee... romantis bow!
  • Sarapan bareng Pak Sam dan Bu Phoebe di seberangnya Everest Steak House (gue ngga inget namanya, cuma inget bahwa kami liat Everest Steak House masih tutup dan di seberangnya ada tempat sarapan yang sudah buka)
  • Off we go to Tribhuvan International Airport
  • Wah, cara minum dari dispensernya kaya gitu yah: ada gayung buat tempat minum rame-rame
  • Selamat tinggal, Nepal... I'll be back!!!
Meninggalkan sesuatu kadang-kadang menyenangkan, kadang-kadang menyedihkan, kadang-kadang keduanya. Buat gue, meninggalkan Nepal adalah keduanya. Sedih, karena ada banyak tempat, ada banyak peristiwa, ada banyak orang yang belum sempat gue kenal, belum sempat gue temui. Sedih, karena gue belum puas mereguk semuanya, belum sempat menjejakkan telapak kaki mungil gue di punggung gunung-gunungnya. Sedih, karena gue masih ingin bersenang-senang dan melupakan pekerjaan gue.

Tapi senang juga. Senang, karena gue mau meninggalkan semua kekacrutan yang ngga gue mengerti (dan ngga pernah gue temui di negeri gue). Senang, karena akan terbangun dari mimpi yang melenakan dan kembali pada realitas hidup gue. Senang, karena akan bertemu kembali dengan orang-orang yang paling gue sayang. Senang, karena gue sudah siap merencanakan perjalanan selanjutnya.

Dan ternyata, yang paling menyenangkan adalah bahwa gue tau kapan gue akan meninggalkan Nepal. Alangkah menyedihkannya kalau gue ngga tau kapan gue harus meninggalkan sesuatu dan tiba-tiba, wuusss, dalam sekejap harus terjadi perpisahan. Setidaknya, kalau gue tau waktunya, gue akan lebih siap.

Atau malah lebih ngga siap?

Ini Juga Bikin Meleleh

Cerita dari Atap Dunia (Part 7)

  • Batal ke Sarangkot. Hujan!!! Again, kenapa hujannya mesti pas gue di Pokhara...
  • Ke World Peace Pagoda, pake acara trekking 15 menitan (halah, ini mah bukan trekking yah)
  • Biasa ngupi di mana? Starbucks, Coffee Bean, Pattiserie Francais, Kopi Phoenam? Gue dong... ngupi di warung sambil... mmmm..... bengong liatin deretan Himalaya yang jadi latar belakangnya Fewa Lake... Hati gue kaya mau meleleh...
  • Sarapan menjelang makan siang di Hungry Eye Restaurant & Bar
  • Rintik-rintik, tapi gue mau boating lagi (ngapain lagi, coba?)
  • Belanja lagi: tempelan kulkas, kartu pos, dan teh
  • Terbang balik ke Kathmandu: gila, pesawatnya sama gede dengan yang buat mountain flight!
  • Acara pamit-pamitan dan ambil titipan barang: ke rumah Kak Vemi trus ke rumah Mas Budhi & Mbak Ully
  • Makan malem di Koto Restaurant: lagi, yang enak bukan cuma makanannya, tapi juga mas pelayannya... (enak diliat getooo)

Ada banyak cara untuk meleleh. Buat gue, gue pasti meleleh kalau menatap keindahan. Gue meleleh kalau menatap tebing tinggi berbatu-batu Lembah Harau yang kokoh menaungi hijaunya daun-daun pephonan. Gue meleleh kalau melihat eloknya danau maninjau di tengah kabut dari kelok ke  30-an-nya kelok 44. Gue meleleh kalau menatap hamparan pasir putih yang cantik luar biasa yang menjorok di tengah lautan di antara pulau-pulau di kepulauan karimun jawa. Gue meleleh ketika sambil mengambang di sungai cijulang gue menyedot kecantikan open cave yang mengungkunginya. Gue meleleh oleh kecantikan negeri gue.

Gue juga meleleh bersama hangatnya secangkir kopi di cangkir gue ketika gue menghirupnya sambil memeluk kecantikan Annapurna yang jadi latar belakang Fewa Lake. Gue meleleh ketika waktu seperti berhenti dan gue mencair bersamanya. Gue meleleh ketika menyadari bahwa gue tidak punya kata-kata yang cukup indah, pulasan warna yang cukup sempurna, untaian nada yang cukup merdu, untuk meneriakkan kecantikan yang gue lihat, dengar, dan cecap.

Gue meleleh oleh keagungan Allah gue.

Gue juga meleleh kalau menatap pria ganteng.

Hwakakak.

Friday, June 06, 2008

Abang yang Dayungin Gue...

Cerita dari Atap Dunia (Part 6)

  • Bangun subuh, jangan sampe ketemu taxi chaina lagi
  • Belum pernah gue bisa begitu seneng karena ketemu taksi.. hwakakak
  • Off we go to Pokhara... naek Golden Travel yang katanya tourist bus tapi di setiap perempatan ngangkut penumpang
  • Naik turun gunung, muter-muter gunung... delapan jam yang menyenangkan
  • Makan siang di jalan (pake voucher); duh, gue ngga ngerti rasa makanannya...
  • Plakatnya bilang: simpa & somdan... hwakakak, nama gue jadi berantakan
  • Nginep di Castle Guest House (managed by a christian family!), hotel murah yang gede, bersih, nyaman, dan kekeluargaan banget
  • Beli sepatu: cihuyyy, sepatu trekking bow! sekarang gue kaya anak gunung beneran
  • Makan siang di Lemon Tree
  • Boating berduaan sama abangnya: dua jam sampe matahari terbenam dan pake acara disetelin musik... romantis bener... hwakakak, kapan lageeee?
  • Makan malem kecil di Busy Bee: cafe banget:(
  • Belanja tas buat Mama dan kaos buat ade-ade gue
Gue sejenak kaget ketika tau bahwa gue dijemput oleh pastor jemaat lokal di Pokhara (janjinya mau dijemput anaknya yang punya hotel). Hyah, gue selalu berada di jemaat yang besar dan gue nyaris ngga kenal sama Pendeta gue (apalagi pendetanya, mana kenal dia siapa gue:D). Seperti bertemu dengan jemaat mula-mula, ya? Gembala dan jemaat jadi keluarga yang saling membantu. Apalagi ketika gue dikenalin: this is our brother... Inilah tempat yang bikin gue mendayu-dayu: sejuk, Bali banget (mengutip komentar temen gue), orangnya ramah-ramah dan tak lagi doyan meludah, dan rasanya tentraaaaam banget didayungin di danaunya. Belum lagi deretan tinggi pegunungan bersalju mirip kapas yang jadi latar belakang danaunya. Fuih...

Nesa Sesaat Sebelum Disenggol Sepeda...

Cerita dari Atap Dunia (Part 5)

  • bandh lagi... kali ini lebih gawat, taxi chaina alias ngga ada taksi
  • batal ke Pokhara gara-gara taxi chaina
  • gue nyaris nangis, duh... di negeri orang pake acara mau nangis:(
  • ikut les nepali-nya Mas Budhi dan Mbak Ully: kenalan ama Jyoti dan Deepak
  • gue sih lebih suka babysitting Nesa dan Ezra: seru!!!
  • ke Patan Durbar Square lagi bareng Nesa dan Mbak Ully: Taleju Cafe & Restaurant tutup juga, batal deh difoto dengan view Durbar Square
  • Makan siang di Cafe de Patan
  • Mau moto Nesa, tapi Nesanya malah jadi kesenggol sepeda... Maaf ya, Nesa.. Gila juga tuh sepeda, jelas-jelas ada anak kecil lagi nyebrang, ngga peduli sama sekali! Coba di sini, udah digebukin orang sekampung tuh!
  • Ngobrol-ngobrol ama Bu Phoebe dan Pak Sam: what a couple, what a couple...
  • Mmmm... gue masih kepikiran sepatu gue yang jebol sehari sebelumnya
  • Makan malem di rumah Kak Vemi (masakannya ennnaaaaaak...)

Hari ini adalah wisata dari rumah ke rumah. Alamak, di negeri sendiri, gue nyaris ngga pernah bertandang ke rumah orang, baik itu saudara maupun teman. Sifat anti sosial gue dibongkar paksa di Kathmandu. Huahahaha, it's funny how God make me do things I always hate to do.

Teman-teman yang rumahnya gue kunjungi mengatakan hal yang mirip: inilah Nepal, negeri di mana kau tak bisa berencana. Yah, akhirnya gue menemukan hal yang bakal bikin gue selalu ingat pada Nepal: ketika gue berjalan nyaris putus asa ke jalan besar, mencari taksi buat ke pool bis dan akhirnya harus pulang sia-sia, tenggorokan tercekat, dan mau murka pada kebodohan orang Nepal. Di pikiran gue, hanya orang bodoh yang tidak berontak ketika dipaksa berhenti melakukan aktivitas karena hal-hal yang tidak ada hubungan dengan dirinya seperti pembunuhan seorang penting, siapa pun itu.

Gue terbiasa dengan rencana. Setiap perjalanan gue selalu terencana, bahkan sampai jam dan tempat makan pun terencana. Menurut gue, gue selalu cukup fleksibel mengubah rencana gue tapi bukan mengubah total seperti mengundur keberangkatan gue satu hari ke Pokhara dan sebagai gantinya malah berwisata dari rumah ke rumah karena gue ngga punya pilihan lain. Dan itu terjadi saat gue hanya punya delapan hari di Nepal.

Di tengah air mata yang nyaris membanjir (gue masih cukup tau malu buat menahan tangis kecewa gue karena teman-teman gue sudah pasti lelah berceloteh berusaha menghibur gue), gue belajar berempati pada orang Nepal. Gue mengerti, dalam hidup memang banyak ketidakpastian, tapi buat orang Nepal, ketidakpastian itu jadi terlalu banyak; terlalu banyak untuk bisa gue mengerti, terlalu banyak untuk bisa gue tolerir.

Semoga segalanya jadi lebih baik dengan perubahan-perubahan yang sekarang sedang terjadi pada dunia politik di Nepal. Kalau biasanya gue menulis untuk Indonesia yang lebih baik, kali ini gue menulis juga untuk Nepal yang lebih baik. Amin.

Thursday, June 05, 2008

Boudhanath dan Kak Vemi dan Shinta dan Banyak Orang Lain

Cerita dari Atap Dunia (Part 4)

  • setengah 4 pagi udah jalan ke nagarkot
  • sunrise ngga dapet, tapi liat pantulan matahari di salah satu puncak bersalju
  • it's Buddha Jayanti!!! Boudhanath raaaaameeee banget
  • diajak kenalan ama anak-anak SD; dikiranya gue seumuran mereka kali yah, hihihi
  • umpel-umpelan di "angkot"-nya Nepal
  • oooh Kasthmandap tempatnya Kumari itu yang itu... kalo yang itu sih gue udah datengin kemarin lusa:D
  • beli teh buat oleh-oleh
  • cape banget, ngga jadi ke Swayambunath
  • jalan cuma segitu doang dari rumah Kak Vemi pun pake acara nyasar
  • makan malem di the Bakery Cafe, disambung nasi gorengnya Kak Vemi. mmmm... enaaaaaak...
Beauty is in the eye of the beholder, begitu kata orang. Jadi suka-suka si beholder buat bilang yang mana yang cantik dan yang mana yang ngga cantik (pantesan aja ya, Sang Pencipta bilang semua ciptaannya baik... Hehehe, peace...).

Nah, kalau beholder-nya gue, maka gue bakal bilang kalau terlalu banyak pria ganteng dan perempuan cantik di Nepal. Anak kecil, remaja, sampai separuh baya pun banyak banget yang masuk kategori beautiful gue. Mau yang agak-agak India, agak-agak Cina, agak-agak mirip gue, agak-agak Indo, bejibun deh! Dan, kalau beholder-nya adalah orang Nepal sendiri, mereka mungkin bakal bilang kalau semua kegantengan dan kecantikan di mata gue itu biasa-biasa saja buat mereka.

Mirip dengan gue yang menganggap sinar matahari sepanjang tahun di negeri gue adalah biasa-biasa saja; hidup tanpa pernah mengenal bandh adalah biasa-biasa saja; air bersih selalu tersedia melimpah buat mandi, minum, buang air, dan segala tetek bengek yang mencurahkan air adalah biasa-biasa saja; setiap hari keluar dari rumah yang ber-AC, ke dalam taksi yang ber-AC dan masuk kantor yang ber-AC lalu nongkrong di mall yang ber-AC adalah biasa-biasa saja; jalan kaki di pinggir jalan tanpa takut dicium sepeda atau sepeda motor atau mobil gila adalah biasa-biasa saja; punya pantai yang bersih dan gunung yang hijau dan danau yang luar biasa luas adalah biasa-biasa saja.

Beauty is in the eye of the beholder, betul. Tapi gue pikir gue harus belajar melihat sisi indah dari segala sesuatu: dari kesemrawutan sebuah kota bernama Kathmandu, dari kekacrutan sebuah megapolitan bernama Jakarta, dari jorok-joroknya cara hidup sebagian besar orang Kathmandu, dari bengis liciknya sebagian besar orang Jakarta, dari teman gue yang doyan banget mengeluh, dari hidup gue yang makin lama makin ngga terstruktur...

Wednesday, June 04, 2008

Thursday, May 29, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Part 3)

  • bandh, bandh, bandh... pindahan ke rumah Kak Vemi
  • oooo, kaya gini rasanya tinggal di kawasan expat
  • makan siang di lazy ringo
  • jalan-jalan di jawalakhel
  • ternyata jawalakhel handicraft center=tibetan refugee camp
  • gue beli baju tibet doooong.... kata bang google, ternyata namanya chhuba
  • nyobain naik tuk tuk-nya nepal: kenapa semua orang angkat tangan yah?
  • ke pertemuan orang Indonesia dengan duta besar; banyak juga orang Indonesia di Nepal...
http://en.wikipedia.org/wiki/Bandh

Bandh, originally a Hindi word meaning 'closed', is a form of protest used by political activists in some countries in South Asia like India and Nepal. During a Bandh, a large chunk of a community declares a general strike, usually lasting one day.

Often Bandh means that the community or political party declaring a Bandh expect general public to stay in their homes and strike work. Also all the shopkeepers are expected to keep their shops closed and the transport operators like buses and cabs are supposed to stay off the road and not carry any passengers. All this is expected to be voluntary, but in many instances people are terrorized into participating in a Bandh. There have been instances of large metro cities coming to a standstill.

Bandhs are powerful means for civil disobedience. Because of the huge impact that a Bandh has on the local community, it is much feared as a tool of protest.

Bandhs have been criticized because of the disruption of everyday life caused by them. The Supreme Court of India has banned bandhs in 1998, but political parties still organize them. In 2004, the Supreme Court of India fined two political parties, BJP and Shiv Sena for organizing a bandh in Mumbai as a protest against bomb blasts in the city. The state with the maximum Bandhs in India is West Bengal where the average number of bandhs per year is 40-50 (ranging from a couple of hours to a maximum of 2 days per bandh).

A bandh is not the same as a Hartal, which simply means a strike: during a bandh, any business activity (and sometimes even traffic) in the area affected will be forcibly prevented by the strikers.

---------
Menurut gue, apapun alasannya, bandh adalah bukti keegoisan sekelompok orang. Dan gue merasa sangat beruntung bahwa negeri gue ngga kenal yang namanya bandh. Okelah, kalau negara dalam keadaan darurat, berlakukan jam malam. Atau, kalau kekerasan mulai tak terkendalikan, perintahkan seluruh warga berdiam di dalam rumah masing-masing. Tapi kalau karena seseorang terbunuh lalu seisi kota "ditutup", toko-toko tutup, restoran juga tak buka.... Menurut gue, dari lubuk hati yang paling dalam, itu benar-benar sinting. Belum lagi ditambah transportasi umum dilarang beroperasi di dalam kota. Gimana orang miskin ngga tambah miskin...

Berkali-kali gue bilang sama orang Nepal: you have a great country here, if only without the bandhs... Dan gue sering dibikin bingung sama jawaban orang Nepal tulen yang menyiratkan seakan-akan kalau bandh dilakukan karena seorang penting terbunuh, maka hal itu saaaangat wajar. Berdasarkan akal sehat gue, kalau pembunuhan seseorang bisa jadi alasan dilakukannya bandh, mustinya setiap hari ada bandh. Orang penting atau tidak, nyawa setiap manusia kan sama berharganya!

Teman-teman gue bilang, bandh yang gue alami ini adalah bandh pertama dalam dua tahun terakhir. Duh, mesti yah, ada  bandh tepat di hari yang sama gue lagi ada di Kathmandu. Yah, siapa yang bisa melawan hidup?

Wednesday, May 28, 2008

Negeri di Awan yang Bikin Gue Dag Dig Dug Ngga Keruan

Cerita dari Atap Dunia (Part 2)

  • mountain flight: kecantikan tak terkatakan
  • sarapan di cafe Nyatapola: difoto wartawan. suit suiiiit... kapan lagi jadi bintang? (kayanya sih wartawan, soalnya pake kamera keren dan pake tripod segala:D)
  • Bhaktapur durbar square: durbar square paling cantik dan paling terawat (tapi bayar masuknya mahal, hiks)
  • jalan-jalan sampe masuk kampung di Bhaktapur
  • international museum day: masuk museum di Bhaktapur gratis, dikalungin bunga, lagi! (ssst, ini pertama kalinya seumur hidup gue loh gue dikalungin bunga)
  • mereka ngotot: I must be a Nepali
  • naik taksi ke Patan: pake ada jalan ditutup lagi, terpaksa muter lewat perkampungan
  • makan siang di Taleju Restaurant & Bar, view-nya perfecto!
  • Patan durbar square: lagi banyak festival... dan temple-nya buaaaanyaaaak
  • international museum day: tapi masuk museumnya tetep bayar dan ga dikalungin bunga lagi
  • nunggu Mbak Ully di Cafe de Patan. lemon lashi-nya enaaaaak
  • hhhh  hhhh hhhhh, jauh juga jalan kaki ke rumah Mbak Ully
Bangun pagi-pagi bukan kebiasaan gue, tapi kalau bangun pagi-pagi buat liat Everest sih tiap pagi juga gue mau. Dan gue jadi bertanya-tanya, apakah arti kecantikan yang sesungguhnya? Bahkan Everest dalam keangkuhan dan salju abadinya pun terlihat luar biasa molek. Gue kembali mengalami kebodohan sesaat, sejenak hilang akal, seperti yang selalu gue alami setiap kali menatap keindahan yang gue, dengan keterbatasan kecerdasan kata-kata gue, ngga sanggup ceritakan atau gambarkan.

Seandainya gue pelukis, atau penyair, atau komponis, mungkin keindahan puncak-puncak gagah perkasa berbalut salju putih dan beralaskan awan itu akan menginspirasi gue menciptakan karya yang sama cantiknya. Tapi gue bukan seniman, gue cuma bisa terbengong-bengong dari jendela pesawat kecil Buddha Air dan menyerukan pujian gue untuk arsitek alam semesta, yang sungguh piawai memahat kecantikan.

Kesimpulannya, gue yang memang dasarnya melow, jadi tambah mellllloooooooow. Cantiknya, cantiknya, dan cantiknya.... Dan karena hari itu dimulai dengan rasa terpesona, sepanjang hari pun gue jadi terus-terusan terpesona. Jalan-jalan yang dihadang macet dan bikin taksi gue musti muter-muter keliling kampung ngga bikin hati gue susah. Makan siang yang tidak nikmat pun tidak menghilangkan rasa terpesona di hati gue.

Moral of the story: penting banget memulai hari dengan hal yang tepat. Besok pagi musti gue mulai dengan doa pagi yaaaa.

Kathmandu dan Orang Kathmandu

Tuesday, May 27, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Part 1)

  • jakarta macet bener yah, masa hampir 3 jam buat ke cengkareng doang... untung dianter Roma...
  • delay 3 jam di cengkareng
  • bete bete bete, connecting dari valuair ke silk air ternyata harus ngeluarin bagasi dulu
  • ngantuk dan lapar di changi
  • akhirnya, nemu pojokan tidur yang nyaman di changi!! tapi flight gue tinggal setengah jam lagi.. hiks
  • kathmandu, finally!
  • hwakakak... banyak bener cowok ganteng di kota ini yah...
  • makan siang di thakali kitchen
  • di travel agent: katanya, kalo kami mau trekking, than he will be our guide, as a bonus. omg...
  • buset, jualan sayur di depan temple!
  • naik riksha kaya raja di singgasana
  • ikutan penduduk kathmandu: nongkrong di salah satu temple (gaya, euy...!!)
  • pizza segede gaban di roadhouse cafe

Kalau gue pikir-pikir, ternyata gue memang ngga suka bercerita (mendeskripsikan sesuatu, entah itu benda atau kejadian) dengan tulisan. Gue lebih suka  berkata-kata dengan tulisan untuk menceritakan isi kepala gue atau isi hati gue, bukan hal-hal yang gue tangkap dengan mata gue. Karena itu juga, berat rasanya harus bercerita dengan tulisan panjang lebar. Jadi, gue putuskan buat menulis point-point jalan-jalan gue dan bercerita hanya tentang hal-hal yang ditangkap oleh pikiran dan hati gue.

Well, this could be the journey of my life. Being almost obsessed to go to nepal since years ago, I've never imagined this dream could ever come true. Hampir semua orang menanyakan hal yang sama: kenapa tertarik datang ke Nepal?  Maunya gue sih nanya  balik: kenapa ga tertarik datang ke Nepal? Nepal punya Himalaya, Nepal punya kota-kota tua yang seumuran dengan kota-kota di Eropa, Nepal punya budaya tua di mana waktu sepertinya berhenti berdetak, Nepal punya orang-orang berhati lembut (dan ternyata, Nepal punya kualitas wajah pria setara dengan kualitas wajah pria Italia.. kqkqkqkq). Well, memang, Nepal juga punya debu tebal, punya jalan yang  berantakan, punya bunyi klakson yang menjerit-jerit bikin sakit kuping, punya eek kerbau--eek anjing--eek burung di mana-mana, punya kemiskinan yang bahkan gue pun ngga tahan melihatnya, tapi itu kan sudah nature-nya dunia yang jatuh ke dalam dosa dari jaman Adam: ada yang baik ada yang buruk, ada yang cantik ada yang cacat.

Karena ini adalah perjalanan impian gue, maka gue ngga terlalu peduli dengan jalan-jalan yang berantakan, pasar yang bertebaran di antara kuil dan becak dan berseliweran sesuka hati. Kantuk dan lelah lenyap dan gue bersemangat 97 menyusuri jalan-jalan di sekitar thamel dan kathmandu durbar square. Dalam hati gue tereak-tereak: gue sampe juga di nepal, gue sampe juga. Hihihi. Dan gue menanti-nanti esok pagi, perjalanan dengan mountain flight: menatap Everest dari pesawat kecil Buddha Air. Yah, gue tau dirilah, mana sanggup gue mendaki gunung seperkasa Everest? Mau menatap Everest langsung aja usaha gue udah sebegini payahnya, hehehe. Lagipula, jangankan mendaki puncak Everest, mendaki sampai puncak Rinjani saja belum tentu gue ngga ambruk...




Sunday, May 18, 2008

Negeri di Awan

Delay tiga jam di Cengkareng dan tergubrag-gubrag dengan titipan bagasi dari teman gue bikin hari pertama gue di Kathmandu sedikit berantakan. Capek, capek, capek. Ngantuk, ngantuk, ngantuk. Bahkan kadang-kadang pengen murka sama teman perjalanan gue yang jarang mau ikut berpikir dan enggan menikmati nyasar-nyasarnya perjalanan yang hanya berbekal lonely planet nepal.
 
Siang itu berputar-putar di Thamel yang ribet bet bet bet menambah kejengkelan walaupun hari akhirnya ditutup dengan tidur yang nyaman di hotel ini, dengan fasilitas internet 20 menitan yang gratis. Belum lagi masih ada excitement: mountain flight besok pagi dengan Buddha Air.
 
Mountain flight: perjalanan tak terlupakan. Pertama kalinya seumur hidup gue terbang sedekat itu dengan atap dunia: Everest. Pilotnya (yang, alamak, ganteng buangeeeeet) menunjukkan langsung yang mana puncak everest dari sebegitu banyak puncak bersalju pada negeri di awan itu. Fuiiiiiih... tak terkatakan. Dan gue musti berhenti sekarang karena teman gue mau jemput untuk pindah hotel. Besok demo besar-besaran. Oh my God, semoga ngga terjadi apa-apa. Semoga.

Wednesday, April 30, 2008

Tiga Puluh Tahun Lagi

Seperti apa ya, gue tiga puluh tahun lagi? Pertanyaan aneh, mengusik kepala gue yang terangguk-angguk karena kantuk di sela acara penghargaan masa bakti pegawai di kantor gue. Ada yang sudah kerja 15, 20, 25, dan yang paling lama 30 tahun. Ck ck ck ck... sampe ngga yah, gue, tiga puluh tahun "mengabdi" di tempat yang sama? Hmmm... di kantor yang lama, 3 tahun 10 bulan, dan gue sudah resah gelisah bahkan sebelum tahun pertama berakhir...

Hyaaa gue jadi bertanya-tanya aja, 30 tahun setelah hari ini, bakalan kaya gimana hidup gue. Punya suami kaya gimana? (itu kalau punya suami dan kalau masih punya suami di umur segitu). Punya anak ngga ya gue? Berapa orang? Udah pada jadi apa? Masih hidup semua ngga tuh anak-anak gue? Atau mungkin gue udah punya cucu ya? Huaaaaa gue jadi nenek! Bokap-nyokap gue gimana? Masih ada sama gue ngga di bumi yang fana ini dan ngliat cucu-cucu gue (kalo gue punya) beranjak dewasa?

Tiga puluh tahun lagi, mimpi-mimpi gue yang mana ya yang sudah kesampean? Jadi ngga gue sekolah ke Haas? Kalau jadi, berhasil ngga gue lulus dari sana? Apa gue enjoy di sana? Trus, gue bakal udah pindah kerja berapa kali yah? Atau barangkali gue udah jadi financial engineer ngetop? Atau mungkin gue pensiun dini dan buka toko buku yang ada bel di pintunya dan bunyi krincing-krincing tiap kali ada orang datang? Atau.... mungkin gue ngga pernah berangkat ke Haas dan malah bikin kedai kopi yang paling ngetop di Indonesia, tempat nongkrong orang-orang pinter yang ngomongin kenapa orang Indonesia hebat-hebat? Atau barangkali gue sukses dengan sekolah gratis gue, dengan fasilitas seyahud sekolah internasional, tapi gratis manis dan dibuka buat anak-anak miskin di negri gue? Atau... oh, gue gegap gempita dengan novel-novel gue yang jadi best seller?

Atau mungkinkah 30 tahun lagi gue ngga jadi apa-apa, ngga sampe ke mimpi gue yang mana pun, dan cuma jadi gue yang biasa-biasa aja seperti gue sekarang ini?

Gue harap, sepenuh hati, jadi apapun gue 30 tahun lagi, gue ngga menyesali hidup gue dan pilihan-pilihan gue. Gue harap, entah gue jadi orang yang gue selalu impikan atau sama sekali ngga mencapai hal-hal besar yang gue mau, gue bisa tetap puas dengan hidup gue dan menikmati puluhan tahun yang gue hidupi. Gue harap, kalau 30 tahun dari hari ini gue melihat perjalanan gue yang telah berlalu, gue bakal bisa bilang: hidup gue lengkap, perjalanan gue sempurna, dan gue sudah melalui pertandingan yang hebat. Dan gue juga harap, pada akhirnya gue bisa bilang yang Rasul Paulus pernah bilang: karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Amin.

PS: lagi eling nih gue...

Thursday, January 17, 2008

A Reason

I woke up this morning with a sense of helplessness. Just feel that everything's wrong, that nothing can get me excited these days. Walking to my office -the one that I still can't make myself feel comfortable with- I had this thought of gratefulness. It's a long long time the last day I truly offer my prayers with sincere gratefulness. Then I said this simple prayer: "will you give me a reason to be grateful today? me, the long lost child still searching the right way home to my heavenly father..."

And He answered me right away. He, the one I often denied when things get unbearable and disapointment get insufferable, answered my simple ungrateful prayer offered in the most unacceptable way. I check my e-mail and have this e-mail I've been waiting since yesterday saying:

Congratulations! You passed the 2007 Financial Risk Manager® Examination.

Man!!! I passed my exam and soon have the right to add the magic "FRM" stuff behind my name!!! Since I know for sure that I'm not that smart, not that hardworker person people always assume me to be... then... well... then this is more than a reason to be grateful.


A shame on me, asking for a reason to be grateful while he always supplies me with everything I should have always been grateful for. Can't say better words than a mere thanks to my beloved Jesus: thanks for my life, for my beloved ones, for getting me safe and sound through  it all, for helping me passing this exam (I know this exam means nothing to you, Lord, but you understand that it means a lot to me, don't you?). Thanks to my beloved sister: you're always there, sist, how can I not love you? can't believe you're 5 years younger than me, feel like you're my older sister sometimes:D. Thanks to my mama: there's always a prayer for me, right, mama? Thanks to my friends in the office: you're the ones who had to suffer the worst of me, eh?

And finally, yes it all comes back to you, lord, for the glory of your name.

--lagi mellow.... gue udah nyaris punya FRM designation!!!!--