Friday, January 30, 2009

Masih tentang Mimpi

Aku menatapnya dengan sendu, pria separuh baya yang tampaknya telah melewati puncak tertinggi yang dapat dicapainya. Orang-orang yang lebih muda datang dan melampaui posisinya. Orang-orang yang lebih pintar datang dan melewati kehebatannya.

Aku menatapnya dengan sendu, dan memikirkan hari tuaku kelak. Kelak, ketika semua pencapaian telah habis dicapai. Akankah masih ada mimpi yang ingin digapai?

Aku menatapnya dengan sedu dan sungguh berharap masih banyak mimpi dalam hidupnya.

Aku sungguh berharap akan terus ada mimpi dalam hidupku.

Tuesday, January 20, 2009

Sepanjang Jalan Kenangan (2)

7. Jalan antara Sarinah Thamrin sampai Pintu Tol Bekasi Timur
Aku dan adikku menaiki bis kota ke Bekasi, untuk sambung naik bis umum ke Bandung. Jum'at sore, mendadak pula, tak mungkin bisa naik mobil travel lagi. Beberapa penumpang bis berkali-kali mencuri pandang padaku. Mataku merah dan tambah merah, menahan tangis dan tumpahan air mata ketika aku, dengan seluruh iman yang aku punya (yang sama sekali tidak banyak), memohon keajaiban. Mataku bengkak dan air mata yang ditahan mulai mengalir lewat hidung, ketika aku berusaha bernegosiasi dengan Tuhan: Tuhan boleh kurangi umurku dan menambahkannya pada umur Bapak. Aku memohon, berjanji, berkaul, meneriakkan semua kata yang terpikirkan olehku.
 
8. Jalan Holis
Aku menatap wajahnya, wajah yang begitu kucinta. Aku menggenggam tangannya dan menciumnya, tangan yang tak akan pernah kucium lagi. Aku membelai pipinya dengan sejuta sayang, pipi yang telah mendingin dan tak akan bisa lagi kuhangatkan dengan tangan kecilku. Aku mencium dahinya, pipinya, bibirnya, semua yang tak akan pernah lagi menantiku setiap kali pulang ke Bandung. Aku memeluk tubuhnya yang kaku dan berbisik di sela isakku, "Bapak tau kan, aku sayang banget sama Bapak? Bapak tau kan, aku sayang, sayang, sayaaaaaaaang banget sama Bapak?"
 
8. Jalan Pandu
Hujan deras saat itu, aku menutupi kepalaku dengan ulos Batak yang kupakai sejak dari upacara adat, kebaktian pelepasan, dan sampai di tempat itu. "Surga pun menangis," kata kerabatku. Hujan masih tambah deras ketika Sang Pendeta memulai melempar segenggam tanah ke atas peti jenazahnya. Setengah nyawaku seperti ikut hilang ketika tanganku merenggut segenggam tanah basah di samping kakiku, melemparkannya ke dalam lubang tempat tubuh kaku Bapak akan terus berdiam. Aku berbisik dalam dukaku yang paling dalam, "Tunggu aku, Bapak sayang. Aku akan cintai Tuhan yang kau cintai. Aku akan layani Tuhan yang kau layani. Aku akan senangkan hati Tuhan yang selalu ingin kau senangkan. Tunggu aku, Bapak sayang. Kelak, bila tiba pula waktuku, kita akan bernyanyi bersama lagi. Kita akan angkat pujian bersama lagi, menyorakkan nama Sang Penebus."
 
Bapak sayang, sepanjang jalan-jalan yang bisa kukenang, aku akan selalu mengingatmu. Sepanjang jalan-jalan yang mungkin akan kulupakan, aku juga mungkin akan melupakan sebagian kenangan tentangmu. Tapi aku berjanji, Bapak sayang, aku tak akan lupa pada warisanmu yang terbesar:: imanmu yang tak pernah berhitung dengan Tuhanmu.
 
Bapak sayang, aku sayang padamu, sungguh amat sangat sayang padamu.

Tukar Tambah

Hari ini gue merayakan berakhirnya penderitaan punggung gue, berkat laptop seberat dua koma sekian kilogram, ditambah buku catatan, payung, dokumen, modem, flash disk, dompet, dan handphone.

Hari ini gue merayakan berakhirnya penderitaan punggung gue, dengan datangnya laptop seberat satu koma sekian kilogram yang mungil dan imut.

Hari ini gue merenungi dimulainya penderitaan mata gue. Dengan layar sebegitu kecilnya, berarti tahun depan tebal kaca mataku akan bertambah. Rabun, rabun, dan tambah rabun...

Aku tak tahu mana yang lebih tertahankan: punggung yang ngilu atau mata yang tambah rabun.

Thursday, January 15, 2009

Kata-kata

kadang tak ingin berkata-kata
karena memang tak mungkin berkata-kata
karena tak ada kata yang bisa menyuarakan semua yang tertutup sunyi

kadang ingin meneriakkan berjuta kata
walau tak satu pun yang akan berarti buat siapa pun
hanya karena berkata-kata bukanlah diam tanpa kata-kata

kadang hanya ingin mengulang satu lirik
berkali-kali, berjuta-juta kali, sampai telinga dan lidah menolak mendengar dan berucap
untuk meneriakkan jutaan kata saat tak ingin berkata-kata

tapi saat ini hanya ingin berdiam
ingin bisa berdiam diri seperti bertahun-tahun lalu
ingin bisa meletakkan segalanya dan membiarkan yang terbesar mengambilnya
ingin bisa memaknai kata-kata sang bijak: diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!

Tuesday, January 13, 2009

Jerusalem

Israel, or Palestine depending on your politics, is one of the world's oldest travel destinations. Everyone from Moses to Mark Twain has dreamed of going there. The appearance of prophets seems to be dwindling and the Crusaders have long since hung up their swords and shields, but travellers still come in droves, almost magnetically, to this land still considered holy by countless millions. (www.lonelyplanet.com/israel-and-the-palestinian-territories)

Yes, many people has dreamed of going there. I did once. In fact, I even been thinking about going there this year. Been thinking of celebrating Easter in Jerusalem, the three of us: Bapak, Mama, and me (well, would like to take my sister and two brothers along but it would surely cost me a fortune). Last year, been talking about it to Bapak and he has prepared himself very well, with making a proper NPWP card and managing to own a decent map of the city (I found one in his drawer).

And yes, like Moses, Bapak had only been able to look at the city from a distance. Never would he step his foot on the city, never would he be able to offer his prayers at the holy temple. But I believe, I do believe, that he will get in the New Jerusalem with his beloved Jesus (and may I join them there: my beloved Bapak and my beloved Jesus).

Minutes before Bapak's gone, he sang this song along with my brother and Mama:
Oh Yerusalem kota mulia, Hatiku rindu kesana
Oh Yerusalem kota mulia, Hatiku kurindu kesana
Tak lama lagi Tuhanku datanglah, Bawa saya masuk sana
Tak lama lagi Tuhanku datanglah, Bawa saya masuk sana


Oh yes, I believe, that my dear Lord is taking Bapak to the New Jerusalem.

Monday, January 12, 2009

Sepanjang Jalan Kenangan

1. Sepanjang jalan Ciateul
Rumah pertama yang aku ingat. Bapak hampir setiap hari mengantar-jemput aku ke sekolah pertamaku, TK Elektrina. Kadang-kadang aku genggam kelingkingnya. Bapak tidak pernah menggenggam tanganku, tak pernah memegang pergelangan tanganku, tapi dia memberikan kelingkingnya untuk kupegang. Masih ingat, betapa mungil telapak tanganku dibanding tangan besarnya, tangan yang kelingkingnya kupegang dengan rasa percaya yang sepenuh-penuhnya pada kemampuan seorang ayah melindungi putri kecilnya dari segala hal yang mungkin terjadi dalam hidup. Setiap prosesi antar jemput itu, Bapak sering kelelahan menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang nggak penting, mendengarkanku berceloteh tentang apa saja. Ah ya, sampai usiaku dua puluh sembilan tahun, aku masih gemar saja berceloteh tentang apapun padanya. Dalam perjalanan liburan kami yang terakhir itu pun, masih saja aku berceloteh panjang lebar tentang hal-hal tak penting dan masih saja dia mendengarkan dengan perhatian yang tak terpecah.

2. Jalan Kepatihan
Bapak pernah berkata, dia mau ikut ke tempatku kebaktian setiap minggu. Berbulan-bulan sudah aku lebih suka mengikuti kebaktian di gereja Bethel dekat rumahku, dan bukan di gereja Batak yang adalah gereja masa kecilku. Bapak bilang, sekali-sekali dia mau ikut kebaktian denganku, mau lihat tempatku beribadah. Tak sekali pun protes keluar dari bibirnya. Tak sedikit pun dia permasalahkan perbedaan doktrin yang menganga lebar. Saat itu aku begitu yakin, dialah lelaki Batak paling baik hati yang pernah Tuhan ciptakan di muka bumi.

3. Jalan Cikapundung Timur
"Bapak tadi liat ada perpustakaan di Jalan Cikapundung," katanya. Itulah perkenalan pertamaku dengan perpustakaan daerah di kotaku, umurku masih enam tahun. Bapak mengajarkanku cara pergi ke sana, dengan bemo kala itu. Menunjukkan jalannya, mendaftarkanku di perpustakaan itu, membayar keanggotaannya, bahkan kadang-kadang membantu mengembalikan buku-buku pinjamanku kalau aku harus belajar atau les Matematika. Dia tau aku tergila-gila membaca. Dan aku tau membeli buku saat itu adalah suatu kemewahan, sesuatu yang jarang sekali bisa aku lakukan.

4. Jalan Asia Afrika
Dari perpustakaan daerah, untuk pulang ke rumahku harus berjalan kaki dulu ke jalan ini, barulah aku bisa naik angkot. Di jalan ini pulalah kantor redaksi Harian Pikiran Rakyat. Bapak sering sekali ke sini, dan aku sering pula diajaknya. Kadang memasang iklan, kadang mengambil koran bukti iklan, dan yang terakhir aku tahu, Bapak memasang iklanku yang mencari murid les privat. Selamanya, Pikiran Rakyat membawa arti dalam kepalaku.

5. Jalan di Belakang Savoy Homann
Savoy Homann ada tepat di seberang kantor redaksi Pikiran Rakyat, tapi baru setelah aku kuliahlah aku dan Bapak pernah memasukinya. Pikiran Rakyat memberiku beasiswa lewat kampus. Tidak besar jumlahnya, enam puluh ribu rupiah sebulan, selama satu semester, tapi lumayan kalau dibanding dengan SPP-ku yang empat ratus lima puluh ribu rupiah per semester. Sepulang upacara "pengesahan" beasiswa itu, aku dan Bapak bergandengan pulang lewat jalan di belakang Savoy Homann. Wajah Bapak berseri-seri, dan sayangku padanya bertambah berjuta kali lipat.

6. Jalan Dewi Sartika
Aku kelas tiga SMP, baru saja menerima NEM bayangan. Bapak datang untuk menerimanya, dan mengikuti rapat bersama orang tua murid lainnya. Seusainya, Bapak berkata, kalau ayah murid lainnya yang duduk di sebelahnya menanyakan NEM bayanganku. Ah, nilaiku dua kali lipat nilai putra bapak itu. Dia pun bilang pada Bapakku, "Anak Bapak mah enak yah, bisa masuk SMA mana aja itu," Bapak menceritakannya padaku, begitu saja, tak ada pujian, seperti biasanya. Tapi matanya berbinar, ada cahaya berkilat di sana. Senyumnya terkembang, ada kebanggaan di sana. Dan tiba-tiba aku tau untuk apa aku mau hidup. Umurku empat belas tahun saat itu, dan aku mengikrarkan janji yang terus berusaha kupenuhi: aku akan habiskan hidupku untuk membuat cahaya di mata Bapak selalu bersinar.

Tuesday, January 06, 2009

Mujizat Pertama di 2009

Buat gue ini mujizat, buat orang lain sih barangkali biasa-biasa aja. Peduli amat deh, yang penting kan yang menurut gue... hehehe...

Gue lagi merasa butuh-butuhnya, lagi merasa begitu pentingnya sering-sering berada di rumah keluarga gue di Bandung. Apa daya, gue kan ngantor di Jakarta, kota sumpek penuh tipu daya tapi jadi sumber uang buat gue. Lalu lalu, Bapak Bos gue tadi pagi datang ke meja gue. Gue udah curiga nih Bapak bakal ngasih dokumen dan bilang, "Kamu scan ini dulu yah." Habiiiis.... selama ini, entah kenapa, Bapak itu senengnya minta tolong scan dokumen itu sama gue. Biar pun ada orang lain, beliau tetep teriak panggil nama gue buat nge-scan. Pokoknya, Ndangse adalah spesialis scan dokumen buat Bapak itu. Aneh sih, tapi masih baguslah, at least Bapaknya tau kalo gue ada di ruangan itu.

Tapi ternyata beliau mendekati gue dan bilang, "Ndang, kamu lagi ada jadwal audit?"

"Nggak, Pak. Kalau sesuai jadwal mestinya baru mulai pertengahan bulan ini," jawab gue.

"Besok bisa ke Bandung?" tanyanya lagi.

Jreng. Ngga pake mikir, gue langsung jawab, "Bisa." Tapi lalu curiga. Pasti gue disuruh ngajar ACL software lagi deh. Pasti gara-gara yang spesialis IT pada ngga bisa (baca: ngga mau) disuruh ngajar deh. Dan dengan polosnya pula gue suarakan isi kepala gue, "Ada apa, Pak? Ngajar ACL ya?"

Ternyata oh ternyata Bapak itu menjelaskan bahwa ada 3 hari penyelesaian proyek pembuatan simulator bla bla bla. Pokoknya sesuatu yang lebih menarik deh daripada ngasih pelatihan software audit. Huhuy. Baik banget yah, Bapak itu? Mengerti banget kalo akhir-akhir ini minat gue cuma Bandung dan Bandung. Dan huhuy juga, baik banget yah Tuhan gue, awal tahun dikasih mujizat gini?

Secara, dompet gue juga udah tipiiiiiiiis banget. Dinas ke Bandung kan berarti recharge lagi, walaupun ngga banyak. Yah, bisa survive sampai akhir bulan deh. Dan gue seneng banget karena kemarin ngga ngomel pas adek gue tabrakan. Ngga ngomel walopun keluar duit banyak banget (asli, banyak banget, sampe pengen nangis pas bayarnya) buat bayar rumah sakit, bayar polisi (yang dengan kurang ajarnya ngancem-ngancem bawa ke pengadilan padahal adek gue korban dari satu mobil lain yang kabur seenak jidat), dan bayar perbaikan mobil yang jadi ditubruk adek gue dari belakang karena menghindari mobil satunya itu.

Bersyukur banget karena entah kenapa, gue yang jagoan ngomel ini kok ya ngga ngomel saat itu. Masih bisa bilang, bersyukur ada yang nolongin adek gue, bersyukur adek gue ngga kenapa-napa, bersyukur gue masih punya duit yang bisa dipake bayar ini itu... Eh, tapi belakangan gue omelin juga sih adek gue, si ceking gondrong berjenggot yang terus-terusan bilang ngga inget gimana kejadian tabrakan itu.

Tapi, all in all, makasih, Tuhan, karena gue masih bisa berterima kasih. Semoga sepanjang tahun ini gue bisa terus-terusan melihat hal-hal yang bisa gue syukuri. Itu aja permintaan gue. Satu lagi sih permintaan gue, tolong biarkan berat badan gue naik barang dua kilo lagi, asal penambahannya bukan di bagian perut.

Hehehehehe....

Abis Baca Blog Orang...

Tadinya mau biarin itu berlalu begitu aja, toh bukan masalah gue. Hidup gue juga penuh dengan masalah yang kaya benang kusut, ngga ketauan ujung pangkalnya dan ngga ketauan gimana caranya bisa terurai jadi benang lurus lagi. Kusutnya lebih-lebih dari kusutnya rambut keriting gondrong gw yang kalo bangun tidur dipaksa disisir malah bikin gue berurai air mata.

Tapi lalu teringat sama diri gue sendiri, bertahun-tahun lalu. Gue pernah merasakan hal serupa, memandang dengan cara serupa, bereaksi dengan cara serupa. Bukan peristiwa yang sama, mungkin, tapi efek yang ditimbulkannya mirip. Dan lalu gue teringat pada hal-hal yang bikin gue bisa melewati semuanya. Ngga terlalu sukses, mungkin, tetep aja jatuh bangun dan jatuh lagi lalu bangun lagi, begitu terus-terusan. Bedanya, sekarang kalau jatuh gue tau gue harus bangun lagi. Seperti kata seseorang, "a christian life is a series of falling downs and getting ups."

Dan apa yang bikin gue bisa melewati semuanya? Pertama, sahabat. Sahabat sejati yang mendukung gue pada saat-saat terburuk gue, pada saat gue memang terlalu buruk buat ditemani,sahabat yang tiap malam telepon gue cuma buat bilang, "there's a prayer for you." Persahabatan ini memang berakhir berantakan karena banyak kesalahan di pihak dia (dan di pihak gue, tentunya, it takes two to tango, right?). Kedua, doa. Ada orang-orang yang berdoa buat gue, baik karena emang kenal gue, karena kerja bareng gue, karena serumah sama gue, atau karena hal-hal ngga penting lainnya. Ketiga, kepercayaan. Kadang-kadang gue masih amazed, ada aja gitu orang yang mempercayakan tanggung jawab tertentu sama gue, secara gue kan moody pas (jaman dulu itu, mood-mood-an gue sejuta kali lebih parah dari hari ini, percaya deh!) dan gampang (dan emang bener-bener gampang) mengasihani diri sendiri dan kalau udah gitu pasti ngga becus ngapa-ngapain.

Dan gue bersyukur pernah ada semuanya itu dalam hidup gue, when I needed it most.

Jadi, karena gue tau banget gue belum bisa jadi sahabatnya (iyalah, kenal aja ngga) dan dengan demikian, belum bisa juga ngasih kepercayaan ama dia, maka malam ini gue mau berdoa buat dia. There's a prayer for you, young lady... The grace of the Lord is upon you.

Thursday, January 01, 2009

New Year Resolution

Apa ya?

Apa ya?

Banyak sih yang mau diresolusikan, tapi semuanya kelihatan nggak
realistis saat ini, saat aku menulis ini. Banyak yang mau aku capai
tahun lalu, banyak yang aku mau lakukan, banyak yang aku mau berikan
untuk orang-orang yang aku sayang. Sebagian berhasil, lebih banyak
yang menguap ke udara, dan temperamen melankolisku terus-terusan
bilang kalau salib yang kupikul selalu terlalu berat.

Jadi, tahun ini aku mau kembali ke titik nadir. Kembali menjadi bayi
yang belajar berjalan selangkah demi selangkah. Kembali belajar
mengasihi dengan kasih karunia. Kembali menjadi anak yang percaya pada
perlindungan Bapanya. Kembali menjadi gadis kecil yang berani
bermimpi. Kembali berlutut setiap kali aku merasa lemah, dan berlutut
pula setiap kali aku merasa berhasil. Kembali belajar berdiam diri di
tengah hiruk pikuk hidup.

Itu aja.

Iya, itu aja. Itu juga belum tentu bisa aku kerjakan.

Selamat datang 2009!