Ringan tapi menyudutkan. Seperti membaca pikiran gw sendiri...
Ini gw ambil dari milis favorit gw, pasarbuku
(http://groups.yahoo.com/group/pasarbuku/message/34803)
-----------------------------------
Oleh: Mula Harahap
Ketika saya masih berusia 5 tahun dan tinggal di Lorong Roma,
Kampung Sidorame, nun di kota Medan sana, maka ada satu permainan
yang sering saya lakukan bersama adik saya Elisabeth. Permainan
tersebut adalah hasil kreasi kami sendiri, dan hanya kami yang
mengetahui operasionalnya. Permainan tersebut kami namakan, "Melihat
Tuhan Yesus."
Pagi-pagi benar, sehabis bangun tidur, kami akan duduk di tangga
rumah dan mengarahkan pandangan ke langit biru. Bila kami
mengarahkan pandangan sedemikian rupa dan dalam waktu yang cukup
lama ke langit, maka akan tampaklah sosok-sosok transparan yang
menyerupai bumerang, sabit atau sayap capung yang bergerak
perlahan-lahan; dari kiri ke kanan, dari atas ke bawah atau dari
sudut yang satu ke sudut yang lain. Kemudian sampai pada satu titik
tertentu, sosok tersebut akan hilang dari pandangan.
"Kau lihatkah Tuhan Yesus-nya, dik?"
"Lihat, bang."
"Ada berapa Tuhan Yesus yang kau lihat?"
"Dua. Abang lihat berapa?"
"Satu. Nah, nah ini dia...Ehh, sudah hilang."
Begitulah, hampir setiap pagi kami betah duduk di tangga;
menghitung "Tuhan Yesus" yang bergerak-gerak di langit dan yang
kemudian, pada satu titik tertentu akan menghilang, lalu disusul
oleh "Tuhan Yesus" yang berikut.
Di kemudian hari, setelah saya bertambah besar, maka sadarlah saya
bahwa yang kami lihat sebagai Tuhan Yesus itu ternyata hanyalah debu
atau kotoran yang menempel di bola mata. Lalu, karena lendir yang
ada di mata yang belum dibasuh, maka kotoran atau debu itu akan
bergerak-gerak. Dan bila mata di arahkan ke langit, maka tentu saja
ia akan kelihatan seperti sabit, bumerang atau sayap capung. Tapi
ketika itu, tentu saja saya dan adik saya percaya benar bahwa yang
kami lihat itu memang Tuhan Yesus. Dan sebagaimana layaknya orang
dewasa, kesadaran melihat Tuhan Yesus ternyata juga memberikan
suasana damai dan sukacita kepada kami. (Setidak-tidaknya, selama 1
jam kami tidak perlu berkelahi sebagaimana biasanya yang
dilakukan oleh dua kakak-beradik. Dan ibu bisa melakukan
pekerjaannya dengan tenang...).
Lelaki Berjenggot dan Berjambang
Ketika saya masuk sekolah maka mulailah saya mengenal citra yang
lain dari Tuhan Yesus. (Saya bersekolah biasa di SD Kristen Immanuel
dan bersekolah minggu di HKBP Sidorame).
Saya rasa, citra Tuhan Yesus yang diperkenalkan kepada saya adalah
juga citra yang diperkenalkan kepada semua anak di muka bumi ini,
yaitu potret seorang lelaki berambut panjang, berkumis-berjanggut-
berjambang dan memakai jubah putih.
Potret ini ada di buku cerita-cerita Alkitab, ada di kartu dan ada
pula di lembar peraga. Kadang-kadang lelaki itu diperlihatkan duduk
di tengah kerumunan anak-anak. Kadang-kadang ia diperlihatkan
berdiri di tengah sekawanan domba. Kadang-kadang ia diperlihatkan
sedang berdoa dengan tangan yang terkatup dan mata memandang ke
langit.
Begitu meresapnya potret Yesus itu ke dalam pemahaman saya, sehingga
wajah itu jugalah yang muncul setiap kali saya berdoa memohon
sesuatu kepadaNya. (Dan sebagaimana halnya anak-anak, maka doa
permohonan saya tentu hanya berkisar di seputar bagaimana agar
hasil ulangan mendapat nilai tinggi, bagaimana agar saya
tidak "dikompas" oleh anak-anak di ujung jalan sana atau bagaimana
agar ibu jangan cepat mati).
Kadang-kadang ada saja kawan yang "berani" dan memberi tambahan
gambar kacamata di atas potret wajah itu. Tapi bagi saya perbuatan
kawan tersebut sungguh merupakan sebuah dosa besar. Dan saya yakin
ia pasti akan masuk ke neraka...
Sedemikian yakinnya saya akan wajah Yesus, sehingga ketika masih
duduk di bangku SD itu juga, "iman" saya pernah guncang karena
fenomena seorang gila yang sering menyelonong ke halaman sekolah
kami.
Pada waktu itu, di tahun 60-an, di kota Medan ada seorang lelaki
yang sering berkeluyuran di seantero kota sambil komat-kamit dan
membawa Alkitab. Ia berambut panjang, berkumis-berjanggut, memakai
jubah putih dan selalu mengenakan sepatu sandal. Kami menamainya "Si
Panggabean Gila Agama".
Bila ada kerumunan orang, maka "Si Panggabean" akan menyeruak masuk
dan mulai berkhotbah. Saya tidak tahu benar apa yang
dikhotbahkannya, tapi dalam khotbahnya ia selalu berulang-ulang
meneriakkan, "Bertobatlah karena tiga hari lagi dunia akan kiamat..."
Begitulah, kalau pada jam keluar main pintu pagar tidak tertutup
maka "Si Panggabean" akan menyelonong masuk. Mulailah ia berkhotbah
di bawah tiang bendera dan dalam waktu sekejap saja semua anak sudah
berkerumun di sekitarnya. Ada yang hanya tertawa-tawa, ada yang
mengulang-ulang perkataannya, ada yang menarik-narik jubahnya dan
ada pula yang melemparinya dengan batu kecil. Tapi "Si Panggabean"
tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan terus saja berceloteh.
Dan sementara menonton "Si Panggabean" berkhotbah saya bergumul
dalam hati, "Bagaimana kalau dia memang benar adalah Tuhan Yesus?
Anak-anak yang mengganggunya itu pasti akan masuk neraka..." Karena
itu saya tidak pernah berani mengusik "Si Panggabean". Kadang-kadang
saya beranikan juga diri saya untuk menyentuh jubahnya yang putih
itu. Tapi niat saya bukan untuk mengganggu. Seperti yang dilakukan
oleh perempuan yang menderita perdarahan dalam cerita Alkitab itu;
saya berharap ada kuasa yang mengalir dari jubah itu ke diri saya.
The Beatles dan Che Guevara
Ketika saya beranjak remaja maka potret Kristus yang saya bawa
sedari masa kanak-kanak itu mulai kabur. Saya tidak tahu, apakah
potret itu kabur karena saya sudah jarang memandangnya ataukah
karena ia telah di-"imposed" oleh potret-potret "nabi" lain yang
tidak kalah memukaunya.
Zaman ketika saya remaja adalah zaman yang gegap gempita oleh
kehadiran "The Beatles", "The Rolling Stones" dan "The Cats". Semua
personil-personil grup musik populer itu berambut panjang dan
berkumis-berjanggut-berjambang. Dan potret "orang-orang besar"
itulah yang lebih mendominasi halaman buku tulis, pintu lemari
pakaian atau dinding kamar tidur kami, para remaja waktu itu. Saya
rasa hanya anak-anak yang "kuper" sajalah yang masih memajang potret
orang Nazaret yang menggendong domba itu di halaman buku tulisnya.
Satu pahlawan lagi yang tak kalah romantisnya pada waktu itu adalah
Che Guevara. Gambar pria Argentina yang berjuang untuk Kuba dan mati
tertembak di Bolivia ini juga menjadi pujaan orang muda di mana-mana.
Sedemikan kagumnya saya dengan Che Guevara, sehingga--walaupun tidak
mengerti bahasa Inggeris--saya selalu membawa-bawa sebuah buku saku
karangannya, "The Guerilla Warfare", kemana-mana.
Begitulah, semaja remaja, kalau saya berdoa (sesekali), maka saya
tidak tahu wajah siapa yang ada di benak saya. Kadang-kadang saya
melihat Kristus, kadang-kadang saya melihat Che Guevara dan
kadang-kadang saya melihat John Lennon. (Dan bagi saya pada waktu
itu, lagu "Imagine" tentu saja jauh lebih hebat dari "Khotbah Di
Bukit").
Para Waria yang Dikejar Tramtib
Begitulah, sejalan dengan perubahan usia, berubah pula citra atau
potret Kristus yang saya persepsikan di dalam diri saya. Dalam satu
titik perjalanan hidup, tiba-tiba saya menyadari, bahwa kalau saya
berdoa atau berpikir tentang Kristus maka citra yang muncul lebih
banyak berupa suasana atau pemandangan.
Kadang-kadang saya mempersepsikan Kristus sebagai sebuah taman.
Kadang-kadang saya mempersepsikan-Nnya sebagai sebuah sungai yang
jernih dan tenang. Kadang-kadang sebagai sebuah jalan yang lurus,
sebagai sebuah pohon, seberkas sinar, sepotong laut, atau apa saja.
(Tadi pagi saya berdoa memohon perlindungan Kristus terhadap orang-
orang yang saya kasihi yang ada di Medan, Bandung, Jakarta, Mataram
dan Ambon. Lalu tiba-tiba saya melihat Kristus seperti seekor induk
ayam yang besar, yang merentangkan kedua sayapnya untuk melindungi
anak-anaknya dari intaian elang yang sedang melayang-layang di
langit).
Saya tidak tahu apa yang menyebabkan perubahan di dalam diri saya
dalam mempersepsikan Kristus. Kalau saya pikir-pikir lebih jauh;
mungkin hal ini disebabkan karena saya terlalu banyak membaca sajak
dan novel.
Ketika hal ini saya diskusikan dengan seorang sahabat dia hanya
menatap saya dan berkata, "Akh, gila, lu!" Tapi saya rasa saya tidak
gila. Saya tahu para penulis Alkitab juga sering mempersepsikan
Kristus sebagai pohon anggur, jalan, terang, mempelai pria, kumpulan
orang-orang (gereja), benteng, gunung batu dan apa saja.
Krisis yang berkepanjangan dan melanda negeri ini tentu saja sangat
merasuki pikiran saya. Karena itu, kadang-kadang Kristus saya
persepsikan pula sebagai kerumunan orang-orang Batak "yang tak
berketentuan" di perempatan Cawang--Jakarta Timur sana, bayi-bayi
korban deman berdarah "dengue" yang berdesak-desak di kamar rumah
sakit, wajah anak-anak yang ceria ketika jam bubaran sekolah, iring-
iringan tahanan kelas teri yang terpincang-pincang (karena kakinya
ditembak) di depan kantor Polres atau banci yang tunggang-langgang
dikejar tim Tramtib.
Kristus juga bisa mewujud dalam paduan suara para janda yang dengan
suara sederhana tapi sungguh-sungguh menyanyi pada jam kebaktian di
gereja.
Dua hari yang lalu, di sebuah apotik di bilangan Cempaka Putih--
Jakarta Timur ada seorang bapak yang turun tertatih-tatih
dari "bajaj" dan menyodorkan resepnya di loket. Ketika petugas
menyebut harga obat tersebut, si bapak terdiam. Lalu dengan suara
lirih dia bertanya, "Bolehkah saya tebus sepertiga dulu...?"
(Kalau obat tersebut adalah antibiotika, maka cilakalah si bapak).
Saya rasa bapak itu adalah Kristus.
Karaoke
Sejak dahulu Holywood selalu berupaya untuk membuat filem sejarah
kehidupan Kristus. Dan tidak dapat dipungkiri, filem-filem seperti
ini selalu mendapat sambutan yang meriah. Gereja-gereja pun senang
memutar filem seperti ini dan percaya bahwa inilah salah satu
sarana kesaksian dan pemeliharaan iman jemaat yang sebenarnya sudah
tidak terhitung kanak-kanak lagi.
Tapi pengembaraan (atau petualangan) rohani saya membuat saya sudah
tidak tertarik lagi terhadap hal-hal seperti ini. Bagi saya filem-
filem ini ibarat karaoke. Dan saya selalu terusik dengan karaoke
(alat yang membantu orang bernyanyi dengan kursor yang berlari-lari
di atas teks, ilustrasi musik dan sebuah tayangan visual yang oleh
pembuatnya dianggap bisa menggambarkan suasana lagu tersebut).
Atas lagu-lagu tertentu yang saya senangi, saya membangun
visualisasi sendiri. Atas lagu "Sepanjang Jalan Kenangan" misalnya,
maka saya membayangkan sebuah jalanan yang di kiri kanannya ada
pohon kenari dan yang berjalan di tengahnya adalah saya sendiri
dengan seorang perempuan yang sosoknya hanya saya sendiri yang tahu.
Karena itu, kalau yang muncul di karaoke adalah seorang pria yang
berambut cepak dan ganteng serta seorang wanita Hongkong yang
berambut keriting; imajinasi saya menjadi terganggu...
Mata Rohani
Saya senang dengan berbagai imajinasi yang saya bangun tentang citra
atau "potret" Kristus, dan saya ingin tetap memelihara kebebasan
membangun imajinasi tersebut.
Di karya-karya sastra--misalnya di karya Leo Tolstoy--ada banyak
citra Kristus. Tapi di karya-karya non-fiksi pun saya acapkali
menemukannya. Belum lama berselang, saya membaca sebuah memoar dari
mantan tahanan politik G30S-PKI. Si penulis menceritakan kepahitan
hidup yang dialaminya selama tahanan Salemba--Tangerang--
Nusakambangan--dan Pulau Buru. Aha, ternyata Kristus juga saya
temukan di sana.
Agama saya--Kristen Protestan--memang tidak melarang visualisasi
Tuhan dan para nabi. Bagi kami adalah hal yang wajar-wajar saja
untuk menampilkan potret Kristus dalam rupa apa saja--apalagi rupa
manusia. Bagaimana pun ia adalah Tuhan Yang Menjadi Manusia dan
Tuhan Yang Mensejarah, tokh?
Tapi saya khawatir kalau filem-filem Hollywood itu membuat mata
rohani saya menjadi kurang peka dan melihat Yesus hanya sampai
sebatas sosok manusia James Caviezel, yang notabene "tak jauh-jauh
amat" dengan sosok John Lenon, Che Guevara, dan yang lain
sebagainya. Dan saya tidak ingin menjadi bagian dari orang-orang
yang pada akhir zaman nanti akan bertanya, "Tuhan, bilamanakah kami
melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau
telanjang atau sakit, atau dalam penjara dan kami tidak melayani
Engkau?" (Matius 25:44).
-----------------------
Catatan:
Tulisan ini terinspirasi setelah membaca buku "Sejarah Tuhan"
karangan Karen Armstrong, dan setelah merenung-renung tentang
berbagai kontroversi di seputar penerbitan buku "Da Vinci Code"
karangan Dan Brown, dan buku-buku lain yang sejenis. Pada akhirnya--
seperti kata Karen Armstrong--fenomena tuhan itu adalah imajinasi
kita tentang yang maha kuasa, maha pengasih, maha pencipta dsb,
untuk
membuat hidup ini menjadi lebih bermakna (memberi kebaikan) bagi
diri
sendiri, dan bagi orang lain. Horas!
--- End forwarded message ---