Friday, June 06, 2008

Cerita dari Atap Dunia (Part 5)

  • bandh lagi... kali ini lebih gawat, taxi chaina alias ngga ada taksi
  • batal ke Pokhara gara-gara taxi chaina
  • gue nyaris nangis, duh... di negeri orang pake acara mau nangis:(
  • ikut les nepali-nya Mas Budhi dan Mbak Ully: kenalan ama Jyoti dan Deepak
  • gue sih lebih suka babysitting Nesa dan Ezra: seru!!!
  • ke Patan Durbar Square lagi bareng Nesa dan Mbak Ully: Taleju Cafe & Restaurant tutup juga, batal deh difoto dengan view Durbar Square
  • Makan siang di Cafe de Patan
  • Mau moto Nesa, tapi Nesanya malah jadi kesenggol sepeda... Maaf ya, Nesa.. Gila juga tuh sepeda, jelas-jelas ada anak kecil lagi nyebrang, ngga peduli sama sekali! Coba di sini, udah digebukin orang sekampung tuh!
  • Ngobrol-ngobrol ama Bu Phoebe dan Pak Sam: what a couple, what a couple...
  • Mmmm... gue masih kepikiran sepatu gue yang jebol sehari sebelumnya
  • Makan malem di rumah Kak Vemi (masakannya ennnaaaaaak...)

Hari ini adalah wisata dari rumah ke rumah. Alamak, di negeri sendiri, gue nyaris ngga pernah bertandang ke rumah orang, baik itu saudara maupun teman. Sifat anti sosial gue dibongkar paksa di Kathmandu. Huahahaha, it's funny how God make me do things I always hate to do.

Teman-teman yang rumahnya gue kunjungi mengatakan hal yang mirip: inilah Nepal, negeri di mana kau tak bisa berencana. Yah, akhirnya gue menemukan hal yang bakal bikin gue selalu ingat pada Nepal: ketika gue berjalan nyaris putus asa ke jalan besar, mencari taksi buat ke pool bis dan akhirnya harus pulang sia-sia, tenggorokan tercekat, dan mau murka pada kebodohan orang Nepal. Di pikiran gue, hanya orang bodoh yang tidak berontak ketika dipaksa berhenti melakukan aktivitas karena hal-hal yang tidak ada hubungan dengan dirinya seperti pembunuhan seorang penting, siapa pun itu.

Gue terbiasa dengan rencana. Setiap perjalanan gue selalu terencana, bahkan sampai jam dan tempat makan pun terencana. Menurut gue, gue selalu cukup fleksibel mengubah rencana gue tapi bukan mengubah total seperti mengundur keberangkatan gue satu hari ke Pokhara dan sebagai gantinya malah berwisata dari rumah ke rumah karena gue ngga punya pilihan lain. Dan itu terjadi saat gue hanya punya delapan hari di Nepal.

Di tengah air mata yang nyaris membanjir (gue masih cukup tau malu buat menahan tangis kecewa gue karena teman-teman gue sudah pasti lelah berceloteh berusaha menghibur gue), gue belajar berempati pada orang Nepal. Gue mengerti, dalam hidup memang banyak ketidakpastian, tapi buat orang Nepal, ketidakpastian itu jadi terlalu banyak; terlalu banyak untuk bisa gue mengerti, terlalu banyak untuk bisa gue tolerir.

Semoga segalanya jadi lebih baik dengan perubahan-perubahan yang sekarang sedang terjadi pada dunia politik di Nepal. Kalau biasanya gue menulis untuk Indonesia yang lebih baik, kali ini gue menulis juga untuk Nepal yang lebih baik. Amin.

No comments: