Beberapa minggu lalu, untuk pertama kalinya, aku berhenti di kawasan Porong. Di kawasan yang sekarang terkenal dengan "wisata lumpur"-nya. Aku dan teman-teman naik ke atas tanggul dan teriris miris melihat lautan lumpur di sana. Bukan cuma lautan lumpur, sebenarnya, ada batang pohon yang mati dan mengering, ada puncak atap rumah yang sepi sendiri tanpa penghuninya.
Dan aku teringat rumahku, atau bukan rumahku tapi rumah orang tuaku. Itulah satu-satunya tempat yang kusebut rumah sampai hari ini, tempat aku menenangkan hati ketika pekerjaan membuatku nyaris gila, tempat aku mencari keteduhan ketika hidup jadi terlalu panas membakar hatiku, tempat aku mendapatkan kehangatan ketika dunia terlalu dingin menghembus asa, tempat aku berkumpul dan tertawa dan menangis dan mengamuk dan merasakan segala rasa bersama orang-orang yang kucintai. Itulah rumahku. Sebentuk bangunan yang aku tahu akan selalu berada di sana, walaupun beratus kilometer dari tempatku tinggal mendulang rupiah. Setidaknya, aku selalu percaya, sebentuk bangunan itu akan selalu berada di sana menungguku pulang.
Tak bisa kubayangkan jika ketika aku pulang yang kudapati hanyalah atap rumahku yang sepi sendiri, megap-megap di antara lautan lumpur coklat buruk berbau busuk. Tak bisa kubayangkan bila aku dan orang-orang yang kucintai dicabut paksa dari akar ini, rumah yang jadi saksi air mata dan canda tawa. Tak bisa kubayangkan bila aku harus kehilangan kenangan dan masa laluku hanya karena aku kecil dan tak berdaya dan tak cukup punya cara untuk melawan lumpur yang terus mengalir dan orang-orang yang hanya tahu menilai segala sesuatu dengan uang. Tak bisa kubayangkan bila aku ada di antara bapak dan ibu korban lumpur di Sidoarjo.
Tak ada yang kebetulan dalam hidup. Tapi bila kehilangan dan rasa sakit harus terjadi, biarlah itu untuk sesuatu yang lebih baik.
-God loves Indonesia, of this I'm sure...-
Thursday, July 03, 2008
Rumah
Posted by Ndangse at Thursday, July 03, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment