Monday, January 12, 2009

Sepanjang Jalan Kenangan

1. Sepanjang jalan Ciateul
Rumah pertama yang aku ingat. Bapak hampir setiap hari mengantar-jemput aku ke sekolah pertamaku, TK Elektrina. Kadang-kadang aku genggam kelingkingnya. Bapak tidak pernah menggenggam tanganku, tak pernah memegang pergelangan tanganku, tapi dia memberikan kelingkingnya untuk kupegang. Masih ingat, betapa mungil telapak tanganku dibanding tangan besarnya, tangan yang kelingkingnya kupegang dengan rasa percaya yang sepenuh-penuhnya pada kemampuan seorang ayah melindungi putri kecilnya dari segala hal yang mungkin terjadi dalam hidup. Setiap prosesi antar jemput itu, Bapak sering kelelahan menjawab pertanyaan-pertanyaanku yang nggak penting, mendengarkanku berceloteh tentang apa saja. Ah ya, sampai usiaku dua puluh sembilan tahun, aku masih gemar saja berceloteh tentang apapun padanya. Dalam perjalanan liburan kami yang terakhir itu pun, masih saja aku berceloteh panjang lebar tentang hal-hal tak penting dan masih saja dia mendengarkan dengan perhatian yang tak terpecah.

2. Jalan Kepatihan
Bapak pernah berkata, dia mau ikut ke tempatku kebaktian setiap minggu. Berbulan-bulan sudah aku lebih suka mengikuti kebaktian di gereja Bethel dekat rumahku, dan bukan di gereja Batak yang adalah gereja masa kecilku. Bapak bilang, sekali-sekali dia mau ikut kebaktian denganku, mau lihat tempatku beribadah. Tak sekali pun protes keluar dari bibirnya. Tak sedikit pun dia permasalahkan perbedaan doktrin yang menganga lebar. Saat itu aku begitu yakin, dialah lelaki Batak paling baik hati yang pernah Tuhan ciptakan di muka bumi.

3. Jalan Cikapundung Timur
"Bapak tadi liat ada perpustakaan di Jalan Cikapundung," katanya. Itulah perkenalan pertamaku dengan perpustakaan daerah di kotaku, umurku masih enam tahun. Bapak mengajarkanku cara pergi ke sana, dengan bemo kala itu. Menunjukkan jalannya, mendaftarkanku di perpustakaan itu, membayar keanggotaannya, bahkan kadang-kadang membantu mengembalikan buku-buku pinjamanku kalau aku harus belajar atau les Matematika. Dia tau aku tergila-gila membaca. Dan aku tau membeli buku saat itu adalah suatu kemewahan, sesuatu yang jarang sekali bisa aku lakukan.

4. Jalan Asia Afrika
Dari perpustakaan daerah, untuk pulang ke rumahku harus berjalan kaki dulu ke jalan ini, barulah aku bisa naik angkot. Di jalan ini pulalah kantor redaksi Harian Pikiran Rakyat. Bapak sering sekali ke sini, dan aku sering pula diajaknya. Kadang memasang iklan, kadang mengambil koran bukti iklan, dan yang terakhir aku tahu, Bapak memasang iklanku yang mencari murid les privat. Selamanya, Pikiran Rakyat membawa arti dalam kepalaku.

5. Jalan di Belakang Savoy Homann
Savoy Homann ada tepat di seberang kantor redaksi Pikiran Rakyat, tapi baru setelah aku kuliahlah aku dan Bapak pernah memasukinya. Pikiran Rakyat memberiku beasiswa lewat kampus. Tidak besar jumlahnya, enam puluh ribu rupiah sebulan, selama satu semester, tapi lumayan kalau dibanding dengan SPP-ku yang empat ratus lima puluh ribu rupiah per semester. Sepulang upacara "pengesahan" beasiswa itu, aku dan Bapak bergandengan pulang lewat jalan di belakang Savoy Homann. Wajah Bapak berseri-seri, dan sayangku padanya bertambah berjuta kali lipat.

6. Jalan Dewi Sartika
Aku kelas tiga SMP, baru saja menerima NEM bayangan. Bapak datang untuk menerimanya, dan mengikuti rapat bersama orang tua murid lainnya. Seusainya, Bapak berkata, kalau ayah murid lainnya yang duduk di sebelahnya menanyakan NEM bayanganku. Ah, nilaiku dua kali lipat nilai putra bapak itu. Dia pun bilang pada Bapakku, "Anak Bapak mah enak yah, bisa masuk SMA mana aja itu," Bapak menceritakannya padaku, begitu saja, tak ada pujian, seperti biasanya. Tapi matanya berbinar, ada cahaya berkilat di sana. Senyumnya terkembang, ada kebanggaan di sana. Dan tiba-tiba aku tau untuk apa aku mau hidup. Umurku empat belas tahun saat itu, dan aku mengikrarkan janji yang terus berusaha kupenuhi: aku akan habiskan hidupku untuk membuat cahaya di mata Bapak selalu bersinar.

No comments: