"Kamu anak bungsu, ya?" tanya pria itu.
"Bukan," jawabku.
"Oooh, pasti anak perempuan satu-satunya ya?" tanyanya lagi.
"Bukan," sahutku, "aku anak sulung dari 4 bersaudara, 2 laki-laki dan 2 perempuan."
"Mmm... atau ini pertama kali kamu bepergian tanpa orang tua?" sambungnya.
Aku tersenyum. Tidak juga, tapi ini pertama kali aku bepergian ke luar kota dengan seorang pria yang baru aku kenal. Pria itu mengaku bernama Agung, mahasiswa Teknik Industri angkatan 95. Sore hari sebelumnya, dia menelepon ke rumahku, menanyakan teknis keberangkatan ke Jakarta untuk interview terakhir kandidat peserta Hitachi Young Leaders Initiative tahun itu. Kandidat dari kampusku ternyata kami berdua. Dia mengaku mendapat nomor teleponku dari sekretariat di kampus. Akhirnya kami sepakat bertemu di stasiun kota Bandung hari itu.
Bapakku mengantarkanku ke stasiun. Begitu dia bertemu dengan pria yang mengaku bernama Agung itu, Bapak langsung mengajaknya ke tempat lain, dan berbincang berdua saja dengannya. Setelah kereta melaju, barulah aku tahu kalau Bapak menanyakan identitas pria itu, meminta melihat KTP dan KTM-nya, dan meminta nomor telepon rumahnya. Juga, tentu, Bapak menitipkan aku padanya.
Bertahun-tahun kemudian, aku diterima bekerja di suatu perusahaan di Jakarta. Hari pertama bekerja, Bapak yang mengantarkanku ke kantor. Bapak juga menungguiku di lobi gedung ketika jam kantor usai lalu bertanya apakah semuanya berjalan dengan baik.
Aku bukan anak bungsunya, bukan satu-satunya anak perempuannya, dan diajar untuk berani menghadapi apa pun dan siapa pun sendiri. Tapi aku dijaga seperti permata satu-satunya di hatinya.
Aku merindukannya, sungguh merindukannya.
Wednesday, December 17, 2008
Permata
Posted by Ndangse at Wednesday, December 17, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment