Akhirnya gue mengerti kenapa orang bijak bilang, "lakukan selangkah demi selangkah". Berhubung gue memang bukan fast learner dalam urusan hidup, dan gue harus akui bahwa gue selalu do it the hard way, learn it the hard way, jelaslah sudah kenapa gue perlu waktu hampir tiga puluh tahun buat mengerti kenapa orang bijak selalu bilang segalanya harus dilakukan selangkah demi selangkah.
Dua kali melewati Bukit Penyesalan benar-benar mengajar dan menghajar gue tentang pelajaran hidup yang satu itu. Bila orang dengan kekuatan normal bisa menjalani Sembalun Lawang sampai Pelawangan Sembalun dalam satu hari, ternyata orang dengan kekuatan seperti gue harus menjalaninya dalam dua hari. Keputusan yang tepat, sebenarnya, karena di akhir hari pertama gue mendirikan tenda tepat di kaki Bukit Penyesalan sehingga esok harinya bisa mendaki dengan kekuatan baru. Kekuatan baru, iya, di situ juga gue mengerti kenapa orang bijak bilang kalau orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mendapat kekuatan baru. Maksud gue, kekuatan baru itu sesuatu yang bikin gue bisa naikin Bukit Penyesalan, atau bukit apapun yang mungkin datang dalam hidup. Bukannya kekuatan gue ditambah, tapi kekuatan gue diperbaharui. Nah loh, bingung kan? Pokonya gitu deh, harus ngalamin sendiri kali yah.
Mendaki Bukit Penyesalan dengan beban ransel tujuh kilogram benar-benar perjuangan buat gue. Gimana nggak, tiap kali mau naik selangkah, gue musti berpegangan pada sesuatu (entah batu, batang kayu, atau bahkan rumput) sebelum mengangkat satu kaki gue, lalu mendorong punggung (dan ransel gue, tentunya) naik, dan akhirnya mengangkat kaki gue yang satunya lagi. Bah, benar-benar selangkah demi selangkah. Tiap kali gue nyaris putus asa, gue juga musti tau mau lihat ke atas atau ke bawah untuk menambah semangat gue. Kalau gue sudah cukup tinggi, melihat ke bawah bikin gue lega karena ternyata gue sudah menanjak cukup tinggi. Tapi, kalau ternyata posisi gue belum tinggi-tinggi amat, melihat ke atas ataupun ke bawah sama-sama bikin patah hati, jadi mending fokus ke langkah gue yang satu demi satu aja. Sama persis dengan hidup, kan?
Ketika gue dan hidup gue ternyata belum ke mana-mana padahal usaha gue udah pol-polan, melihat pencapaian gue malah tambah bikin sakit hati. Melihat ke hal-hal yang belum gue capai, malah bikin tambah patah hati. Jadi, ternyata, ada saat dalam hidup ketika gue ngga perlu ngeliat ke mana-mana selain ke tempat kaki gue sedang melangkah.
Beberapa kali, gue ngliat ke atas dan sorak sorai dalam hati: horeee puncak bukitnya sudah dekeeeet. Dan ternyata oh ternyata, setelah puncak bukit yang satu itu, jalanan menurun hanya sedikit untuk kemudian menanjak lebih tinggi.... dan lebih curam. Begitu berkali-kali. Bikin geram gue yang sudah kehabisan napas. Jadi, sekali lagi, ada baiknya hanya fokus pada langkah yang sedang dijalani.
Sewaktu menaiki Bukit Penyesalan, gue selalu berpikir bahwa menuruni bukit itu akan jauh lebih menyenangkan. Turun gitu, loh, ngga usah pake napas ngos-ngosan seharusnya, kan? Ternyata salah besar. Gue kehabisan semua tenaga --dan semangat-- justru ketika gue melewati Bukit Penyesalan buat kedua kalinya: ketika turun. Curamnya itu loh, lutut gue udah gemeteran, jempol kaki terantuk-antuk sepatu, dan akhirnya semua bagian kaki gue ikut sakit. Dimulai dari lutut yang gemeteran tadi, lalu telapak kaki, lalu pergelangan kaki, lalu jempol kaki yang terus-terusan senut-senut, sampai akhirnya pangkal paha ikut sakit bukan kepalang.
Setelah yang terakhir itu ikut sakit, ade gue akhirnya ikut jalan pelan-pelan di belakang gue. Terus-terusan dia bilang: "Ayo, Kak, jalan terus, jangan berhenti..." Dan biar tertatih-tatih, terseok-seok, gue terus berjalan. Kadang-kadang pengen tereak, kadang pengen nglempar ransel gue ke jurang, kadang pengen langsung berguling ke bawah, kadang pengen selonjor dan ngga mau berdiri lagi (apa lagi jalan...). Selangkah demi selangkah, dan gue menyemangati diri gue sendiri. Selangkah demi selangkah, pasti gue sampe di bawah, entah siang itu, entah sorenya, entah esok harinya, tapi kalau gue ngga berhenti pasti gue sampe juga. Berkali-kali pengen nyerah, pengen nangis, pengen ngeluh... Tapi semuanya itu ngga ada gunanya, kan?
Sama juga dengan hidup, sengganya dengan hidup gue. Kadang gue pengen nyerah, pengen nangis, pengen ngeluh. Berkali-kali gue bener-bener nangis, bener-bener ngeluh, walopun gue tau itu ngga ada gunanya. Tapi gue belum menyerah. Gue juga ngga menyerah menjalani perjalanan kembali ke Sembalun Lawang. Dengan impian akan lima botol Teh Botol dingin, gue menyemangati diri gue, menyemangati lutut gue.
Sekarang, sambil menulis ini, gue masih belum lupa rasanya nyaris putus asa dengan kekuatan kaki gue. Tapi gue juga ngga bakal lupa gimana rasanya sampai di tempat tujuan gue, mendapatkan sekaleng Fanta dingin (walaupun bukan lima botol Teh Botol dingin), dan akhirnya kembali ke Senggigi. Suatu hari nanti, gue juga akan ingat masa-masa ini, ketika gue nyaris putus asa dengan kekuatan hati dan kewarasan gue. Tapi suatu hari nanti, gue juga akan tau gimana rasanya sampai di tempat tujuan gue, memperoleh sesuatu yang menyegarkan (walopun mungkin bukan seperti yang gue mau), dan kembali ke rumah Bapa gue.
Suatu hari nanti, pasti, selangkah demi selangkah, gue akan sampai di sana. Amin.
-pelajaran rohani gue dari pendakian Rinjani-
Dua kali melewati Bukit Penyesalan benar-benar mengajar dan menghajar gue tentang pelajaran hidup yang satu itu. Bila orang dengan kekuatan normal bisa menjalani Sembalun Lawang sampai Pelawangan Sembalun dalam satu hari, ternyata orang dengan kekuatan seperti gue harus menjalaninya dalam dua hari. Keputusan yang tepat, sebenarnya, karena di akhir hari pertama gue mendirikan tenda tepat di kaki Bukit Penyesalan sehingga esok harinya bisa mendaki dengan kekuatan baru. Kekuatan baru, iya, di situ juga gue mengerti kenapa orang bijak bilang kalau orang yang menanti-nantikan Tuhan akan mendapat kekuatan baru. Maksud gue, kekuatan baru itu sesuatu yang bikin gue bisa naikin Bukit Penyesalan, atau bukit apapun yang mungkin datang dalam hidup. Bukannya kekuatan gue ditambah, tapi kekuatan gue diperbaharui. Nah loh, bingung kan? Pokonya gitu deh, harus ngalamin sendiri kali yah.
Mendaki Bukit Penyesalan dengan beban ransel tujuh kilogram benar-benar perjuangan buat gue. Gimana nggak, tiap kali mau naik selangkah, gue musti berpegangan pada sesuatu (entah batu, batang kayu, atau bahkan rumput) sebelum mengangkat satu kaki gue, lalu mendorong punggung (dan ransel gue, tentunya) naik, dan akhirnya mengangkat kaki gue yang satunya lagi. Bah, benar-benar selangkah demi selangkah. Tiap kali gue nyaris putus asa, gue juga musti tau mau lihat ke atas atau ke bawah untuk menambah semangat gue. Kalau gue sudah cukup tinggi, melihat ke bawah bikin gue lega karena ternyata gue sudah menanjak cukup tinggi. Tapi, kalau ternyata posisi gue belum tinggi-tinggi amat, melihat ke atas ataupun ke bawah sama-sama bikin patah hati, jadi mending fokus ke langkah gue yang satu demi satu aja. Sama persis dengan hidup, kan?
Ketika gue dan hidup gue ternyata belum ke mana-mana padahal usaha gue udah pol-polan, melihat pencapaian gue malah tambah bikin sakit hati. Melihat ke hal-hal yang belum gue capai, malah bikin tambah patah hati. Jadi, ternyata, ada saat dalam hidup ketika gue ngga perlu ngeliat ke mana-mana selain ke tempat kaki gue sedang melangkah.
Beberapa kali, gue ngliat ke atas dan sorak sorai dalam hati: horeee puncak bukitnya sudah dekeeeet. Dan ternyata oh ternyata, setelah puncak bukit yang satu itu, jalanan menurun hanya sedikit untuk kemudian menanjak lebih tinggi.... dan lebih curam. Begitu berkali-kali. Bikin geram gue yang sudah kehabisan napas. Jadi, sekali lagi, ada baiknya hanya fokus pada langkah yang sedang dijalani.
Sewaktu menaiki Bukit Penyesalan, gue selalu berpikir bahwa menuruni bukit itu akan jauh lebih menyenangkan. Turun gitu, loh, ngga usah pake napas ngos-ngosan seharusnya, kan? Ternyata salah besar. Gue kehabisan semua tenaga --dan semangat-- justru ketika gue melewati Bukit Penyesalan buat kedua kalinya: ketika turun. Curamnya itu loh, lutut gue udah gemeteran, jempol kaki terantuk-antuk sepatu, dan akhirnya semua bagian kaki gue ikut sakit. Dimulai dari lutut yang gemeteran tadi, lalu telapak kaki, lalu pergelangan kaki, lalu jempol kaki yang terus-terusan senut-senut, sampai akhirnya pangkal paha ikut sakit bukan kepalang.
Setelah yang terakhir itu ikut sakit, ade gue akhirnya ikut jalan pelan-pelan di belakang gue. Terus-terusan dia bilang: "Ayo, Kak, jalan terus, jangan berhenti..." Dan biar tertatih-tatih, terseok-seok, gue terus berjalan. Kadang-kadang pengen tereak, kadang pengen nglempar ransel gue ke jurang, kadang pengen langsung berguling ke bawah, kadang pengen selonjor dan ngga mau berdiri lagi (apa lagi jalan...). Selangkah demi selangkah, dan gue menyemangati diri gue sendiri. Selangkah demi selangkah, pasti gue sampe di bawah, entah siang itu, entah sorenya, entah esok harinya, tapi kalau gue ngga berhenti pasti gue sampe juga. Berkali-kali pengen nyerah, pengen nangis, pengen ngeluh... Tapi semuanya itu ngga ada gunanya, kan?
Sama juga dengan hidup, sengganya dengan hidup gue. Kadang gue pengen nyerah, pengen nangis, pengen ngeluh. Berkali-kali gue bener-bener nangis, bener-bener ngeluh, walopun gue tau itu ngga ada gunanya. Tapi gue belum menyerah. Gue juga ngga menyerah menjalani perjalanan kembali ke Sembalun Lawang. Dengan impian akan lima botol Teh Botol dingin, gue menyemangati diri gue, menyemangati lutut gue.
Sekarang, sambil menulis ini, gue masih belum lupa rasanya nyaris putus asa dengan kekuatan kaki gue. Tapi gue juga ngga bakal lupa gimana rasanya sampai di tempat tujuan gue, mendapatkan sekaleng Fanta dingin (walaupun bukan lima botol Teh Botol dingin), dan akhirnya kembali ke Senggigi. Suatu hari nanti, gue juga akan ingat masa-masa ini, ketika gue nyaris putus asa dengan kekuatan hati dan kewarasan gue. Tapi suatu hari nanti, gue juga akan tau gimana rasanya sampai di tempat tujuan gue, memperoleh sesuatu yang menyegarkan (walopun mungkin bukan seperti yang gue mau), dan kembali ke rumah Bapa gue.
Suatu hari nanti, pasti, selangkah demi selangkah, gue akan sampai di sana. Amin.
-pelajaran rohani gue dari pendakian Rinjani-
No comments:
Post a Comment